Dark/Light Mode

MK Tolak Gugatan Denny Indrayana, Ketentuan Syarat Usia Capres-Cawapres Tetap Sah

Selasa, 16 Januari 2024 23:34 WIB
Ketua Mahkamah Konstitusi MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan perkara Nomor 145/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (16/1/2023). (Foto: Tangkapan Layar YouTube MKRI)
Ketua Mahkamah Konstitusi MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan perkara Nomor 145/PUU-XXI/2023 di Gedung MK, Jakarta, Selasa (16/1/2023). (Foto: Tangkapan Layar YouTube MKRI)

RM.id  Rakyat Merdeka - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruhnya uji formil terkait batas usia Capres-Cawapres yang diajukan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar dalam permohonan perkara Nomor 145/PUU-XXI/2023.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah tidak menemukan adanya dampak yang luas jika ketentuan syarat usia capres-cawapres tetap diberlakukan dibandingkan jika ditunda pemberlakuannya. 

“Mengadili, dalam Provisi, menolak permohonan provisi para Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo, saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (16/1/2024).

Dalam mengadili perkara ini, MK tidak menyertakan Hakim Konstitusi Anwar Usman. MK juga mengadili perkara permohonan ini tanpa melalui agenda pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan DPR, Presiden, dan Pihak Terkait, sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang tentang MK.

Baca juga : Meski Banjir Kritik, KPU Tidak Mau Ubah Debat Capres-Cawapres

Sebagai informasi, Denny Indrayana melakukan uji formil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sebagaimana telah dimaknai MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam permohonannya, Denny meminta MK menunda berlakunya ketentuan persyaratan usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden (capres cawapres). 

Mantan Wamenkumham itu menilai, berlakunya persyaratan usia minimal capres-cawapres menjadi problematik. Sebab, kata dia, terdapat calon yang sejatinya tidak memenuhi syarat tetapi lolos sebagai peserta pemilihan presiden (pilpres) 2024 usai putusan tersebut. 

Terkait dalil tersebut, Mahkamah menyatakan, prematur apabila menunda pemberlakuan sebuah norma undang-undang yang belum diketahui terdapat persoalan inkonstitusionalitasnya dimaksud. Terlebih lagi, Mahkamah tidak menemukan adanya dampak yang luas jika ketentuan norma pasal dimaksud tetap diberlakukan dibandingkan jika ditunda pemberlakuannya.

Mahkamah menegaskan, putusan MK tidak mengenal adanya putusan yang tidak sah meskipun dalam proses pengambilan putusan yang dilakukan para hakim konstitusi terbukti bahwa salah seorang hakim yang ikut memutus perkara tersebut melanggar etik sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 141/PUU-XXI/2023 dan Putusan MK Nomor 131/PUU-XXI/2023.

Baca juga : Prabowo Ketemu Pemain Bola, Anies-Ganjar Terus Kampanye

"Hal tersebut tidak serta-merta mengakibatkan putusan tersebut tidak sah atau batal," kata Hakim Suhartoyo. 

Mahkamah juga telah menegaskan terhadap putusan MK yang diduga mengangandung persoalan adanya dugaan pelanggaran terhadap objek permohonan, dapat diajukan pengujian kembali isu konstitusionalitasnya sepanjang tidak terhalang dengan ketentuan norma Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 atau dilakukan melalui legislative review kepada pembentuk undang-undang. 

Dalam putusan ini, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan concurring opinion atau alasan berbeda. Menurut Arief, apa yang dipermasalahkan Pemohon berkenaan dengan pengujian formil penafsiran atau pemaknaan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 pun merupakan suatu peristiwa hukum yang baru di MK.

Pemohon pada dasarnya menguji secara formil proses pembentukan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak mengundurkan diri sebagaimana ketentuan Pasal 17 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman. Adanya peristiwa hukum berupa benturan kepentingan (conflict of interest) ini pun secara faktual terbukti melalui Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023. Putusan MKMK a quo tidak hanya merupakan wujud penegakan hukum (rule of law), tetapi juga wujud penegakan etika (rule of ethics).

Baca juga : Pendaftaran Prakerja 2024 Dibuka, Ini Keuntungan, Syarat Dan Cara Mendaftarnya

“Pada bagian lain, apabila hakim yang memiliki benturan kepentingan secara langsung maupun tidak langsung tidak mengundurkan diri maka implikasi hukumnya putusan a quo akan dianggap tidak sah dan perkara dimaksud mesti diperiksa kembali oleh hakim dengan susunan majelis hakim yang berbeda. Hal ini tertuang di dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU Kekuasaan Kehakiman,” kata Arief.

Sementara itu, Enny Nurbaningsih menuturkan, dalam penanganan perkara konstitusi, peran hakim konstitusi tidak hanya terbatas pada interpretasi hukum dan konstitusi semata, tetapi juga memegang peran penting untuk menjaga kepercayaan publik (public trust) terhadap MK dan putusan-putusannya. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi menjadi landasan moral yang tidak dapat diabaikan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai hakim konstitusi baik dalam memutus perkara maupun aktivitas di luar penanganan perkara, bahkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Kepatuhan Hakim Konstitusi terhadap Kode Etik menjadi landasan untuk memastikan bahwa setiap tindakan dan keputusan yang diambil mencerminkan tanggung jawab hukum dan etika yang tinggi,” tutur Enny.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.