Dark/Light Mode

Pencabutan FABA Dari Daftar B3 Bakal Persempit Ruang Gerak Mafia Limbah

Rabu, 17 Maret 2021 11:14 WIB
Ilustrasi batu bara/ Antara
Ilustrasi batu bara/ Antara

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah resmi mencabut FABA (Fly Ash dan Bottom Ash) dari daftar limbah B3 atau Bahan Berbahaya dan Beracun. Presiden Jokowi resmi menegaskan hal ini pada 2 Februari 2021. 

Dari kacamata akademis, pencabutan itu adalah hal baik dilakukan dan merujuk peraturan internasional. Sebaliknya, kebijakan ini bisa menjadi pembuka jalan bagi pemanfaatan FABA buat banyak hal, termasuk infrastuktur bahkan pertanian. 

FABA yang sudah diolah dengan baik sesuai standar  yang ditetapkan pemerintah, bisa dijadikan pembuat batu bata, semen, corn block, dan sejenisnya. 

Di beberapa negara maju, FABA yang merupakan limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bahkan dijadikan pupuk.

“Ini hadiah terbesar buat Indonesia. Saya melihat dari kacamata bangsa dan negara ini dari sisi infrastruktur. Dari sisi infrastruktur pembangunan jalan massif banget. Jika ini (FABA) bisa dimanfaatkan, alangkah hebatnya Indonesia,” kata peneliti FABA dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Januarti Jaya Ekaputri dalam webinar yang digelar salah satu radio nasional di Jakarta, Selasa (16/3).

Januarti menegaskan, dari sisi regulasi dan pengawasannya, FABA tetap perlu dikontrol kualitasnya. Dia menekankan, dalam jumlah banyak, tentu FABA punya efek bahaya.

Baca juga : BPKH : Pengecualian Pph Dana Haji Dukung Pengembangan Keuangan Syariah

Namun, jika dikelola dengan standar pemerintah dan internasional, FABA justru  bisa digunakan dan punya manfaat ekonomi.

Penelitian yang dilakukan Januarti di ITS  menyebutkan, limbah pembangkit listrik itu bisa bermanfaat. Tetapi, dia menganalogikan dengan nasi, sebagai contoh. 

“Nasi kan tidak berbahaya. Tetapi kita dipaksa makan 50 kg, nah itu kan jadi berbahaya. Sekarang pertanyaannya apakah nasi itu beracun? Nasi itu tidak beracun. Tetapi kalau dalam jumlah besar mungkin berbahaya,” jelas dosen ITS Surabaya tersebut.

Di kesempataan sama,  pakar kebijakan publik Agus Pambagio menilai, keputusan ini tepat. Dia juga menyoroti manfaat FABA yang dikelola teknologi baru.

“Sebelumnya FABA itu jumlahnya banyak dan sulit dikendalikan sehingga dimasukkan ke dalam kategori limbah B3. Tetapi seiring berkembangnya teknologi, FABA ternyata bisa diolah kembali menjadi sesuatu yang berguna,” ujar Agus.

Agus menilai, pencabutan FABA dari daftar limbah B3 juga bisa mempersempit ruang gerak mafia yang “bermain” dalam pengelolaan limbah, sehingga berpotensi merugikan pengelola PLTU.

Baca juga : Terima Pimpinan Baznas, Bamsoet Dukung Gerakan Cinta Zakat

Dia mengungkapkan, tempat pengelolaan limbah itu seluruhnya ada di Pulau Jawa. Jika PLTU-nya ada di Papua atau Sulawesi, maka harus diangkut ke Pulau Jawa dengan menghabiskan ongkos yang banyak. 

“Jika menimbun limbah terlalu lama, ada hukumannya seperti denda berkisar satu sampai tiga miliar rupiah, sehingga PLTU harus selalu mencari tanah kosong yang baru untuk limbah agar tidak tertimbun tinggi,” jelasnya.

“Sementara, untuk mengelola FABA dibutuhkan pembuatan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan biaya hingga Rp 400 jutaan. Di sinilah timbulnya praktik mafia,” urai Agus.

Sementara, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati menerangkan, pengelolaan FABA, sebagai limbah B3 dan limbah non B3 telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.

Tapi, dia menegaskan, pengelolaan FABA tetap diawasi hingga memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan.

Vivien menjelaskan, penetapan FABA menjadi limbah non B3 berdasarkan uji karakteristik pembakaran di pembangkit yang dilakukan pada temperatur tinggi. Suhu pengujian adalah di atas 140 derajat fahrenheit. Karena itu, kandungan unburnt carbon di dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan. 

Baca juga : Kalahkan Bali United 3-1, Banyak Peluang Emas Buat Timnas

Sedangkan pada proses pembakaran batu bara di industri lain dengan temperatur lebih rendah, limbah FABA yang dihasilkan merupakan limbah B3, yaitu Fly Ash kode limbah B409 dan Bottom Ash kode limbah B410

Hasil uji karakteristik lain, tidak ditemukan hasil reaktif terhadap sianida dan sulfida, serta tidak ditemukan korosif pada FABA dari  PLTU. 

“Walaupun dinyatakan sebagai Limbah non B3, namun penghasil limbah non B3 tetap memiliki kewajiban untuk memenuhi standar dan persyaratan teknis yang ditetapkan dan tercantum dalam persetujuan dokumen lingkungan,” tegas Vivien.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana menerangkan senada. 

Menurutnya, hasil uji karakteristik beracun TCLP dan LD-50 menunjukkan FABA yang dihasilkan PLTU memiliki konsentrasi zat pencemar lebih rendah dari yang dipersyaratkan pada PP Nomor 22 Tahun 2021. 

Hasil uji kandungan radionuklida FABA PLTU juga menunjukkan masih di bawah yang dipersyaratkan. [REN]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.