Dark/Light Mode

Rekonsolidasi Strategi Kebudayaan Nasional (17)

Antara Agama Negara, Negara Agama, Dan Negara Sekuler (1)

Kamis, 29 Desember 2022 06:29 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Ada kasus menarik di Prancis. Ketika Presiden Prancis, Jacques Rene Chirac, menyatakan pembebasan sekolah dari simbol-simbol agama seperti jilbab, kippa, dan tanda salib, den­gan alasan Prancis adalah negara sekuler, bukan negara agama atau memiliki agama resmi tertentu, maka langsung memicu protes keras di dalam masyarakat, terutama kalangan oposisi yang ingin memanfaatkan suara imigran muslim di Prancis.

Fenomena jilbab bukan lagi fenomena agama tetapi sudah menjadi trend dan pilihan sadar yang sesuai dengan hak asasi manusia. Akan tetapi, Chirac kembali menuai protes ketika ia memberikan pernyataan belasungkawa berlebihan ketika wafatnya Paus Johannes Paulus II dan ia sendiri memimpin rombongan besarnya datang menghadiri pemakaman Paus di Roma.

Baca juga : Fungsi Agama Dan Kepercayaan Di Dalam NKRI

Kalangan oposisi menyerang Chirac dengan alasan yang sama: Prancis negara sekuler. Mengapa Chirac melarang penggunaan jilbab dan simbol agama lainnya tetapi pada sisi lain memberikan apresiasi besar terhadap kematian Paus, yang notabene seorang pemimpin agama tertentu, bukan pemimpin nation state.

Ini suatu bukti perdebatan konseptual antara agama dan negara di dalam setiap negara selalu menjadi masalah aktual, apalagi pada negara yang dipadati oleh salahsatu penganut agama tertentu.

Baca juga : Keberadaan Agama Dan Kepercayaan

Tema perdebatan yang sering muncul pada setiap negara ialah apa definisi dan persepsi negara tentang agama, dan apa definisi dan persepsi agama tentang negara; siapa yang berhak mendefinisikan agama dan negara; siapa yang menentukan kriteria sebuah agama atau bukan agama; sampai kepada perdebatan filosofis tentang apa sesungguhnya substansi agama, apakah wacana itu betul-betul murni ajaran agama atau hanya interpretasi agama? Seberapa jauh agama harus mencampuri urusan negara dan seberapa jauh pula negara harus mencampuri urusan agama?

Agama dalam suatu negara tidak selamanya tampil seba­gai faktor independen. Agama sering tampil sangat depen­den terhadap negara dan bahkan agama terkadang menjadi alat legitimasi para penguasa.

Baca juga : Nasionalisme Indonesia Yang Terbuka

Persoalan akan menjadi lebih rumit jika persepsi “negara” yang dianut oleh suatu bangsa (baca: Penguasa) mengikuti pola Hegel (1776-1831) yang menganggap negara sebagai penjelmaan jiwa mutlak, dan dalam upaya mencapai tujuannya tidak peduli harus men­gorbankan maslaha-maslahat pribadi.

Seolah-olah negara mempunyai bahasa sendiri, budipekerti sendiri, pikiran sendiri, bahkan nilai-nilai agama sendiri. Bagi Hegel, negara adalah tujuan, bukan cara. Pribadi, keluarga dan masyarakatlah yang menjadi cara.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.