Dark/Light Mode

Hadapi Normalisasi Kebijakan OJK Tahun Depan

Himbara Pertebal Kantong Buat Tangkis Kredit Macet

Kamis, 10 Februari 2022 08:30 WIB
Ilustrasi. (Foto: Istimewa).
Ilustrasi. (Foto: Istimewa).

 Sebelumnya 
Untuk 2022, BNI menargetkan menekan rasio kredit bermasalah di bawah 3 persen dengan memperkuat manajemen risiko. “Selain itu, coverage ratio yang per akhir tahun telah berada pada 233,38 persen, akan tetap terus ditingkatkan kembali hingga posisi 276,60 persen pada 2022 ini,” ucapnya.

Sampai dengan akhir 2021, rasio kredit bermasalah BNI sudah berada pada level 3,7 persen, turun signifikan dari sekitar 60 basis poin (bps). Adapun, rasio LaR (Loan at Risk) include Covid-19 juga turun signifikan 23,3 persen. Sedangkan LaR exclude Covid-19 tercatat 12,3 persen.

Sementara, Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin menyampaikan, penyaluran kredit akan dilakukan secara hati-hati dengan menyasar sektor yang sudah pulih dan potensial di masing-masing wilayah.

Baca juga : Pemerintah Kurangi Bahan Beton Jelang KTT G20

“Kebutuhan untuk pencadangan semakin berkurang karena ekonomi makin pulih dan kemampuan tim di lapangan menghadapi restrukturisasi kredit makin membaik,” katanya dalam paparan kinerja kuartal IV-2021, Kamis (27/1).

Diakui Siddik, restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 juga terus menunjukkan tren yang melandai seiring dengan momentum pertumbuhan ekonomi. Sampai akhir Desember 2021, total restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 (bank only) di Bank Mandiri sebesar Rp 69,7 triliun. Posisi ini menurun dibandingkan kondisi akhir 2020 yang mencapai Rp 93,3 triliun.

“Sebagai langkah antisipasi potensi penurunan kualitas kredit, kami terus menjaga pembentukan pencadangan jelang normalisasi. Per akhir Desember 2021, Bank Mandiri telah membukukan biaya CKPN sebesar Rp 13,9 triliun dengan rasio NPL coverage berada di level yang memadai,” jelasnya.

Baca juga : Indah Permatasari, Setahun Pernikahan Antara Tawa Dan Air Mata

Selain itu, Bank Mandiri meyakinkan, fungsi intermediasi tersebut juga diimbangi pertumbuhan DPK (Dana Pihak Ketiga) yang kuat, yakni sebesar 12,8 persen secara konsolidasi menjadi Rp 1.291,18 triliun lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK Industri sebesar 12,2 persen year on year (yoy).

Risiko Kredit

Menanggapi hal ini, Pengamat Perbankan Paul Sutaryono menuturkan, pembentukan pencadangan oleh perbankan, sebagai langkah antisipasi potensi penurunan kualitas kredit. Hal ini sangat diperlukan menjelang normalisasi kebijakan.

Baca juga : Menpora Sambut Baik Kejuaraan Dunia Menembak Pertama Kali Di Indonesia

“Jika tidak melakukan pencadangan yang cukup, bukan tidak mungkin bank akan ditimpa musibah kredit macet yang tinggi sehingga menguras kinerja bank, bahkan anjlok. Sebab bank tidak lagi punya bantalan yang kuat,” katanya kepada Rakyat Merdeka.

Tahun depan, lanjutnya, diprediksi industri keuangan sudah siap atau mampu menuju kebijakan normalisasi. Hal ini lantaran pengendalian Covid-19 yang semakin baik, vaksinasi yang terus bertambah, sehingga memberikan kepercayaan diri dari dunia bisnis untuk ekspansi dan melanjutkan beberapa program yang tertunda.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.