Dark/Light Mode

Tak Ada Alat Konstitusional Mereview Putusan Usia Capres-Cawapres

Sabtu, 4 November 2023 22:53 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid. Foto: Istimewa
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid. Foto: Istimewa

RM.id  Rakyat Merdeka - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid memberikan pandangan serta analisis hukumnya terkait polemik putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres atau Cawapres sehingga dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Fahri Bachmid berpendapat, jika ditelaah dari aspek filosofis maupun legalistik, tidak cukup argumentasi yang memadai untuk menjustifikasi produk putusan dari lembaga etik dapat membatalkan produk putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Sebab, pada hakikatnya MK dengan putusannya adalah organ konstitusional yang sangat limitatif terkait dengan kewenagan atributifnya, termasuk sifat putusannya yang bercorak "ergo omnes" maupun "final and binding’,” kata Fahri, Sabtu (04/11/2023).

Ketua Mahkamah Partai Bulan Bintang (PBB) ini meyakini, sepanjang produk putusan yang dikeluarkan, tidak ada mekanisme banding atau peninjauan kembali untuk mereview terhadap segala hal.

Baca juga : Sidang Hakim MK Soal Putusan Usia Capres-Cawapres, MKMK Diminta Tegas

“Baik materil maupun formil yang melingkupinya, apakah yang berkaitan dengan keadaan atau fakta hukum tertentu, aspek legal serta prosedur hukum acara dan seterusnya,” katanya.

Fahri menyebut, tidak terkecuali unsur dinamika yang terjadi dalam proses pengambilan putusan dalam forum rapat permusyawaratan hakim (RPH).

Misalnya, terdapat perbedaan pendapat atau ‘dissenting opinion’ dan/atau alasan hukum yang berbeda ‘concurring opinion’ para hakim konstitusi.

Tetapi, ketika telah dibacakan dalam forum persidangan yang terbuka untuk umum, maka tentunya disitulah letak keabsahan atau keberlakuannya.

Baca juga : Jimly: Kalau Cuma Emosi, Nggak Bisa

Apakah sifatnya putusan MK yang ‘Self Implementing’ atau ‘Legally Null And Void’ atau ‘Conditionally Constitutional’ ataukah yang ‘Conditionally Unconstitutional’.

“Sehingga tidak tersedia alat konstitusional untuk dapat mengujinya,” tegas Fahri.

Memang, katanya, ini berbeda dengan konstruksi pelembagaan forum etik MK, yang hanya berdasarkan pada mandat hukum setingkat Undang Undang (UU).

Di mana, UU mendelegasikan agar MK wajib menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan.

Baca juga : Putusan MK Soal Usia Capres-Cawapres Ganggu Demokrasi

Sehingga, jika mencoba mendalami dengan metode penafsiran yang sistematis serta teleologis, maka sesungguhnya produk putusan MKMK dalam hal hakim terlapor atau hakim terduga, menurut Majelis Kehormatan, jika terbukti melakukan pelanggaran, maka konsekwensi hukumnya adalah diberikan sanksi, baik ringan maupun berat, dan sangat sulit untuk menalar jika putusan etik dapat menganulir putusan MK.

“Saya belum menemukan suatu argumentasi konstitusional dan hukum yang kokoh terkait dengan ekstensifikasi produk putusan lembaga etik yang dapat membatalkan produk putusan MK, belum memadainya teori serta doktrin hukum yg relevan dangan hal itu," tuturnya.

"Sebab secara filosofis, sesungguhnya putusan MKMK adalah dalam rangka menegakan ‘Code of Conduct’ yaitu menegakan ‘Sapta Karsa Hutama’ sebagaimana diatur dalam peraturan MK RI Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi MK RI,” jelasnya.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.