Dark/Light Mode

Catatan Agus Sutoyo

Jasmerah Kemaritiman Nusantara

Kamis, 30 Maret 2023 14:13 WIB
Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara Perpusnas Agus Sutoyo (Foto: Istimewa)
Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara Perpusnas Agus Sutoyo (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Jasmerah Bung Karno kita literasikan kembali. Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah. Hal ini terungkapkan kembali ketika Perpustakaan Nasional (Perpusnas) melaksanakan diskusi Jasmerah tentang kemaritiman nusantara, dan senyampang dengan keikutsertaan Perpustakaan Nasional mendukung pemerintah dalam memberikan kontribusi dalam bidang kemaritiman, yang beberapa waktu lalu Indonesia terpilih menjadi pimpinan organisasi ASEAN. Kita tahu, pada awal 2023 Indonesia secara resmi menyandang keketuaan dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Ini membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat dihormati dalam organisasi multilateral terbesar di Asia Tenggara yang didirikan pada 1967 ini.

Untuk itu, Indonesia perlu mengambil peran yang lebih strategis dan signifikan dalam mempererat hubungan antarnegara di Asia Tenggara. Perpustakaan Nasional sebagai lembaga negara yang memiliki tanggung jawab dalam memperkuat literasi tentu saja menyadari betapa pentingnya pemahaman literasi masyarakat mengenai Asia Tenggara. Diskusi Jasmerah ini penting diungkapkan Perpusnas yang bertujuan menyebarluaskan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat.

Menarik untuk disimak diskusi mengenai Mengenal Dunia Maritim Asia Tenggara, yang menghadirkan Dr. Didik Pradjoko (Departemen Sejarah FIB Universitas Indonesia) dan Dr. Nia Deliana (Universitas Islam Internasional Indonesia). Diskusi yang dipandu Jelang Ramadhan, seorang kandidat Ph.D bidang Hubungan Internasional, Uludag University Turkiye, ini bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya pembangunan maritim untuk masa depan Indonesia. Kemudian, menyebarluaskan informasi dan pengetahuan mengenai sejarah dan dinamika kultural bidang maritim di Asia Tenggara. Juga, menyebarluaskan dan mempromosikan fungsi koleksi-koleksi langka Perpusnas untuk memperkuat literasi masyarakat.

Didik Pradjoko menyebutkan, kemaritiman nusantara sudah diawali dengan perjalanan yang banyak menghasilkan berbagai komoditas rempah-rempah. Komoditas andalan di nusantara sampai dengan akhir abad ke-18, seperti cengkeh yang diproduksi di Kepulauan Maluku, terutama di Maluku Utara. Ada empat kerajaan di Maluku Utara yang mengorganisir perdagangan cengkeh, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Sedangkan pala, menurut Didik, di produksi di kepulauan Banda, yaitu antara lain di Pulau Banda, Lonthor, Ai, dan Run. Lain lagi kalau Lada, banyak diproduksi di Indonesia Barat, di Sumatera (Aceh sampai Lampung), Jawa (Banten), dan Kalimantan (Banjarmasin). Kemudian kayu cendana dan lilin lebah dari Timor, Sumba dan Alor.

Menurut Didik Pardjoko, kemaritiman nusantara ini juga sangat ada peran yang kuat dari para pedagang China. Karena, sejak tahun 1400-an, para pedagang China ini menetap di nusantara. Bahkan sejak pelayaran Zheng He (Sam Po Kong) pada 1405-1431, Malaka menjadi basis para pedagang China. Banyak yang menetap di Malaka. Tahun 1500, berdasarkan laporan Portugis, 8-10 Jung, pedagang China singgah ke Malaka membawa muatan besi, kain satin, sutra, perhiasan, belerang, porselen, meriam, dan sebagainya. Semua barang yang dibawa itu ditukarkan dengan lada, rempah-rempah (cengkeh dan lada), opium, hasil hutan dan kayu (khususnya kayu cendana).

Baca juga : Menyemarakkan KA Di Sulawesi Selatan

Dalam kamus Bahasa Tionghoa-Malaka yang dibuat Jawatan Pelabuhan Dinasti Ming di Kanton abad 15 M, atau Man La Jia Guo Yi Yu (Kamis Tionghoa-Melayu), disebutkan beragam komoditas nusantara seperti ba di (padi), da ma er (damar), jia you ding jia lan (gaharu tengkaras), zhen jie (cengkeh), zhen da na (cendana), zhen dan (jintan), na da (lada), mao dan bu di (rotan putih) jia bu er (kapur barus), jia you bu xi (kayu besi). Pedagang Melayu mengatakan, Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk bunga pada (fuli) dan maluku untuk cengkeh, dan barang-barang dagangan ini tidak dikenal di tempat lain di dunia kecuali di nusantara ini (Tom Pires 1515:204).
 
Menariknya, ketika literasi kita ungkapkan, seperti biasa, jiwa kepustakawanan saya tertantang untuk membuka kembali hal yang berkaitan dengan kemaritiman ini. Coba saja simak salah satu koleksi Warta Peladjar Djanuari 1964, ternyata kata “Maritim” bukan berasal dari Bahasa Indonesia. Berdasarkan Musyawarah Maritim di Jakarta yang dihadiri 450 peserta dan mendapatkan kunjungan dari Presiden Sukarno, diputuskan kata “maritim” diganti dengan kata “Bahari”. Ingat penggalan syair yang sering kita dengar, nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudra…

Penggalan syair lagu itu mengingatkan kebesaran nusantara di masa lalu yang kini hilang. Namun, "Betulkah nenek moyang kita pelaut? Betulkah kita ini bangsa bahari? Betulkah karakter bangsa kita berwawasan maritim?" Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik. Mereka ke Utara mengarungi lautan, ke Barat memotong Lautan Hindia hingga Madagaskar, ke Timur hingga Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar. Aktivitas pelayaran bangsa Indonesia sudah berlangsung sejak jaman nenek moyang kita, berjalan bersamaan dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Wilayah kepulauan nusantara yang terletak pada titik silang jaringan lalu lintas laut dunia, secara tidak langsung merupakan penghubung dunia Timur dan Barat. Berbagai hasil bumi dari Indonesia merupakan barang-barang yang dibutuhkan oleh pasaran dunia. Hal itu telah mengakibatkan munculnya aktivitas perdagangan dan pelayaran yang cukup ramai dari dan ke Indonesia. Tidak banyak sumber yang dapat digali untuk menampilkan sejarah pelayaran Indonesia dalam masa pra sejarah, kecuali dari penuturan lisan dan relief yang tergambar pada candi-candi baik candi Hindu maupun Budha yang banyak dibangun setelah tahun 500 Masehi, seperti Candi Prambanan, Candi Borobudur, dan lain-lain.

Kita perhatikan bahwa dari relief pada candi dapat dilihat bahwa sesungguhnya pada masa itu sudah berlangsung pelayaran niaga yang dijalani oleh nenek moyang kita. Pelayaran ini merupakan wujud aktivitas migrasi penduduk dalam jarak pendek di samping migrasi pada kawasan yang lebih jauh, sampai perhubungan laut bagi pengangkutan barang dagangan. Dari sini dapat dilihat bahwa sesungguhnya, pada masa pra sejarah itu masyarakat Indonesia sudah memiliki pranata yang memungkinkan terjadinya hubungan perdagangan itu, demikian juga bahwa orang Indonesia masa dulu sudah mendapat manfaat dari aktivitas perdagangan yang memanfaatkan laut sebagai medium pengangkutannya.

Bangsa Indonesia dengan karakteristik sosial budaya kemaritiman, bukanlah merupakan fenomena baru. Fakta sejarah menunjukan bahwa fenomena kehidupan kemaritiman, pelayaran dan perikanan beserta kelembagaan formal dan informal yang menyertainya merupakan kontinuitas dari proses perkembangan kemaritiman Indonesia masa lalu. Keperkasaan dan kejayaan nenek moyang kita di laut haruslah menjadi penyemangat generasi sekarang dan yang akan datang. Bentuk implementasinya masa kini, bukan hanya sekedar berlayar, tetapi bagaimana bangsa Indonesia wilayahnya adalah dua per tiga adalah lautan dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan pembangunan bangsa. Dunia maritim asia tenggara, disebut sebagai jalurnya pelayaran, perdagangan, perampokan, pelabuhan dan perkapalan.

Baca juga : Bamsoet Dukung Pembangunan Kampus UT di IKN Nusantara

Safri Burhanuddin, dalam bukunya Sejarah Maritim Indonesia, Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia dalam Proses Integrasi Bangsa, dalam Pusat Kajian Sejarah dan Budaya Maritim Asia Tenggara Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro Semarang (2003) menyebutkan, Indonesia memang terlahir sebagai negara maritim. Sebelum Indonesia merdeka, nenek moyang telah menunjukkan bahwa Indonesia pada zaman dahulu sudah berlayar jauh dengan perahu sederhana dan ilmu yang mereka miliki melalui kebudayaannya. hingga munculnya kerajaan-kerajaan maritim yang semakin memperkuat konsep “kemaritiman” Indonesia. Ditambah dengan puncak kejayaan Indonesia yang diraih oleh kerajaan Sriwijaya pada abad ke-11 semakin menambah keyakinan kita bahwa Indonesia memang negara maritim yang kuat dulunya. Selain itu, kegiatan pengembaraan dan perikanan nelayan Indonesia pada masa lampau sangat menggambarkan jiwa kemaritiman yang tinggi. Mereka berlayar sampai ke NTT, Maluku, bahkan ke pantai utara Australia.

Literasi Kemaritiman 
Rasanya, memang bila membahas kemaritiman ini tidaklah elok jika kita tidak membuka-buka kembali referensinya, literasi kemaritiman ini perlu diangkat kembali karena sejarah panjang bahari nusantara yang cukup menarik untuk disimak dan diinformasikan kepada masyarakat, khususnya generasi muda kita. Banyak catatan-catatan yang mengangkat persoalan kemaritiman ini, misalnya tulisan Jan Huygen Van Linschoten tentang rempah-rempah yang melimpah di Indonesia. Van Linschoten panjang lebar menjelaskan tentang khasiat pala, bunga pala, dan cengkeh.

Seperti halnya yang dijelaskan oleh Didik Pradjoko, pohon-pohon yang membuahkan pada dan bunga pala itu tidak berbeda dengan pohon buah pir, tetapi daunnya lebih pendek dan bundar, baik untuk menyembuhkan sakit kepala, untuk ibu dan untuk syaraf. Pala terbalut oleh tiga jenis kulit, yang paling utama dan paling luar seperti daging kelapa, yang membalut buahnya, adalah bunga pala yang berguna bagi obat-obatan. Buah pala menenangkan otak, menajamkan daya ingat, menghangatkan dan menguatkan tenggorokan, mengusir angin dari tubuh, menyegarkan nafas, melancarkan kencing dan dan menghentikan mencret. Bunga pala terutama baik untuk selesma dan untuk pria yang lemah, menghilangkan rasa marah dan mudah buang angin. Dan tentu saja masih banyak lagi  rempah-rempah lokal yang sangat baik untuk kesehatan yang menjadi sasaran utama para pedagang-pedagang internasional pada zamannya itu. Inilah yang menjadikan pula identitas dalam sirkulasi maritim nusantara yang cukup dikenal.

Menurut Nia Deliana, identitas dalam sirkulasi maritim di Indonesia menjadi sangat potensial yang selalu dikejar masyarakat dunia maritim untuk ke nusantara. Mulai dari Asia Tenggara daratan dan kepulauan (Indonesia, Filipina) terletak didaerah tropis dan beriklim musim (monsoons), yaitu dan  musim kemarau (dry seasons) dan musim penghujan (rainy seasons). Penduduknya membudidayakan padi-sawah, berburu, meramu, perladangan, dan mengolah laut. Peradaban Pra-India berkembang dekat laut, yaitu di lembah-lembah dan delta sungai besar seperti Mekong, Menam, Irrawaddy, Bengawan Solo, Brantas, Citarum, Cisadane, Batanghari, Musi, Cimanuk, dan lain-lain. Daerah ini mudah dilayari dan juga sebagai pemasok air irigasi bagi daerah persawahan. (Baca kembali: G. Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, University of Malaya press, KL, 1968).

Pada tahun 1987, seorang sejarawan Indonesia bernama Adrian B. Lapian mempertahankan disertasinya di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan judul Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad 19. Disertasi ini membuka mata publik Indonesia mengenai pentingnya pengetahuan maritim. Adrian B. Lapian menyatakan bahwa “Penulisan sejarah yang berpretensi atau beraspirasi nasional dalam arti yang sebenarnya tidak lengkap apabila yang diutamakan hanya unsur darat saja, dari yang seharusnya tanah air”. Penelitian ini kemudian menjadi tonggak penting dalam membuka misteri sejarah maritim yang belum banyak dieksplorasi oleh akademisi, sejarawan, pustakawan dan masyarakat.

Baca juga : Kejahatan Konstitusi Jarasanda

Indonesia merupakan negara kesatuan berbentuk republik yang memiliki garis pantai sepanjang 95.181 kilometer dengan luas perairan laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi. Ini memperlihatkan bahwa 71 persen wilayah Indonesia didominasi oleh perairan.  Untuk itu, aktivitas maritim merupakan salah satu aktivitas paling penting bagi masyarakat Indonesia di masa lalu, hari ini dan yang akan datang. Pengetahuan mengenai kemaritiman merupakan hal yang esensial bagi masyarakat Indonesia. Visi pembangunan bidang maritim juga menjadi aspek yang sangat diperhatikan oleh Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Pembangunan sosial ekonomi masyarakat pesisir, peningkatan infrastruktur pelabuhan hingga peningkatan produksi produk-produk maritim merupakan hal yang sangat esensial dalam pembangunan Indonesia.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika kembali kepada visi maritim yang dulu seperti diterapkan nenek moyang kita, karena sejatinya Indonesia menyandang predikat Negara Maritim, Negara Bahari atau Negara Kepulauan. Sehingga dengan mengoptimalkan letak strategis dari Indonesia dan kekayaan sumber daya bahari yang melimpah, maka bukan mustahil jika Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani dan diperhitungkan di dunia dalam bidang maritim layaknya di masa jayanya dulu. Kembalikan kejayaan maritim Indonesia dengan terus meliterasikan potensi-potensi sumberdaya alam bahari yang begitu melimpah, sejatinya nusantara ini adalah salah satu negara maritim terbesar dunia yang begitu pantas merajai lautan dunia untuk kemakmuran rakyatnya. Jasmerah kemaritiman nusantara, kita belajar dari pengalaman masa lalu untuk menyambut masa depan yang lebih indah. Salam Literasi.***

Agus Sutoyo, Kepala Pusat Jasa Informasi Perpustakaan dan Pengelolaan Naskah Nusantara, Perpustakaan Nasional RI

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.