Dark/Light Mode

Kalau Terjadi Perang Nuklir, Apa Yang Harus Kita Siapkan?

Sabtu, 25 Februari 2023 07:17 WIB
Pengamat politik Muhammad Qodari (Foto: Istimewa)
Pengamat politik Muhammad Qodari (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Sikap Presiden Rusia Vladimir Putin, yang mau memperkuat kembali senjata nuklirnya, bikin banyak negara deg-degan. Tak cuma musuh-musuh Rusia, tapi juga negara non-blok seperti Indonesia. Sebab, rencana Rusia itu bisa memicu perang nuklir.

Kalau perang nuklir itu terjadi, apa yang harus kita siapkan? Pengamat politik Muhammad Qodari menyebut, untuk menghadapi hal itu, tumpuan pertamanya adalah kepemimpinan nasional. Dengan begitu, apa pun yang terjadi di tataran global, Indonesia bisa menghadapinya dengan baik.

"Indonesia harus memiliki pemimpin nasional yang kuat di tengah kompetisi politik kekuatan dunia yang meningkat yakni AS dan Barat di satu sisi dan Rusia dan China di sisi lain," kata Qodari, dalam keterangan tertulisnya, kemarin.

Dia juga menyarankan pemerintah mempersiapkan "doomsday scenario" alias skenario hadapi “kiamat” untuk menyelamatkan Indonesia jika terjadi perang nuklir. "Apa contingency plan (rencana darurat)-nya secara kesehatan, keamanan, pangan dan ekonomi. Anggap saja kita mengantisipasi bencana global seperti Covid-19," lanjutnya.

Ia menambahkan, Indonesia harus waspada dengan kepentingan dan permainan negara asing dalam konteks perang pengaruh yang kini melanda negara-negara super power. "Jangan sampai dinamika dan agenda domestik seperti pemilu dijadikan arena oleh negara-negara tersebut untuk mengganggu stabilitas dan kemandirian Indonesia," ucapnya, mengingatkan.

Baca juga : Deg-degan Perang Dunia III, Mahathir Minta Malaysia Siapkan Rencana Darurat

Sementara, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana menyayangkan keputusan Indonesia menyetujui Resolusi Majelis Umum PBB terkait desakan agar Rusia menarik mundur militernya. Menurut Hikmahanto, hal itu merupakan pilihan kurang baik.

Menurut Hikmahanto, harusnya Indonesia dalam posisi abstain, agar ketika situasi menghendaki, Indonesia bisa menjadi penengah untuk mengakhiri perang di Ukraina tanpa menyalahkan atau membenarkan pihak-pihak yang bertikai.

"Indonesia harus memegang teguh politik luar negeri bebas aktif sehingga tidak berpihak ke salah satu pihak yang bertikai dalam ikhtiar menciptakan perdamaian di Ukraina dan terhindarnya krisis kemanusiaan, krisis pangan, krisis energi dan krisis perekonomian dunia," kata Hikmahanto, kemarin.

Abstain, lanjut Hikmahanto, adalah pilihan ideal mengingat ada dua narasi dalam perang di Ukraina yang dibangun. Pertama, narasi yang dibangun berdasarkan Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB yang intinya anggota PBB wajib menahan diri untuk menggunakan kekerasan terhadap integritas teritorial anggota lainnya. "Narasi ini dibangun oleh Ukraina dengan dukungan AS dan negara sekutunya," sebutnya.

Narasi kedua dibangun berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB terkait hak untuk membela diri. Narasi ini dibangun oleh Rusia. Karena itu, Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani berpandangan seharusnya Indonesia membangun narasi berdasarkan Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB yang mengamanatkan agar setiap sengketa antar negara wajib diselesaikan secara damai sedemikian rupa. Sehingga tidak membahayakan perdamaian, keamanan dan keadilan internasional.

Baca juga : Ibarat Terpapar Covid-19, Mitra Deradikalisasi Harus Diperhatikan

"Posisi Indonesia ini telah disuarakan oleh Bapak Presiden sehari setelah Rusia melakukan serangan militer khusus dalam tweetnya "Stop Perang." Dan beliau telah mengingatkan perang itu menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia," terangnya.

Yang ketar-ketir bukan hanya Indonesia, Malaysia juga. Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad meminta negaranya untuk menyiapkan contingency plan atau rencana darurat untuk menghadapi kemungkinan Perang Dunia III. "Sekalipun saat ini tengah menghadapi masalah kelangkaan dan inflasi," kata Mahathir via Twitter, kemarin.

Mahathir berpendapat, perang antara Ukraina dan Rusia saat ini disebabkan kecintaan orang Eropa pada perang, hegemoni, dominasi. Ia menceritakan bahwa dulunya, Rusia adalah mitra Eropa Barat (termasuk AS dan Kanada) dalam perang melawan Jerman.

Saat Jerman dikalahkan, Barat menyatakan bahwa Rusia, mitra mereka sebelumnya berubah menjadi musuh baru mereka. "Jadi, mereka harus mempersiapkan perang melawan Rusia. Sementara NATO, dibentuk untuk membentuk aliansi militer melawan Rusia," jelas Mahathir.

Rusia kemudian mendirikan Pakta Warsawa. Perang dingin pun terjadi. Dunia harus memilih antara Barat dan Timur. Tapi, hingga Rusia membubarkan Pakta Warsawa dan mengizinkan negara-negara Uni Republik Sosialis Soviet meninggalkan blok tersebut, NATO tidak bubar. Sebaliknya, negara-negara yang dibebaskan dari hegemoni Rusia didesak untuk bergabung dengan NATO, sebagai musuh Rusia. Tekanan terhadap Rusia yang melemah pun meningkat.

Baca juga : Perang Dunia Depan Mata

"Ketika bekas republik sosialis bergabung dengan NATO dan ancaman terhadap negaranya meningkat, Rusia membangun kembali kemampuan militernya dan menghadapi aliansi barat yang kuat. Ketegangan meningkat, ketika pasukan NATO melakukan latihan di dekat Rusia," beber Mahathir.

Selain itu, kata dia, juga ada provokasi di Timur Jauh. Kunjungan pejabat tinggi AS ke Taiwan beberapa waktu lalu memicu peningkatan ketegangan antara China dan Taiwan. Sejauh ini, AS telah menjual banyak senjata ke Taiwan, sementara China menjadi lebih agresif.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.