Dark/Light Mode

Bicara Neo Corporatism Di Era Pandemi

Panggil Semua Konglomerat, Ajak Mereka Berbagi Beban!

Selasa, 28 Juli 2020 07:50 WIB
Elvyn G Masassya
Elvyn G Masassya

RM.id  Rakyat Merdeka - Bicara Covid-19 dan pemulihan ekonomi, Elvyn G Masassya punya resep tersendiri. Menurut mantan Dirut Pelindo II ini, ada tiga pemain yang mampu menggerakkan ekonomi: UMKM, BUMN, dan para konglomerat. 

Dari ketiga pemain itu mantan Dirut BPJS Ketenagakerjaan ini memandang, kini giliran konglomerat yang harus turun tangan. Mengingat, selama ini mereka sudah banyak meraup keuntungan.

Berikut kutipan wawancara Rakyat Merdeka dengan Elvyn di Jakarta, kemarin. 

Covid benar-benar memukul ekononi, Anda melihat ini seperti apa? 

Ini ibarat orang kena serangan jantung, dibawa ke rumah sakit, dioperasi, atau pasang ring. Setelah itu survive. 

Tapi, dia harus mulai hidup dengan cara baru. Jaga kesehatan, jaga jarak, dan lain sebagainya. Itulah filosofi pandemi. Secara ekonomi ada dampaknya. Karena ekonomi mengalami turn down, ke bawah. Tapi yang paling menarik sebenarnya korporasi yang terkena imbas pandemi. 

Seharusnya mereka tidak lagi bekerja dengan cara sebelum terkena pandemi. Ke depan mestinya neo-corporatism. 

Apa itu neo-corporatism? 

Tata kelola kerjanya harus mengkonversi manual ke digital. Saya melihat banyak korporasi melakukan tiga cara mengatasi imbas pandemi. Pertama, memotong biaya yang perlu maupun yang tidak. Berhematlah kirakira. Kedua, mengontrol kegiatan, aktivitas dibatasi. Ketiga, restrukturisasi. 

Pandangan saya, tiga cara ini tidak keliru, tapi belum tentu efektif. Harusnya mereka masuk dengan cara baru. Dia harus pindah dari red ocean ke tempat baru, blue ocean. Artinya, korporasi harus melakukan transformasi bisnis, keuangan, dan organisasi. 

Baca juga : Pembangunan Daerah Jangan Cuma Bergantung Sama APBD

Contohnya seperti apa? 

Harus bisa menyerap perubahan style masyarakat. Transaksi mungkin tak pake tunai lagi. Proses bisnis gak pake manual, tapi digital. Di luar itu, bisnis juga direview. Bukan hanya restrukturiasi, cost cutting, cost control. Necessary but not suspension. 

Ke depan, perusahan gak boleh lagi serakah. Gak boleh “lo mau gua ada”. Dia harus fokus pada trennya. Tidak berekspansi pada hal baru yang tidak dikuasai. Kegenitan korporasi seperti itu harus ditinggalkan. 

Kalau diterapkan ke korporasi, konteks managing governance, ini ya good corporate governance. Pasca pandemi, perusahaan dan negara yang survive itu yang bisa melakukan transformasi, dalam pengelolaan resource allocation. Dia hanya menggunakan resource yang benar di tempat yang benar dengan cara yang benar, dengan bisnis yang benar. 

Mana yang sudah menggunakan tata kelola neo-corporatism di sektor pemerintahan? 

By nature, karena sektor itu sudah high regulated, itu adalah industri keuangan. Tapi itu sektornya. Sektor tidak cukup kalau orangnya tidak ikutan. Di dalam peristiwa kemarin, sektor keuangan meredam juga, karena pengelolaannya tidak benar. Ini berarti resource allocation, termasuk leadership, harus diperbaiki. 

Ada yang menyebut sektor keuangan ini dikelolanya tidak secara krisis. Manajemennya masih manajemen fiskal, ini kan monetary approach? 

Dalam keadaan krisis, ekonomi down turn ke bawah, itu sangat berbahaya kalau melakukan penetapan. Yang harusnya dilakukan adalah relaksasi. Supaya orang memiliki akses punya pendapatan, punya uang, menggerakkan usahanya, sehingga ada transaksi. Relaksasi itu yang mungkin belum terlalu kelihatan. 

Berpikir kekurangan cadangan kas itu, masih minjam saja, gimana dengan mencetak uang? 

Saya mau tanya balik, emang betul di Indonesia gak ada uang? Saya gak yakin. Kegiatan ekonomi berpuluh-puluh tahun belakangan ini menghasilkan uang yang sangat banyak. Tapi uang itu tidak di kapitalisasi, tidak di-monetize. 

Baca juga : Bareskrim Tangkap Penyebar Hoaks Ajakan Tarik Dana Perbankan

Ketika terjadi krisis, sharing pain seharusnya. Kalo kita negara gotong royong. Ekonomi Indonesia ini digerakkan 3 player. Pertama, UMKM (60%). Kedua, BUMN (20%). 

Ketiga, konglomerasi. Dari tiga ini, yang sisi private, saya tidak yakin konglomerasi tidak punya uang. Maka pertanyaannya, di mana peran konglomerasi ini untuk bisa ikut serta mengatasi krisis. 

Kalau saya punya otoritas, saya panggil 50 konglomerat. Anda kan sekian tahun sudah jadi konglomerat, ini saatnya krisis, ikut serta dong kasih bantuan. 

Bagaimana caranya para konglomerat itu ikut turun tangan bantu krisis ini? 

Jangan PHK karyawan. Produksi turun oke, tapi tetap bayar gaji dong, 50%. Konglomerat gak perlu rugi, nanti ketika ekonomi sudah membaik kita dengan tax (pajak). Itu konglomerat. 

Bagaimana dengan BUMN? 

BUMN itu ada 147. Tidak semuanya jadi kontributor terhadap ekonomi. Yang kasih beban juga ada, nah yang ini jangan ditolong dulu. Yang ditolong yang berikan kontribusi terhadap ekonomi dan rakyat. 

Titik penting penyelamatan ada di UMKM ya? 

UMKM inilah dengan segala cara all effort, harus diselamatkan, harus di-secure. Karena sebagian masyarakt Indonesia ini, data yang saya tahu, pengalaman tempat saya dulu, di Indonesia ini, ada 125 juta pekerja, 45 juta formal, 75 juta informal termasuk UMKM. Artinya dia mayoritas. 

Jadi, tiga inilah menurut saya jadi fokus yang di-rescue. Tiga player tadi, UMKM, BUMN yang memberikan dampak signifikan, dan konglomerat harus ikut serta sharing pain. 

Baca juga : Basuki: Bagi Sembako Perlu, Tapi, Apa Mau Begitu Terus?

BUMN, UMKM dan konglomerasi ini bagaimana relasinya? 

Tiga ini harus pararel. Konglomerasi ini kan yang punya pabrik, segala macam. Selain konglomerat jangan PHK, bisnis model pun harus diubah. Ketika si konglomerat jadi produsen, maka UMKM harus dijadikan supplier atau distributier terhadap bisnis dia. Jadi bisnis model kita pun pasca pandemi harus ditransformasi. 

Anda bicara bisnis new model, apa itu? 

The new economic approach itu, pasca pandemi dengan situasi seperti ini, mengajarkan kita harusnya yang paling atas itu distribusi merata. Sehinga orang strong. 

Kenapa konglomerat harus dibebankan ikut menyelamatkan krisis ini? 

Mengikutsertakan konglomerat ikut serta mengatasi pandemi ini, kira-kira itu bahasa halusnya. Dalam skala nasional, ini bukan pengalaman krisis pertama, walaupun krisis kali ini multi (kesehatan dan ekonomi). 

Tapi, coba kita belajar bagaimana Amerika Serikat menyelesaikan The Great Depression tahun 1930. Bagaimana Jepang menyelesaikan, membangkitkan negaranya dari Perang Dunia II. Yang mereka lakukan adalah mengundang CEO perusahaan ternama, mengundang ahli-ahli di luar pemerintahan, kemudian urun rembuk mencari solusinya. Kemudian mereka eksekusi, karena CEO itu punya eksekutor, dan ada resource juga. Tidak cukup hanya kebijakan.[RCH]
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.