Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Kebijakan Energi Perlu Terintegrasi Agar Defisit Perdaganganan Terjaga 

Rabu, 3 Juni 2020 10:46 WIB
Arah kebijakan ekonomi nasional. (Foto: DEN)
Arah kebijakan ekonomi nasional. (Foto: DEN)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah diharapkan menerapkan kebijakan energi lebih terintegrasi dan konsisten. Mengingat kebijakan energi juga akan turut mendukung ketahanan cadangan devisa.

Defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) sering melebar akibat tingginya impor, salah satu dari impor BBM. Ujungnya, rupiahrentan naik turun alias fluktuatif. 

Awal tahun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memangkas jatah impor minyak mentah (crude) PT Pertamina (Persero). Pengurangan jatah impor minyak Pertamina tahun ini mencapai 3 juta barel atau 8.000 barel per hari. Pengurangan jatah impor minyak mentah dilakukan untuk menekan defisit neraca perdagangan. Dengan dipangkasnya jatah impor minyak mentah, diharapkan lebih banyak menyerap produksi dalam negeri. Sedangkan untuk menekan impor BBM, pemerintah sudah menjalankan program biodiesel 30 persen atau B30.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finanance (Indef) Ucok Pulungan menegaskan, energi alternatif lain di luar gas, juga perlu didorong. Seperti penggunaan energi angin maupun air. Ia mengingatkan, meski dari sisi program banyak, namun dari sisi dampak dan juga penggunaan masih sangat minim. 

Baca juga : Kerahkan Militer Jinakkan Demonstran, Trump Bertangan Besi

“Misal, sebenarnya pembangkit listrik tenaga bayu sudah dikembangkan di Sulsel. Tinggal diperbanyak. Program energi alternatif lain udah ada, karena itu jangan lagi menjadi wacana saja,” kata Uchok, Rabu (3/6).   

Uchok juga mengingatkan, pelemahan rupiah selain dampak kebijakan impor BBM tinggi juga karena kebijakan di sektor rill. Misalnya, ekspor yang rendah lalu kebergantungan pada jasa asing dan aliran modal ke negara lain dari pendapatan investasi. 

Sementara, dari sisi moneter, Bank Indonesia (BI) sudah cukup baik mengawal rupiah. Jadi, kata Uchok, kalau sektor rillnya tidak beres, rupiah akan terdepresisi. Alhasil, perlu kebijakan yang berjalan bersamaan. “Dalam kaitannya dengan BBM, maka terkait dengan impor. Namun, pemerntah sudah berupaya dengan penggunaan B20. Sedikit banyak sudah terlihat dari penurunan volume impor BBM sepanjang 2019,” ucapnya.  

Harga BBM murah dengan subsidi, juga bisa membuat program energi alternatif selain fosil bisa menjadi lambat. Memang, ada tendensi kalau harga BBM murah, insentif untuk mengembangkan energi altenatif jadi tidak menarik. "Itu yang selama ini terjadi. Tapi, saat harga BBM naik, baru kita panik," ucap Uchok.    

Baca juga : Kebijakan Pengendalian Transportasi di Tengah Pandemi Covid-19

Uchok menilai, dalam penentuan harga BBM, perlu mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Memang, ada koreksi harga niai tukar dan juga penurunan harga minya, tetapi harus tetap hati-hati dalam mengambil kebijakan harga BBM.

Ucok mengingatkan, saat ini lebih penting mendorong daya beli masyarakat tetap terjaga agar ekonomi lebih berputar, konsumsi rumah tangga tidak anjlok. Caranya, menekan inflasi pangan lewat operasi pasar di daerah, juga memastikan pendapatan masyarakat terjaga.    

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Febby Tumiwa, menyebut bahwa saat ini BBM subsidi diberikan pada BBM jenis diesel (solar) dan minyak tanah. Di APBN 2020, besarnya Rp 18,7 triliun. Yang besar adalah subsidi LPG 3 kg senilai Rp 49,4 triliun.

"Subsidi ini memang perlu dipangkas secara bertahap dan dialihkan kepada sektor lain yang produktif. Tetapi, pengalihan tersebut harus memastikan bahwa masyarakat miskin tetap bisa mendapatkan energi dalam jumlah yang cukup dan berkualitas," ujar Febby. 

Baca juga : Dukung Pemerintah, Pegadaian Perluas Akses Pendanaan Bagi Nelayan

Menurut data dari Kementerian Keuangan, pada 2011 subsidi BBM mencapai Rp 165,2 triliun, kemudian pada 2012 meningkat tajam menjadi Rp 211,9 triliun. Pada tahun 2013 terjadi sedikit penurunan subsidi menjadi Rp 210 triliun, namun biaya ini meningkat kembali pada 2014 menjadi Rp 240 triliun. 

Data dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa bagian terbesar subsidi bahan bakar dinikmati pemilik kendaraan roda empat (53 persen), dan bukan oleh pengendara sepeda motor (40 persen), dan angkutan umum (3 persen). 

Bahkan, dalam laporan berjudul “Mengapa Mengurangi Subsidi Energi adalah kebijakan yang Matang, Adil, dan Transformatif bagi Indonesia?”, Chief Economist Bank Dunia di Indonesia, Ndiame Diop, mengungkapkan data yang mengejutkan. Ternyata, Rp 178 triliun subsidi bahan bakar dinikmati kelas menengah atas, bukan masyarakat miskin yang betul-betul memerlukan. [USU]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.