Dark/Light Mode

Bentuk 3 Komite untuk Lawan Israel

Kelompok-Kelompok Palestina Rapatkan Barisan

Selasa, 15 September 2020 15:23 WIB
Sepatu Palestina ditempatkan di atas foto Presiden AS Donald Trump, Putra Mahkota Uni Emirat Arab (UEA) Mohammed bin Zayed Al Nahyan, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat warga Palestina berdemo menentang kesepakatan damai UEA dan Israel yang disponsori Amerika Serikat. [Foto: Majdi Mohammed / Reuters]
Sepatu Palestina ditempatkan di atas foto Presiden AS Donald Trump, Putra Mahkota Uni Emirat Arab (UEA) Mohammed bin Zayed Al Nahyan, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu saat warga Palestina berdemo menentang kesepakatan damai UEA dan Israel yang disponsori Amerika Serikat. [Foto: Majdi Mohammed / Reuters]

RM.id  Rakyat Merdeka - Kelompok-kelompok Palestina berencana melakukan pertemuan-pertemuan untuk memperkuat persatuan dalam menghadapi Israel. Terutama, setelah dua negara Arab, Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA) membuka hubungan diplomatik mereka dengan Israel.

Sekretaris Jenderal Komite Pusat Fatah, Jibril Rajoub menyatakan, faksi-faksi Palestina setuju akan ada perubahan dalam aturan menghadapi pasukan Israel. "Kami tidak akan membiarkan penjajah mencabut satu pun pohon zaitun, atau melukai satu pun orang Palestina, tanpa menanggung akibatnya," katanya.

Rajoub merupakan tokoh Fatah di balik inisiatif memulai kembali pembicaraan dengan Hamas pada Juni lalu.

Diberitakan sebelumnya, Selasa (15/9/2020) waktu Washington, para menteri luar negeri UEA dan Bahrain akan menandatangani perjanjian damai dengan Israel di Gedung Putih, Washington. Perjanjian itu dinilai Palestina sudah melanggar Prakarsa Perdamaian Arab (Arab Peace Initiative). Bahkan, juga dianggap ancaman bagi tuntutan negara-negara Arab sebelumnya, agar Israel mengakhiri penjajahannya selama puluhan tahun dan menyetujui solusi dua negara dengan Palestina.

Sabtu (12/9/2020) lalu, dua faksi Palestina, Hamas dan Fatah bahkan telah menyepakati persatuan semua kelompok, demi memimpin perlawanan rakyat yang komprehensif terhadap pendudukan Israel. Termasuk, menjadikan hari Selasa (15/9/2020) sebagai “Hari Penolakan Rakyat” (Popular Rejection).

Bahkan, warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat merencanakan demonstrasi bertema "Hari Kemarahan" (Day of Rage). Seruan juga disebar untuk menggelar aksi-aksi serupa di depan Kedutaan Besar Israel, Amerika Serikat (AS), UEA, dan Bahrain di seluruh dunia.

Baca juga : Ditangkap Setelah Ditembak Israel, Pemuda Palestina Akhirnya Tewas

Kesepakatan persatuan kelompok-kelompok Palestina ini terwujud setelah dilakukan pembicaraan internal virtual pada 3 September lalu di Ramallah, Tepi Barat yang kini masih diduduki Israel dan Beirut, Lebanon. Yakni antara Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Ismail Haniya dari Hamas, pimpinan Jihad Islam Ziyad al-Nakhala, dan para pemimpin berbagai kelompok Palestina lainnya.

Sebenarnya, Hamas dan kelompok Palestina lainnya selama bertahun-tahun meminta pertemuan semacam itu digelar, namun Abbas selalu menolak. Karena menilai, Hamas tidak menghormati pakta persatuan sebelumnya terlebih dahulu.

Menurut anggota Biro Politik Hamas, Husam Badran, seperti dikutip kantor berita Al Jazeera, sejumlah faktor memang kian mendorong rakyat Palestina mesti bersatu. Di antaranya, konsep "kesepakatan abad ini" yang digagas Presiden AS Donald Trump, yang berujung pindahnya Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Yang kedua, rencana aneksasi Israel atas wilayah Palestina yang terus berjalan, hingga UEA dan Bahrain yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Yang terakhir ini, bahkan dianggap Palestina sebagai tikaman di belakang bangsa Palestina, yang kini masih berjuang melawan Israel.

Kesepakatan internal Palestina ini menyepakati pembentukan tiga komite. Pertama, komite yang berfokus pada pembentukan kepemimpinan lapangan yang bersatu, untuk mengaktifkan perjuangan rakyat melawan penjajahan Israel.

Kedua, komite yang bertugas mengakhiri pembagian antara Gaza (Hamas) dan Tepi Barat (Fatah). Ketiga, komite yang bertugas menghidupkan kembali Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Baca juga : Pasukan Israel Tembak Mati Warga Palestina di Yerusalem

Komite ini diberi batas waktu lima pekan untuk menyampaikan rekomendasi kepada Presiden Palestina, Mahmoud Abbas. Abbas berjanji, dia akan menyetujui rekomendasi apapun yang nantinya disampaikan kepadanya.

Kelompok Hamas dan Fatah terpecah sejak 2007, ketika Hamas mengusir pasukan keamanan Fatah dari Gaza, menyusul ketegangan berbulan-bulan. Berbagai upaya telah dilakukan sejak saat itu untuk menjembatani jurang pemisah antara keduanya, tapi tak pernah berhasil.

Persaingan Hamas-Fatah adalah fenomena politik berupa persaingan antara dua kekuatan politik Palestina. Persaingan keduanya bukan hanya persaingan politik kekuasaan semata, tapi juga persaingan ideologi, visi, dan cara perjuangan, meski keduanya masih tetap memiliki satu persamaan, yaitu kemerdekaan Palestina.

Masalah lain muncul, ketika Hamas memenangkan pemilu di Palestina pada 2006, Amerika Serikat memutuskan memboikot perekonomian Palestina. Boikot itu membuat pemerintahan Palestina di bawah Hamas mengalami banyak kesulitan ekonomi, seperti tidak mampu membayar gaji pegawai negeri juga aparat kepolisian Palestina.

Keinginan menciptakan pemerintahan bersama antara Hamas dan Fatah nyatanya banyak mengalami kendala. Setidaknya, ada tiga hal yang membuat normalisasi hubungan Hamas dan Fatah tidak berjalan lancar.

Pertama, Hamas diminta mengakui Israel. Hal ini tetap ditolak Hamas, karena itu artinya bertentangan dengan cita-cita dan ideologi Hamas.

Baca juga : Basuki Geber Proyek Jalan Tol Di Era Kenormalan Baru

Kedua, Hamas diharuskan meninggalkan perjuangan kekerasan atau perang. Hal ini juga ditolak Hamas, karena bagi Hamas, perjuangan dengan perang adalah perjuangan suci (jihad), sekaligus memberikan tekanan yang lebih besar bagi Israel.

Ketiga, Hamas diwajibkan mengakui semua perjanjian yang dilakukan Fatah dan Israel sejak era Yasser Arafat. Hal ini juga ditolak Hamas, karena pengakuan terhadap perjanjian dan diplomasi dengan Israel, dianggap melanggar nilai-nilai ideologis perjuangan Hamas.

Penolakan Hamas terhadap syarat-syarat Fatah itu, membuat situasi politik Palestina menjadi tidak stabil dan mengalami kebuntuan. Hingga, persatuan nasional Palestina yang tidak kunjung tercapai.

Namun dalam beberapa bulan terakhir, dua gerakan utama Palestina ini kian aktif melakukan pembicaraan positif. Pemicunya, rencana aneksasi musuh bersama mereka, Israel. Juga karena mereka sama-sama menolak rencana-rencana yang digagas Israel-Amerika.

Analis politik Palestina, Husam al-Dajani menilai, upaya persatuan Palestina datang pada waktu yang sangat sensitif. Di mana perjuangan Palestina dihadapkan pada ancaman dan tantangan yang serius dan strategis. “Dimulai upaya Amerika memaksakan fakta di lapangan untuk melegitimasi pendudukan Israel, dan rencana Israel mencaplok Tepi Barat," ujarnya, kepada Al Jazeera.

Selain itu, ancaman terakhir adalah keputusan UEA membuka hubungan diplomatik dengan Israel, tanpa memperhatikan hak-hak atau perjuangan Palestina. "Harus ada upaya gigih untuk memulihkan pertimbangan proyek nasional Palestina. Pekerjaan ini dimulai dengan mengakhiri perpecahan agar dapat menghadapi semua ancaman dan tantangan," lanjutnya. [DAY]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.