Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Tingginya Harga Daging Babi Hanya Terjadi Di 3 Daerah

Jumat, 19 Maret 2021 12:57 WIB
Peternakan babi/Ist
Peternakan babi/Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) menjelaskan, harga babi yang tinggi sejatinya tidak merata di seluruh wilayah Tanah Air. Kenaikan harga yang signifikan secara umum hanya terjadi di beberapa provinsi di wilayah Sumatera.

Berdasarakan sumber data Simponi Ternak PIP Ditjen PKH Kementan, perkembangan harga rata-rata nasional daging babi sejak Januari sampai minggu kedua Maret 2021 ada di angka Rp 91.925/kg. 

Untuk wilayah Sumatera, harga rata-rata daging babi di Provinsi Bangka Belitung (Babel) mencapai Rp 125.834/kg, diikuti Provinsi Sumatera Utara (Sumut) yang mencapai Rp 125.828/kg serta Provinsi Lampung berkisar Rp 111.429/kg.

Sedangkan untuk harga babi hidup di tingkat produsen dari Januari sampai minggu kedua Maret 2021, rata-rata di provinsi sentra berkisar Rp 44.755/kg BH, dengan harga tertinggi terdapat di Provinsi Sumatera Utara Rp65.573/kg BH. 

“Tapi jika dibandingkan dengan minggu pertama Maret, harga di Minggu kedua Maret 2021 ini sebenarnya sudah mengalami penurunan 0,9 persen,” ujar Direktur Jenderal PKH Nasrullah.

Tingginya harga babi di tiga wilayah itu diduga terjadi karena kelangkaan daging babi imbas mewabahnya African Swine Fever (ASF).

Akibatnya, populasi ternak babi di daerah-daerah sentra Sumatera menurun dan berpengaruh pada penyediaan daging babi di Sumatera.

Baca juga : 150 Warga Taiwan Rela Ganti Nama Jadi Salmon, Demi Makan Sushi Gratis

ASF merupakan penyakit pada babi yang sangat menular dan dapat menyebabkan kematian pada babi hingga 100 persen. 

Maka, saat ini belum ada obat maupun vaksin untuk mencegah penyakit ASF. Hanya penerapan biosecurity yang mampu mencegah penyakit ini.

Karena, vaksin dan obat ASF belum ditemukan, maka penerapan biosecurity dan pengawasan lalu lintas babi dan produknya merupakan hal yang vital. 

Khusus untuk biosecurity, Ditjen PKH telah menerbitkan pedoman dan melaksanakan bimbingan teknis, baik kepada petugas dinas maupun kepada peternak melalui asosiasi.

"Untuk pengawasan lalu lintas hewan dan produknya dilaksanakan oleh Pemda melalui Dinas dan Petugas Karantina Pertanian di pintu-pintu pemasukan nasional dan antar daerah," imbuh Nasrullah.

Dia menambahlan, sebenarnya masih banyak Provinsi dan Kabupaten sentra ternak babi yang bebas ASF. Misalnya, di Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan Papua, sehingga terbuka peluang meningkatkan populasi di wilayah tersebut dengan menjaga biosecurity.

Selain itu, upaya Kompartementalisasi Farm juga dapat menjaga Farm tetap bebas dari ASF meskipun di daerah tertular, sehingga usaha peternakan babi dapat terus berjalan.

Baca juga : Banyak Mudaratnya, Roaming Nasional Tak Perlu Diterapkan

Meskipun memerlukan penerapan biosecurity yang lebih ketat untuk memenuhi syarat kompartemen bebas ASF.

"Kalau nanti produksi ditingkatkan di wilayah yang masih bebas ASF, maka perlu ada fasilitasi untuk distribusi hasil (babi hidup atau produknya) ke wilayah konsumen yang belum bebas ASF. Bisa berupa sarana transport untuk babi hidup atau cold chains untuk produk babi," papar Nasrullah.

Kementan melalui Ditjen PKH juga berupaya melakukan penanggulangan dan pengendalian harga babi. 

Antara lain, menerbitkan Kepmentan Nomor 820 Tahun 2019 tentang pernyataan wabah penyakit AFS pada beberapa kabupaten/kota di 16 kab/kota Provinsi Sumatera Utara untuk mencegah semakin menyebarnya penyakit ASF dengan dilakukan penutupan wilayah.

Kemudian, memberikan bantuan disinfektan, vitamin dan feed additev untuk ternak babi, memberikan bantuan operasional kepada petugas posko, melakukan sosialiasi biosecurity dan bimtek kepada petugas serta peternak.

Lalu, melakukan sertifikasi kompartemen bebas penyakit ASF kepada peternakan/farm komersial di Sumut dalam rangka memberikan fasilitas perdagangan antar wilayah. 

Selain itu, Pemprov Sumut juga telah mengupayakan pemasukan ternak babi dari wilayah lainnya, seperti dari Kalimantan Barat.

Baca juga : Pentingnya Menjaga Well Being dimasa Pandemi

Nasrullah menjelaskan, dinamika harga daging babi di Sumut dan dua daerah lainnya di Sumatera diperkirakan terjadi karena ketersediaan dan kebutuhan daging babi yang sebagian penduduknya mengkonsumsi daging babi. 

Tidak hanya untuk konsumsi rutin, namun juga terkait dengan adat istiadat serta kehidupan sosial dan budaya masyarakat.

Ditambah, kondisi adanya wabah penyakit ASF yang terjadi, tentunya memberi dampak terhadap kemampuan penyediaan daging babi daerah tersebut. 

“Pertumbuhan jumlah penduduk serta akses memperoleh produk tersebut tentunya mempengaruhi terbentuknya harga," tutur dia. [KAL]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.