Dark/Light Mode

Rekonsolidasi Strategi Kebudayaan Nasional (11)

Sejarah Dan Filosofi “Bhinneka Tunggal Ika”

Jumat, 23 Desember 2022 06:29 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Empu Tantular dalam kitab ‘Sutasoma’-nya menggores sebuah kalimat menarik: Bhinneka Tunggal Ika. Mungkin beliau tidak pernah membayangkan istilah yang dicetus­kannya akan menjadi simbol pemersatu negara yang amat dahsyat.

Istilah Bhinneka Tunggal Ika, yang sering diartikan dengan bercerai berai tetapi tetap satu atau kesatuan di dalam keberagaman, digunakan para founding fathers kita di dalam memperkenalkan Indonesia di dalam dan di luar negeri.

Dalam perspektif Islam, keberagaman itu sendiri adalah sunnatullah. Menolak keragaman berarti menolak sunnatul­lah. Dalam Al-Qur'an ditegaskan: Wa lau sya'a Rabbuka laja'alnakum ummatan wahidah (Jika Tuhan-Mu mengh­endaki niscaya ia menjadikan kalian suatu umat/(Q.S. Al-Maidah/5:48). Dalam ayat tersebut Allah SWT menggunakan kata/huruf lau, bukannya in atau idza.

Baca juga : Pluralitas Masyarakat Nusantara

Dalam kaedah Tafsir dijelaskan, apabila Allah menggunakan kata lau (jika) maka sesungguhnya hampir mustahil kenyataan itu tidak akan pernah mungkin terjadi. Kalau kata in (jika) kemungkinan kenyataan itu bisa terjadi bisa juga tidak, dan kalau kata idza (jika) pasti kenyataan yang digambarkan itu akan terjadi.

Masalahnya sekarang kamus bahasa Indoneseia kita tidak memiliki kosa kata sepadan dengan bahasa Arab, sehingga keseluruhannya diartikan dengan jika.

Ketegangan konseptual bahkan konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia tidak jarang terjadi karena dipicu sentimen perbedaan penafsiran kitab suci.

Baca juga : Memahami Background Indonesia (2)

Ada segolongan sering memperatasnamakan suatu penafsiran lalu meny­erang kelompok lain, karena mengklaim dirinya paling benar. Ironisnya, tidak jarang terjadi justru terkadang kel­ompok minoritas yang menyatakan kelompok mayoritas atau mainstream yang sesat.

Kelompok pemurni ajaran (puritanisme) seringkali mengklaim diri paling benar dan mereka merasa perlu membersihkan ajaran agama dari berbagai khurafat dan bid'ah. Namun kelompok mayoritas yang diobok-obok seringkali di antaranya tidak menerima serangan pembid'ahan itu karena merasa dirinya berdasar dari sumber ajaran dan dipandu oleh ulama besar.

Akibatnya kelompok mayoritas melakukan penyerangan terhadap kelompok minoritas. Sebaliknya kelompok minoritas selalu mengusik kelompok mayoritas. Kasus seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di negara-negara yang didominasi satu kelompok agama atau etnik mayoritas.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.