Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Revisi UU Ciptaker Mestinya Mencontoh Keterbukaan UU TPKS

Rabu, 25 Mei 2022 19:39 WIB
Foto ilustrasi/Ist
Foto ilustrasi/Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Gerak cepat DPR dan pemerintah mengesahkan Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3), dianggap tidak melibatkan publik. Dikhawatirkan proses ini akan terulang lagi dalam pembahasan perbaikan UU Cipta Kerja (Ciptaker) ke depan.

“Mengingat tidak ada progres signifikan dalam hal keterbukaan dan partisipasi publik (di revisi Undang-Undang P3 dan Undang-Undang IKN), perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja berpotensi berakhir sama. Kepentingan yang mau disasar bukan kepentingan publik, sehingga partisipasi publik  dianggap tidak relevan dan formalitas,” kata peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe) Violla Reininda di Jakarta, Rabu (25/5).

Padahal ,salah satu amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Ciptaker adalah membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat yang mau mengkritisi dan memberikan masukan terhadap revisi UU Ciptaker.

Karena itu, RUU P3 yang disahkan paripurna DPR itu akan menjadi landasan hukum bagi UU Cipta Kerja. 

Partisipasi publik dalam pembentukan UU kata Violla, harus dibaca bersamaan dengan beberapa aspek. Yaitu, akses seluruh dokumen terkait pembentukan dan proporsionalitas waktu pembentukan. Termasuk bagaimana DPR dan Pemerintah secara aktif mengundang dan melibatkan masyarakat. Namun ketiganya tidak tercapai dalam pembahasan revisi UU P3. 

Menurutnya, pembahasan ini hanya dilakukan kurang dari dua pekan, dan dokumen tidak dapat diakses oleh masyarakat. 

Baca juga : Menkominfo: Perempuan Jadi Pilar Utama UMKM

“Kanal-kanal, Rapat-rapat terbuka di media sosial bernilai formalitas. Tidak bisa dijadikan patokan partisipasi, karena tidak terdapat komunikasi dua arah dan interaktif,” kata Violla.  

Kemudian partisipasi publik, seperti yang terjadi dalam pembahasan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diinisiasi oleh kelompok masyarakat. Harusnya, kata dia, pemerintah dan DPR yang proaktif. 

“Partisipasi publik artinya DPR dan Pemerintah yang proaktif dan inisiatif melibatkan masyarakat dan pihak-pihak yang terkait, bukan sebaliknya,” tandas Violla. 

Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, DPR saat ini menunggu surat presiden (Supres) untuk memulai perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), usai mengesahkan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU P3) menjadi undang-undang. 

"Kita akan tunggu Supres dari Presiden. Kemudian, sesuai mekanisme di DPR, akan kita teruskan untuk dilaksanakan sesuai dengan mekanismenya," kata Puan.

Menurutnya, revisi UU P3 sudah sesuai dengan putusan MK yang menyoal metode Omnibus Law tak diatur dalam UU P3 sebelum direvisi. Puan berharap, UU P3 hasil revisi dapat diimplementasikan dan memberi manfaat.

Baca juga : Kemen PPPA Apresiasi Pelajar Dan Mahasiswa Dukung Dan Kawal UU TPKS

Dipecah Jadi 11 Undang-Undang

Ahli hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menyarankan agar pembentukan Omnibus Law tidak seperti yang saat ini, dengan memasukkan bahasan semua dalam satu UU.

Menurutnya, UU Ciptaker terlalu gemuk dengan memuat 11 klaster dan memasukkan 79 undang-undang di dalamnya.

"Bikin Undang-Undang Omnibus bukan bikin 11 undang-undang dibuat satu. Itu keliru, nggak bisa, terlalu besar. Harusnya kalau buat omnibus dibikin kecil-kecil. satu klaster-satu klaster. Ini kan 11 klaster, 79 undang-undang,” ujar Zainal.

Menurutnya, UU Ciptaker bisa dipecah menjadi 11 UU yang lebih kecil dengan cakupan yang lebih khusus per klaster. 

“Kalau saya harusnya, bikin 11 klaster itu berarti bikin 11 undang-undangomnibus," tegasnya.

Baca juga : Harga Minyak Meroket, Rupiah Tertekan

Zainal juga mengungkapkan, salah satu hal penting dalam UU P3 adalah partisipasi publik. Sayangnya, hal itu tidak dibahas secara mendetail. Padahal, MK sudah memberikan batas bahwa UU dibuat dengan mekanisme yang meaningfull participation.

Sebagai informasi, meaningful participation merujuk pada partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU dilakukan secara bermakna, sehingga tercipta partisipasi dan keterlibatan publik yang sungguh-sungguh. 

Publik yang dimaksud adalah kelompok dan masyarakat yang terdampak aturan UU Ciptaker. Serta kelompok masyarakat yang punya perhatian terhadap UU yang tengah dirancang. 

Jadi, partisipasi publik mesti memenuhi tiga syarat. Yaitu hak publik untuk didengarkan, dipertimbangkan, dan diberi penjelasan/jawaban.

Oleh sebab itu, Zainal mengkhawatirkan rancangan UU P3 yang menurutnya bermasalah, malah dijadikan sebagai landasan dalam mengubah UU Ciptaker.

“Saya agak khawatir, alih-alih memenuhi keputusan MK, yang terjadi adalah membuat semacam alasan untuk membenarkan kesalahan yang ditegur oleh MK," ungkapnya.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.