Dark/Light Mode

PP Pengupahan Tak Ramah Investasi

Buruh & Pengusaha Sama-sama Tekor  

Minggu, 5 Mei 2019 05:43 WIB
Ilustrasi demo buruh. (Foto: Net)
Ilustrasi demo buruh. (Foto: Net)

RM.id  Rakyat Merdeka - Rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan harus segera direalisasikan. Karena, regulasi tersebut dinilai tidak ramah investasi.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai positif rencana pemerintah merevisi PP Pengupahan. “Saya kira pemerintah harus segera merealisasikannya. Karena, aturan itu sejatinya tidak hanya merugikan buruh, tetapi juga pelaku usaha, baik besar maupun sektor Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM),” kata Bhima kepada Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.

Dia menjelaskan, salah satu misi pemerintah membuat PP Pengupahan untuk meningkatkan investasi. Tetapi kenyataannya, realisasi investasi Foreign Direct Investment (FDI) justru menurun 8,8 persen per tahun. Hal ini menjadi indikasi bahwa regulasi itu tidak ramah investasi.

Baca juga : Pro Kontra Tak Halangi DPR, Pembahasan RUU P-KS Jalan Terus 

“Saya lihat, PP 78 malah dianggap menghambat dunia usaha khususnya sektor padat karya. Ada pengusaha yang memang belum siap memberikan kenaikan upah yang tinggi seperti diatur dalam PP. Alasannya karena kondisi perekonomian sedang melemah,” ujarnya.

Menurut Bhima, penetapan gaji dikembalikan saja ke sistem perundingan tripartit (tiga pihak). Penetapan gaji dirumuskan melalui pertemuan perwakilan pemerintah, buruh, dan pengusaha.

Seperti diketahui, rencana revisi PP Pengupahan disampaikan Presiden Jokowi saat bertemu dengan perwakilan buruh menjelang peringatan Mayday (hari Buruh) akhir bulan April. Rencana ini disambut gembira asosiasi buruh. Sebab revisi PP Buruh merupakan tuntutan yang sudah lama mereka harapkan.

Baca juga : Penangguhan Pungutan Ekspor Jadi Insentif Bagi Pelaku Usaha

Pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak juga mendukung revisi PP pengupahan. Menurutnya, isi PP Pengupahan  tidak sejalan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Yang paling sangat kentara soal formulasi penetapan upah. 

Dalam PP Pengupahan disebutkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) ditetapkan berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional. Sedangkan UU Ketenagakerjaan menyebutkan UMP mengacu pada tingkat kubutuhan hidup layak (KHL).

Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2012 ada 60 kebutuhan dimasukan sebagai komponen KHL. "Kalau acuannya UU Ketenagakerjaan seharusnya upah minimum ditinjau dengan pertimbangan tingkat kehidupan layak, pertumbuhan ekonomi, dan produktivitas," katanya. 

Baca juga : DPR Rayu Jerman Tambah Investasi Di Indonesia

Payaman menuturkan, mengacu pada UU Ketenagakerjaan sebenarnya kenaikan gaji tidak harus dilakukan setiap tahun jika upah telah memenuhi tingkat kehidupan layak. Dia yakin pengusaha mendukung revisi PP Pengupahan. Karena, kenaikan upah setiap tahun membuat investor merasa terbebani. Upah naik tetapi produktivitas cenderung stagnan. [KPJ]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.