Dark/Light Mode

Hobi Makan Satwa Liar, Picu Penyebaran Virus Korona

Jumat, 24 Januari 2020 09:09 WIB
Penjual di Pasar Wuhan, China tampak sedang menyiapkan kodok untuk dijual. (Foto: SCMP)
Penjual di Pasar Wuhan, China tampak sedang menyiapkan kodok untuk dijual. (Foto: SCMP)

RM.id  Rakyat Merdeka - Sebelum resmi ditutup, berbagai hewan eksotis - mulai dari ular hingga musang - tersedia di pasar basah yang terletak di pusat Kota Wuhan, China.

Diduga kuat, pasar itu menjadi awal mula penyebaran coronavirus atau virus Korona yang mematikan di seantero jagat. Dengan gejala menyerupai pneumonia atau radang paru-paru.

Virus ini dilaporkan telah merenggut 17 nyawa dan menginfeksi hampir 600 orang di seluruh dunia.

Mayoritas kasus terjadi di provinsi Hubei, yang menaungi Kota Wuhan. Kota itu membukukan 375 kasus penyebaran virus Korona.

Rumah sakit di Wuhan, China disesaki oleh pasien virus Korona (Foto: SCMP)

Mengingat banyaknya korban yang berdomisili dan bekerja di sekitar Pasar Grosir Seafood Huanan, para ahli menduga biang kerok virus Korona ini berasal dari hewan liar yang dijual di pasar tersebut.

Tak mau korban jatuh lebih banyak, pemerintah China pun menutup Pasar Grosir Seafood Huanan pada Desember 2019. Saat ini, pasar tersebut berada dalam pengawasan ketat petugas keamanan.

Satu kios yang berada di sisi timur pasar, menarik perhatian netizen. Dazhong Dianping, aplikasi soal ulasan dan penilaian terpopuler di China menginformasikan, kios tersebut menjajakan 100 ragam unggas dan satwa hidup lainnya.

Baca juga : Badan POM Apresiasi Pengembangan Obat Ginjal dari Kalbe

Mulai dari rubah hingga serigala, dan musang kelapa bertopeng.

Daftar harga satwa liar yang diperdagangkan di pasar basah Wuhan, tempat yang diduga kuat memunculkan virus Korona untuk pertama kali. Ada satwa hidup juga yang dijual di sana. (Foto: Weibo)

Menurut catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO) musang kelapa diyakini menjadi hewan perantara virus dari kelelawar ke manusia, yang menyebabkan virus saluran pernapasan akut (SARS) pada tahun 2002-2003.

Pada masa itu, virus SARS menjangkiti 8.098 orang dan menyebabkan 774 orang meninggal dunia sejagat raya.

Kepiting, udang, dan ikan bass bergaris adalah jenis makanan terlaris di Pasar Huanan, yang luasnya 540.000 meter persegi. Selain itu, ada banyak hewan eksotis yang dijajakan.

"Ada kura-kura, ular, tikus, landak, dan burung pegar," ungkap Ai, wanita berusia 59 tahun yang tinggal di sekitar Pasar Huanan, seperti dikutip Inkstone, Kamis (23/1).

Penjual sayuran yang tak mau disebutkan namanya juga mengungkap, Pasar Huanan sudah lama menjajakan aneka satwa hidup untuk disantap.

Badan Perindustrian dan Perdagangan Wuhan pada September 2019 juga melaporkan, dalam sidak yang dilakukan di delapan kios di Pasar Huanan, ditemukan adanya penjualan satwa hidup. Seperti katak harimau, ular, landak.

Baca juga : Pemprov DKI Imbau Seluruh Warga Waspadai Virus Korona

Di China, pembiakan satwa liar untuk tujuan bisnis memang tidak dilarang. Asalkan, mendapat persetujuan dari Pemerintah Provinsi, yang disesuaikan dengan UU Perlindungan Satwa Liar.

Terkait hal ini, Otoritas Kesehatan Wuhan mengatakan akan meningkatkan pengawasan di pasar, serta melarang penjualan unggas dan satwa liar.

Dari hasil kunjungannya ke Wuhan, Direktur Laboratorium Penyakit Pernapasan China yang juga dikenal sebagai pakar kaliber dunia untuk penyakit SARS, Zhong Nanshan mengatakan, virus Korona jenis baru diduga berasal dari tikus bambu atau musang.

"Penyebaran virus itu terkonsentrasi di dua distrik di Wuhan, yang memiliki pasar seafood berskala besar," ungkap Zhong dalam wawancara dengan stasiun TV pemerintah, CCTV, Senin (21/1).

"Banyak penjual nakal yang menjual satwa liar. Menurut hasil analisis epidemiologi awal, virus tersebut dimungkinkan berasal dari satwa liar," imbuhnya.

Sementara itu, Peneliti Wuhan Institute of Virology at the Chinese Academy of Sciences Shi Zengli mengatakan, problem utama sesungguhnya ada kebiasaan makan masyarakat, ketimbang satwa yang dituding menjadi biang kerok.

"Cara paling sederhana mencegah penyakit itu adalah menjauhi satwa liar, jangan nekat menjualnya tanpa lisensi. Hindari habitatnya, dan jangan campur adukkan produk pertanian dengan satwa liar tersebut," terang Shi.

Baca juga : Sriwijaya Air Siapkan Penerbangan Ekstra Ke Pangkalpinang

Soal ini, Pakar Ekonomi Politik Independen Hu Xingdou mengungkap, kegemaran masyarakat China menyantap satwa liar memiliki akar budaya, ekonomi, dan politik yang kuat.

"Sementara Barat menjunjung tinggi nilai-nilai berupa kebebasan dan hak asasi manusia lainnya, masyarakat China memfokuskan makanan sebagai kebutuhan utama. Karena kelaparan pernah menjadi ancaman besar, dan bagian yang tak terlupakan dari memori nasional," jelas Hu.

"Saat ini, memenuhi kebutuhan perut tak lagi menjadi masalah bagi sebagian warga China. Namun, menyantap makanan atau daging jenis baru, organ atau bagian dari satwa dan tumbuhan langka, tampaknya telah menjadi parameter identitas bagi mereka," tambahnya.

Survei yang dirilis WildAid yang berbasis di San Francisco dan Asosiasi Pelestarian Satwa Liar milik pemerintah China menyebutkan,  70 persen dari 24.000 responden di 16 kota di China Daratan, tak pernah menyantap satwa liar di tahun sebelumnya.

Angka ini meningkat 51 persen, dibanding survei serupa tahun 1999. [HES]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.