Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Di Negara Mana Pun, Radikalisme Selalu Tunggangi Agama Mayoritas

Jumat, 24 Juni 2022 14:07 WIB
Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi (Foto: Istimewa)
Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Radikalisme dan terorisme tidak ada agamanya. Pasalnya, tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, intimidasi, apalagi terorisme kepada para pemeluknya. Namun, masih terjadi penunggangan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang mengatasnamakan agama.

Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi mengungkapkan, dengan terjadinya penunggangan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme atas nama agama, tentu akan terjadi penyebaran paham-paham tersebut. 

“Otomatis penyebaran itu bergerak di pusat dan simpul kegiatan keagamaan masyarakat,” kata Islah, di Jakarta, Jumat (24/6).

Atas hal ini, dia menyatakan, tak perlu tabu mengatakan bahwa radikalisme ini masuk rumah ibadah dengan menunggangi kegiatan-kegiatan agama. Karena itu, dia meminta semua umat untuk waspada.

“Kita jangan pernah tabu mengatakan itu. Tidak hanya di Islam, ekstremisme dan radikalisme di Kristen juga bergerak di gereja. Begitu juga dengan Hindu dan Budha, bergerak di kegiatan masyarakat di pura dan wihara,” jelas Islah.

Baca juga : Cegah Perkembangan Paham Radikalisme, IPDN Undang Yenny Wahid

Intinya, tegas Islah, polarisasi radikalisme dan ekstremisme itu ada di semua agama. Dan pasti mereka ingin menguasai simpul aktivitas masyarakat dari tempat ibadah.

“Kita tidak boleh berat hati atau malu mengatakan itu. Karena polanya memang seperti itu,” ucapnya.

Saat ini, lanjut Islam, di Amerika Serikat, kekuatan ekstremisme dan radikalisme Kristen bergerak di sekolah Kristen dan literasi Kristen. Contohnya, peledakan di Oklamhoma yang menawaskan ratusan orang dan penembakan massal di New York beberapa waktu lalu. Menurutnya, para pelaku teror itu terpapar ekstremisme di kegiatan keagamaan, termasuk literasi keagamaan mereka.

“Artinya, kalau ada gerakan radikal yang menunggangi Islam bergerak di masjid, itu masuk akal. Justru tidak masuk akal kalau aksi radikal atas nama Islam bergerak dari gereja,” kata Islah.

Islah juga mengajak semua pihak mengakui, bahwa memang ada gerakan teror atas nama Islam di Indonesia. Menurutnya, itu harus diakui karena faktanya sudah banyak kejadian teror yang selalu membawa-bawa agama Islam.

Baca juga : BNPT Latih Santri Perkuat Pencegahan Radikalisme Melalui Dunia Maya

Tetapi, ungkapnya, ekstremisme agama tidak hanya terjadi di Indonesia. “Apakah di India juga Islam, tentu saja tidak. Itu ekstremisme Hindu. Juga di Myanmar, itu ekstremisme Budha di bawah pimpinan Ashin Wiratu,” tuturnya.

Islah memastikan, bahwa pola gerakan radikal selalu menunggangi agama pemeluk mayoritas di suatu negara dan bergerak dalam jalur agamanya. Kalau ingin menunggangi Islam, pasti melewati jalur keagamaan Islam, entah itu pesantren atau masjid. Begitu juga dengan Kristen, pasti melalui gereja atau sekolah Kristen.

Ia pun mengkritik kelompok-kelompok yang sedikit-sedikit menuding pemerintah Islamofobia. Yang ada malah masyarakat harusnya fobia terhadap gerakan-gerakan radikal yang menunggangi Islam.

“Tidak mungkin kita takut pada agama yang kita anut sendiri. Justru kita takut pada penungang islam yang hanya ingin merusak dan mencemari nilai-nilai Islam itu sendiri,” tegas Islah.

Dalam hal ini, Islah memuji upaya Pemerintah dalam menanggulangi penyebaran radikalisme dan ekstremisme, terutama yang mengatasnamakan agama, dengan merangkul tokoh agama. “Kalau kita berhasil menyadarkan masyarakat, mereka tidak laku. Mereka hanya numpang atas nama agama, membangun kekuasan atas nama agama. Mereka takut masyarakat pintar dan menjadi sadar sehinga gerakan mereka ditolak masyarakat,” urainya.

Baca juga : Energi Baru Terbarukan Buka Lebih Banyak Loker

Islah menegaskah, kelompok itu hanya penipu yang berjubah agama. Dan demi cita-cita politiknya mereka selalu membangun narasi seorang apa yang dilakukan selalu Islamofobia, radikal-radikul.

“Perjuangan tidak boleh berhenti. Intinya titik puas kita itu bukan pada bukan titik sadar masyarakat, tapi berhenti pada ketika mereka sudah betul-betul mati, gerakan mereka tidak bangkit lagi. Itu titik kinerja itu,” tandas Islah.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.