Dark/Light Mode

Daya Saing Merosot, PHK Meningkat

Industri Garmen Dan Tekstil Dalam Negeri Lesu Darah

Kamis, 27 Juni 2024 07:05 WIB
Daya Saing Merosot, PHK Meningkat Industri Garmen Dan Tekstil Dalam Negeri Lesu Darah

RM.id  Rakyat Merdeka - Industri garmen dan tekstil Indonesia sedang lesu darah. Jumlah penjualannya menurun, baik di dalam maupun luar negeri. Hal ini jadi penyebab meningkatkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Dalam kurun Januari hingga awal Juni 2024, terdapat 10 perusahaan mem-PHK 13.800 karyawan.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, industri yang paling besar mengalami pelemahan penjualan adalah sektor manufaktur padat karya berorientasi ekspor.

“Khususnya tekstil dan gar­men. Industri tekstil dan garmen sudah lemah karena penurunan market share pasar domestik dan penurunan daya saing ekspor be­sar,” kata Shinta, kepada Rakyat Merdeka, Rabu (26/4/2024).

Baca juga : Waspada, Kredit Macet Berpotensi Terkerek Naik

Menurutnya, salah satu faktor penyebab penurunan penjualan di luar negeri karena eksportir harus bersaing dengan negara yang mengalami depresiasi mata uang lebih rendah. Sehingga menurunkan daya saing ekspor Indonesia secara signifikan.

Meski demikian, kata Shinta, Apindo sedang mendalami pe­nyebab pasti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang mengalami badai PHK.

Menurutnya, selain menga­lami persoalan menurunnya permintaan pasar, industri TPT tengah menghadapi tantangan gempuran produk tekstil impor ilegal.

“Kami coba membantu untuk mengatasi masalah impor ile­gal,” ujarnya.

Baca juga : Tenang, Penonaktifan NIK Tidak Ganggu Pilkada DKI

Shinta menambahkan, indus­tri TPT sebetulnya tidak ter­dampak keputusan Pemerintah yang memutuskan kembali me­longgarkan impor lewat revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Sebab, regulasi itu diperlukan bagi industri lain yang memer­lukan bahan baku impor dari luar negeri.

Shinta menilai, industri TPT saat ini membutuhkan perlakuan khusus karena persoalan yang terjadi di industri itu terletak pada aspek barang jadi (finished goods), bukan bahan baku.

“Kami sekarang lagi memba­has persoalan ini dengan Pemerintah,” jelasnya.

Baca juga : Menhan Amerika Dan Rusia Kasih Keterangan Berbeda

Shinta menduga, badai PHK akan terus terjadi namun secara bertahap. Pasalnya, saat ini cost of doing business industri TPT yang terganggu karena menurunnya permintaan yang menjadi faktor kuat industri TPT melakukan PHK.

Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Development of Eco­nomics and Finance (INDEF) Es­ther Dwi Astuti, mengatakan, in­dustri TPT merupakan primadona pada 1990-an. Namun, industri tersebut sedang mengalami ke­sulitan karena harus mengimpor bahan baku dari luar negeri.

Esther bilang, industri TPT memiliki nilai tambah kecil karena kebutuhan komponen bahan baku impor yang tinggi. Oleh sebab itu, yang sekarang menjadi tantangan adalah bagaimana industri TPT bisa menciptakan nilai tambah dengan memprioritaskan peng­gunaan bahan baku domestik.

“Kalau kita bisa menggantung­kan diri pada bahan baku domestik, ya kita akan punya high value added. Tapi kalau masih tergantung pada bahan baku impor, masih low value added,” tuturnya.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.