Dark/Light Mode

Gazalba Saleh Bebas Di Putusan Sela, Ini Pertimbangan Hukum Majelis Hakim

Senin, 27 Mei 2024 14:13 WIB
Foto: Tedy Kroen/RM.
Foto: Tedy Kroen/RM.

RM.id  Rakyat Merdeka - Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat membebaskan hakim agung nonaktif Gazalba Saleh dari segala dakwaan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam putusan sela.

Menurut hakim, jaksa KPK tidak memiliki pendelegasian sebagai jaksa penuntut umum dari Jaksa Agung RI, sehingga tidak memiliki kewenangan terhadap penuntutan.

Hakim menyatakan, meskipun KPK secara kelembagaan memiliki tugas dan fungsi penuntutan, namun jaksa yang ditugaskan di KPK, dalam hal ini Direktur Penuntutan KPK, tidak pernah mendapatkan pendelegasian kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung RI.

Padahal Jaksa Agung merupakan penuntut umum tertinggi sesuai dengan asal single procession system.

"Menimbang bahwa surat perintah Jaksa Agung RI tentang penugasan jaksa untuk melaksanakan tugas di lingkungan KPK dalam jabatan Direktur Penuntutan pada Sekretaris Jenderal KPK tidak definitif. Artinya, tidak disertai pendelegasian wewenang sebagai penuntut umum dan tidak adanya keterangan (penjelasan) tentang pelaksanaan wewenang serta instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang," beber hakim anggota Rianto Adam Pontoh di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024).

Dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat pendelegasian tersebut, majelis hakim berpendapat, Direktur Penuntutan KPK tidak memiliki kewenangan sebagai penuntut umum.

Juga tidak berwenang melakukan penuntutan perkara tindak pidana korupsi serta tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Hakim juga mempertimbangkan jaksa KPK yang bertindak sebagai penuntut umum dalam menuntut setiap perkara tindak pidana korupsi dan TPPU, yang berdasarkan surat perintah Direktur Penuntutan KPK.

Baca juga : Pancasila Sebagai Panduan Di Tengah Tantangan Globalisasi

Padahal Direktur Penuntutan KPK sebagaimana dalam pertimbangan hakim, tidak memiliki kewenangan sebagai penuntut umum dan tidak berwenang melakukan penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan TPPU.

"Sehingga jaksa pada KPK juga tidak berwenang melakukan penuntutan setiap perkara tindak pidana korupsi dan TPPU," sambung hakim.

Adapun mengenai surat perintah Jaksa Agung RI yang menjadi poin keberatan Gazalba Saleh atau tim penasihat hukumnya, adalah surat penunjukan jaksa untuk bertugas di KPK.

Namun tidak serta merta berwenang sebagai penuntut umum dalam perkara atas nama Gazalba Saleh.

"Karena harus terlebih dahulu diterbitkan surat perintah penunjukan penuntut umum untuk menyelesaikan perkara dari Direktur Penuntutan KPK," ucap hakim Pontoh.

"Padahal Direktur Penuntutan KPK belum mendapatkan pendelegasian kewenangan penuntutan dari Jaksa Agung RI selaku penuntut umum tertinggi berdasarkan Pasal 18 ayat 1 UU RI Nomor 11 tahun 2001," beber hakim lagi.

Sehingga majelis hakim mengabulkan eksepsi Gazalba Saleh melalui penasihat hukumnya.

Hakim juga menyatakan bahwa penuntutan dan surat dakwaan jaksa KPK tidak dapat diterima.

Baca juga : Piala Eropa 2024, Spalletti Mulai Seleksi Pemain Italia

"Mengadili, mengabulkan nota keberatan dari tim penasehat hukum terdakwa Gazalba Saleh tersebut. Menyatakan, penuntutan dan surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima," ujar ketua majelis hakim Fahzal Hendri, saat membacakan putusan sela di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (27/5/2024). 

Kemudian, hakim juga memerintahkan terdakwa Gazalba Saleh segera dibebaskan dari tahanan pasca putusan diucapkan.

Gazalba Saleh adalah terdakwa kasus dugaan TPPU dengan total Rp 62.898.859.745 terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).

Dalam dakwaan pertama, nilai gratifikasinya sebesar Rp 650 juta yang diterimanya bersama-sama pengacara asal Surabaya, Ahmad Riyadh.

Uang itu diberikan menyangkut pengurusan perkara terpidana seorang pengusaha kasus pengelolaan limbah B3, Jawahirul Fuad.

Menurut jaksa KPK, Gazalba mendapat bagian Rp 18.000 dollar Singapura atau setara Rp 200 juta dari total penerimaan Rp 650 juta tersebut.

Dalam dakwaan keduanya, Jaksa KPK menyebut Gazalba juga menerima gratifikasi dan melakukan pencucian uang hingga Rp 62,8 miliar.

Uang itu terdiri dari Rp 200 juta dari Jawahirul Fuad dan Rp 37 miliar dari terpidana Peninjauan Kembali (PK) bernama Jaffar Abdul Gaffar.

Baca juga : Nilai Putusan PTUN Terlalu Cepat, Dewas KPK: Majelis Hakim Hebat

Selain itu, Gazalba juga diduga telah menerima uang sebesar 1.128.000 dolar Singapura atau setara Rp 13.367.612.160 dan 181.100 dolar Amerika Serikat atau setara Rp 2.901.647.585, dan Rp 9.429.600.000.

Dengan demikian, jumlah uang yang diterima Gazalba Saleh mencapai Rp 62,8 miliar.

Gazalba diduga menyamarkan dan menyembunyikan asal usul uang itu dengan cara membelanjakan, membayarkan, dan menukarkan dengan mata uang asing.

Gazalba juga diduga membeli Mobil Toyota Alphard, emas Antam, properti bernilai miliaran rupiah menggunakan uang panas tersebut.

Atas perbuatannya, Jaksa KPK mendakwa Gazalba melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.