Dark/Light Mode

INDEF Waspadai Bencana Utang Di Masa Pandemi

Senin, 11 Mei 2020 05:10 WIB
Bhima Yudhistira
Bhima Yudhistira

RM.id  Rakyat Merdeka - Usai pandemi, beban utang yang makin berat akan memaksa pemerintah melakukan pemangkasan anggaran subsidi dan jaminan sosial besar-besaran.

Hal itu dikatakan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira kepada Rakyat Merdeka, kemarin. 

Menurutnya, kondisi sekarang dengan pelebaran defisit di atas 5 persen sudah menunjukkan negara kekurangan pendapatan dalam mengatasi corona. “Risikonya, kita akan berutang dalam jumlah besar. Rencana utangnya Rp 1.000 triliun, tapi itu masih bisa jebol,” kata Bhima. 

Masalahnya, yang mencari utangan saat ini bukan hanya pemerintah, tapi juga BUMN dan swasta, termasuk perbankan. Ada juga gladiator di pasar keuangan, semua berlomba cari utang. 

Baca juga : Berkah Petani Buah Naga Banyuwangi Di Tengah Pandemi Covid-19

“Akibatnya, biaya utang semakin mahal. Lihat saja yield tenor 10 tahun utang pemerintah sudah di atas 8 persen. Padahal, inflasi rendah dan bunga acuan beberapa kali dipangkas. Jadi ini namanya pembayar pajak sedang mensubsidi kreditur utang,” ujar Bhima. 

Kalau cara seperti ini terus dilakukan, lanjut Bhima, bukan tidak mungkin usai pandemi beban utang yang makin berat akan memaksa pemerintah melakukan pemangkasan anggaran subsidi dan jaminan sosial besar-besaran. 

“Ini akan jadi bencana utang yang sangat berdampak bagi Indonesia ke depannya,” ucapnya. 

Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Riko Amir mengatakan, ada lima langkah yang jadi kebijakan strategi pembiayaan tahun 2020 dalam penanganan pandemi. 

Baca juga : Varietas Inpari Jadi Benih Andalan Petani di Klaten

Pertama, optimalisasi sumber pembiayaan nonutang, dengan pemanfaatan Sisa Anggaran Lebih (SAL) pada tahun 2020 sebesar Rp 70,64 triliun, pos dana abadi pemerintah serta dana yang bersumber dari Badan Layanan Umum (BLU). 

“Dana-dana ini yang akan kita lihat bersama temanteman di internalnya, mana yang bisa dilakukan untuk optimalisasi,” terang Riko di lansir laman resmi Kemenkeu, kemarin. 

Kedua, fleksibilitas pinjaman tunai melalui up size (penambahan) pinjaman program yang ada saat ini dari development partners, baik bilateral maupun multirateral, di antaranya dengan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Badan Pembangunan Prancis (AFD) hingga Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). 

Namun, Riko memastikan up size ini tidak dilakukan semena-mena atau menaikkan setinggi-tingginya karena ada cyling (batas atas) yang harus dipatuhi, baik secara tahunan maupun jangka menengah dari masing-masing development partners. 

Baca juga : Didiek Hartantyo, Bankir Yang Jadi Masinis Perusahaan Sepur

“Dengan begitu, pinjaman tunai ini bersifat fleksibel namun tetap terukur,” ujarnya. 

Sebagai langkah ketiga, Riko mengatakan, pemerintah akan melakukan fleksibilitas dalam penambahan Surat Berharga Negara (SBN). Langkah ini dilakukan dengan cara up size penerbitan SBN domesti dan SBN valas dengan tetap memperhatikan kondisi pasar keuangan. 

“Pemerintah juga akan membuka kesempatan permintaan private placement dari BUMN/Lembaga Aset seperti Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan lainnya,” kata Riko. 

Langkah keempat yang akan dilakukan adalah mengutamakan penerbitan SBN domestik melalui mekanisme pasar. [NOV]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.