Dark/Light Mode

Rugikan Korban Tindak Kejahatan

LPSK Desak Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Ditinjau Ulang

Selasa, 25 Januari 2022 19:36 WIB
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi. (Foto: Istimewa)
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi. (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendesak pemerintah untuk meninjau ulang Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. LPSK menilai Pasal 52 ayat (1) huruf r ini merugikan masyarakat, khususnya korban tindak kejahatan.                

"Pasal 52 ayat (1) huruf r yang mengatur mengenai manfaat yang tidak dijamin telah mengabaikan situasi kedaruratan yang mengancam keselamatan korban jiwa tindak pidana karena konsekuensi penolakan jaminan dari BPJS Kesehatan," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu di Jakarta, Selasa (25/1).                 

Dia menerangkan, berdasarkan pasal tersebut pelayanan kesehatan yang tidak dijamin BPJS adalah pelayanan kesehatan akibat tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme, dan tindak pidana perdagangan orang.                

Baca juga : HNW: Sanksi Berat Pelaku Kejahatan Seksual Anak Layak Diterapkan

"Pasal ini bertentangan dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban karena LPSK memberikan perlindungan kepada korban tindak pidana dengan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang, termasuk tindak pidana tertentu yang sudah diatur menjadi prioritas perlindungan LPSK," kata Edwin.

Pada prinsipnya, LPSK keberatan dengan Pasal 52 ayat (1) huruf r yang mengatur mengenai manfaat yang tidak dijamin BPJS karena sedari awal LPSK memang tidak pernah dilibatkan dalam penyusunannya.                

Selain itu, LPSK bukanlah lembaga penjamin sebagaimana halnya BPJS. Bahkan, BPJS dalam melaksanakan tugasnya menarik iuran dari masyarakat.                

Baca juga : DPRD Kota Bandung Minta APBD Perubahan 2021 Dikaji Ulang

"LPSK memberikan perlindungan dan hak-hak lain bagi saksi dan/atau korban tindak pidana, murni menggunakan dana APBN. Dengan keterbatasan anggaran yang dialokasikan ke LPSK setiap tahunnya, tidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan korban tindak pidana yang tidak dijamin oleh BPJS," ungkap Edwin.                

Dalam 4 tahun terakhir sejak perpres itu diterbitkan, LPSK menerima lebih 400 permohonan dari korban yang pelayanan kesehatannya tidak dijamin BPJS, terdiri atas sebanyak 7 permohonan pada tahun 2018, 183 permohonan (2019), dan 60 permohonan pada tahun 2020.                

Meski demikian, lanjut Edwin, tidak semua permohonan tersebut dapat diterima LPSK. Mereka yang mendapatkan bantuan medis merupakan korban dari tindak pidana penganiayaan, kekerasan secara bersama-sama, kekerasan terhadap anak, penganiayaan berat, pencurian dengan kekerasan, dan korban peluru nyasar.               

Baca juga : PANDI Jadi Domain Nomor Satu Di Asia Tenggara

Edwin menuturkan, LPSK kerap membayar biaya medis sejak korban masuk rumah sakit. Meski permohonan diajukan saat korban dalam perawatan, sudah pulang, atau masih memiliki utang dengan rumah sakit. Pada pratiknya LPSK kerap memutuskan membayar pembiayaan medis sejak hari pertama korban mendapatkan tindakan medis dari rumah sakit. [OSP]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.