Dark/Light Mode

Teknologi Waste to Energy Berbasis Gasifikasi untuk Limbah Pertanian

Selasa, 16 April 2024 11:45 WIB
Jerami padi yang dibiarkan begitu saja. (Foto: evrinasp.com)
Jerami padi yang dibiarkan begitu saja. (Foto: evrinasp.com)

Indonesia, negara agraris dengan tanah yang subur dan hasil panen yang melimpah. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, sepanjang tahun 2023 Indonesia telah memproduksi sebanyak 56,63 juta ton gabah kering giling dan jika dikonversikan menjadi beras untuk konsumsi pangan diperkirakan sebesar 30,90 juta ton. Hal ini menunjukkan terdapat sekitar 25,70 juta ton limbah pertanian sebagai jerami padi. 

Menurut Yanuartono et al. (2019), ketersediaan jerami padi yang melimpah sebagian besar tidak dimanfaatkan. Proses yang sering dilakukan adalah pembakaran di lahan pertanian sehingga menimbulkan pencemaran udara. Rhofita (2016) menyatakan bahwa adanya pembakaran jerami di area persawahan menyebabkan peningkatan pencemaran udara, pencemaran tanah, serta penyebaran berbagai penyakit seperti ISPA (infeksi saluran pernapasan akut) dan kanker. Hingga artikel ini dibuat, belum ada aturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang pengelolaan limbah pertanian.

Beralih sejenak dari topik di atas, elektrifikasi Indonesia ternyata masih belum menjangkau secara merata. Sebagai contoh, sekitar 200 rumah di Desa Sasagaran, Sukabumi Jawa Barat masih belum bisa menikmati listrik. “Kalau dari data hampir 200 rumah. Itu bermacam-macam, rata-rata profesinya petani semua,” kata Deni Suwandi, Kepala Desa Sasagaran kepada Detik Jabar. Lebih lanjut, Deni menegaskan bahwa jaringan listrik sebenarnya sudah terpasang, akan tetapi warga tidak mampu untuk membeli, sedangkan dana desa hanya bisa membantu 1-2 warga saja. Tentu hal ini memprihatinkan sebab menurut data dari Badan Pusat Statistik, Sukabumi pada tahun 2022 memproduksi padi sebanyak lebih dari 812 ribu ton.

Dari narasi di atas, didapati informasi bahwa hasil pertanian yang melimpah tidak diiringi dengan kemerataan elektrifikasi. Masalah berupa penanganan limbah pertanian yang masih belum efektif dan efisien datang bersamaan dengan akses listrik yang belum dapat dinikmati oleh semua orang. 

Menjawab persoalan mengenai pengelolaan limbah pertanian dan elektrifikasi, kami menginovasikan pembangkitan listrik menggunakan limbah pertanian khususnya jerami padi dengan metode Water-Gas-Shift Gasification.

Baca juga : Kapolri Pastikan Semua Pihak Bersinergi Beri Layanan Terbaik Arus Balik Lebaran

Gasifikasi adalah sebuah metode pengolahan limbah secara termokimia dan tidak menimbulkan emisi sehingga dapat dikatakan inovasi yang zero-emission. Mekanisme dan prinsip yang digunakan cukup sederhana, limbah pertanian seperti jerami akan dipanaskan di dalam tabung reaksi bersamaan dengan uap air dan sedikit oksigen. Hasil dari proses ini akan menghasilkan syngas yang terdiri dari gas CO dan H2 dengan reaksi seperti berikut:

C + H + O2 + H2O —> CO + H2

Syngas kemudian melalui proses Water-Gas-Shift reaction di mana syngas direaksikan dengan uap air dan dibantu katalis memperkaya kandungan H2 dengan reaksi sebagai berikut:

CO + H2 + H2O —> CO2 + 2H2

Gas karbon dioksida kemudian dapat dipisahkan sebagai by-product sehingga menyisakan gas H2. Gas hidrogen kemudian dilewatkan turbin hidrogen yang akan menghasilkan listrik dan keluar sebagai uap air (H2O). Sedangkan gas karbon dioksida murni dapat dimanfaatkan pada berbagai industri seperti pupuk, makanan, kimia, dan masih banyak lagi. Berikut reaksi yang terjadi di dalam turbin hidrogen:

H2 + 1/2O2 —> H2O

Baca juga : Kemenag Kembangkan Aplikasi untuk Cari Jemaah Haji Hilang

Ditinjau dari nilai energinya, jerami padi memiliki potensi yang besar sebagai bahan gasifikasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Agus Haryanto dari Universitas Lampung pada tahun 2019, nilai kalori rata-rata dari jerami padi adalah sebesar 14,32 GJ/ton setara dengan 19,25 juta kiloliter solar.

Di Indonesia, gasifikasi masih belum diaplikasikan dan masih sekadar rancangan. Gasifikasi di Indonesia sendiri baru akan beroperasi sekitar tahun 2027 itupun bertujuan untuk menambah nilai batu bara menjadi dimethyl-ether (DME) dan bukan untuk pengolahan limbah. Perkembangan teknologi gasifikasi yang lambat di Indonesia masih lambat dikarenakan beberapa faktor, di antaranya masih minimnya investasi di sektor ini dan belum jelasnya aturan mengenai tarif di sektor ketenagalistrikan (Sasongko et al., 2020). Di Indonesia, terdapat beberapa perusahaan yang bergerak di sektor energi terbarukan baik milik negara maupun swasta. Diharapkan, gasifikasi juga turut mendapat perhatian sehingga dapat dikembangkan dan dioperasionalkan ke depannya.

Gasifikasi sendiri sudah sangat dikenal di luar negeri seperti Eropa, Amerika, India, China, dan Jepang. Di Jepang, teknologi gasifikasi sudah menjadi salah satu metode pengolahan limbah yang paling terkenal walaupun belum diwujudkan dalam skala besar. Gasifikasi sudah menjadi tren pengolahan sampah menjadi energi listrik dengan persentase sebesar 50%. Hal ini disebabkan Jepang merupakan negara dengan pulau padat penduduk dan lahan terbuka yang terbatas sehingga pengolahan sampah dengan cara penumpukan justru akan menyebabkan berbagai permasalahan.

Berkaca dari hal tersebut, Indonesia perlu mencontoh Jepang dalam pengelolaan limbah. Di Indonesia, umumnya pengelolaan limbah hanya dilakukan dengan cara menumpuk di lahan terbuka. Beberapa dari TPS tersebut bahkan ada yang mendekati atau telah mencapai kapasitas maksimumnya. Sebagai contoh, TPS Bantar Gebang yang terletak di Bekasi Timur memiliki luas 110,3 hektar dengan ketinggian sampah mencapai 40 meter dan diperkirakan kapasitasnya hanya tersisa 20% saja. Sedangkan, angka pertumbuhan penduduk terus menunjukkan tren positif sehingga dapat dipastikan lahan terbuka akan semakin menipis dan pengelolaan limbah dengan cara ditumpuk tidak bisa menjadi jawaban di kemudian hari.

Pengelolaan sampah dengan metode gasifikasi akan menjawab permasalahan yang timbul dari sampah khususnya limbah pertanian, selain itu metode ini juga menjawab kebutuhan energi listrik. Lebih dari itu, gasifikasi juga menjawab permasalahan gas rumah kaca sebab tidak ada emisi yang dihasilkan dari metode ini. Karbon dioksida sebagai by-product dapat disimpan sebelum digunakan untuk keperluan industri yang lain. Dengan begitu, Desa Sasagaran dapat membangkitkan listrik secara mandiri dan anggaran desa dapat dialokasikan sebagai biaya operasional gasifikasi dibandingkan membantu beberapa warga saja. Selain itu, karbon dioksida yang diperoleh dapat dijual sehingga menguntungkan secara ekonomi.

Baca juga : Sufmi Dasco Ucapkan Belasungkawa untuk Korban Serangan Teroris di Rusia

Akan tetapi, terdapat beberapa kendala dalam penerapan metode ini. Modal awal untuk mengembangkan dan membuat rancangan ini tidak sedikit. Oleh karena itu, perlu adanya pengkajian lebih lanjut mengenai gasifikasi khususnya terhadap limbah pertanian. Sebelum beroperasi secara penuh, diperlukan serangkaian uji coba agar metode ini berdaya guna dan tepat guna.

Selain itu, kebutuhan akan sampah menjadi pembatas bagi metode ini sehingga hanya dapat dijadikan sebagai sumber energi listrik yang bersifat intermittent. Dengan demikian, perlu adanya kolaborasi dari berbagai pihak, baik investor, pemerintah, dan semua stakeholder yang terlibat agar pembangkitan listrik dari pengolahan limbah pertanian dengan gasifikasi bisa dapat segera diimplementasikan dan dirasakan manfaatnya.

Lebih dari itu, jika terus dikembangkan dan dikaji secara terus-menerus, bukan tidak mungkin pembangkit listrik dengan metode gasifikasi akan memiliki nilai efisiensi yang tinggi sehingga dapat menyuplai secara signifikan kebutuhan energi nasional sebagai energi bersih terbarukan. 

Taji Iga Chiasma
Taji Iga Chiasma
Mahasiswa

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.