Dark/Light Mode

Sadap 300 Nomor Telepon

KPK Menebar Jaring, Kakapnya Masih Lepas

Kamis, 19 Desember 2019 07:10 WIB
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa

RM.id  Rakyat Merdeka - Setelah UU KPK hasil revisi disahkan 17 Oktober lalu, ternyata tidak membuat KPK berhenti menyadap. Ada 300 nomor telepon yang sudah disadap KPK. Tapi sayang, meski jaring sudah ditebar, “kakap” masih pada lepas.

Informasi masih adanya penyadapan ini disampaikan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata. Dia menepis anggapan penyadapan sudah tidak dilakukan sejak UU KPK hasil revisi berlaku. “Penyadapan jalan terus. Ada 300an nomor kami sadap,” tegas Alex, di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi atau Anti-Corruption Learning Center (ACLC), Jakarta, kemarin.

Penyadapan, ada yang sudah dilakukan sejak delapan hingga enam bulan lalu. Ada juga yang baru sebulan dilakukan. Jadi, Undang-Undang hasil revisi tidak berpengaruh terhadap kegiatan itu.

Alex mengakui, memang belum ada OTT yang dilakukan KPK. Tapi, itu bukan karena penyadapan tidak lakukan.

“Kenapa semenjak Undang-Undang baru itu belum ada (OTT)? Ya memang belum dapet. Nggak ada halangan Undang-Undang yang baru,” seloroh pria yang terpilih kembali men jadi Pimpinan KPK periode 2019-2023.

Baca juga : Waka KPK: Masih Ada 300 Nomor Telepon Disadap

Sejak 17 Oktober lalu, kata Alex penyadapan itu belum perlu izin. Sebab, Dewan Pengawas KPK belum terbentuk. Setelah 20 Desember besok, saat Dewan Pengawas sudah dibentuk, baru penyadapan itu harus dengan izin. “Sekarang belum ada. Ya sudah, pimpinan tanda tangan, lanjutkan, enggak ada urusannya,” tandasnya.

Ketua KPK, Agus Rahardjo, mengamini bahwa UU Nomor 19/2019 tentang Perubahan UU 30/2002 tentang KPK tidak menghambat pihaknya melakukan penyadapan dan OTT. Dia menyebut, nihilnya OTT belakangan ini karena persoalan teknis.

“Bukan (karena UU baru). Kemarin itu ada sedikit problem teknik sebenernya, ya,” ujar Agus, di tempat yang sama. Masalahnya, ada pada pergantian server yang dilakukan. Proses itu memakan waktu sekitar satu hingga dua minggu. “Boleh dikatakan monitoring terhadap sprindapnya tidak efektif,” terangnya.

Kini, persoalan teknis itu sudah beres. Bukan tidak mungkin KPK akan kembali melancarkan operasi senyap jika ditemukan adanya dugaan tindak pidana. Lagipula, Agus mengingatkan, ada masa transisi UU KPK baru selama dua tahun.

“Jadi, kalau kemarin ada yang matang (hasil penyadapannya) ya bisa saja (ada OTT). Tapi, kemarin tidak ada yang matang,” bebernya.

Baca juga : Duh, Surat Izin Penangkapan Ikan Di KKP Masih Lambat

Sekalipun begitu, Agus mengaku lebih mendukung KPK untuk membangun perkara korupsi dari proses pelaporan masyarakat atau data dan informasi dari BPK dan PPATK ketimbang penanganan perkara melalui OTT.

Dikatakan, perkara korupsi yang dibangun atau case building lebih efektif mengembalikan kerugian keuangan negara. “Itu akan lebih besar,” tandasnya.

Sebelumnya, dalam pemaparan Kinerja KPK 2016-2019 Selasa lalu, KPK tercatat melakukan 87 kali OTT selama 2016 hingga 2019. Dalam operasi senyap itu, komisi antirasuah mentersangkakan 327 orang.

Rinciannya, di 2016 sebanyak 17 kali OTT dengan tersangka 58 orang, di 2017 sebanyak 19 kali dan menangkap 72 tersangka, di 2018 sebanyak 30 dengan menjerat 121 tersangka, dan di 2019 sebanyak 21 kali dengan total tersangka 76 orang.

Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menekankan, OTT tidak pernah berhenti pada perkara pokok. Tetapi, menjadi pintu masuk untuk mengarah ke pengembangan lainnya. “Salah satu contohnya adalah OTT dalam perkara usulan dana perimbangan ke uangan daerah. KPK kemudian menetapkan dua kepala daerah dan satu anggota DPR yang diduga terlibat dalam pengurusan dana perimbangan dalam APBN-P 2017 dan APBN 2018,” papar Saut.

Baca juga : Komjen Firli: Pelantikan Masih Lama

Selain itu, OTT dalam perkara suap terkait pengesahan RAPBD Provinsi Jambi yang kemudian menyeret Gubernur Jambi, Zumi Zola, dan 11 anggota DPRD-nya. Pengembangan dari OTT yang lain adalah dalam perkara suap dana hibah Kemenpora untuk KONI.

“Selain barang buktinya yang mencapai Rp 7,4 miliar, perkara ini ikut menyeret Menteri Pemuda dan Olahraga yang di duga menerima sejumlah uang,” beber Saut.

Menurut Saut, metode OTT lebih gampang membongkar praktik suap. Sebab sifat suap biasanya tertutup, dengan pelaku yang memiliki kekuasaan, dan alat bukti yang cenderung sulit di dapatkan.

Selain itu, OTT dapat membongkar persekongkolan tertutup yang hampir tidak mungkin dibongkar dengan metode penegakan hukum konvensional. “Kami yakin, OTT selalu bisa menjadi petunjuk yang mengungkap kasus-kasus lain dan sampai saat ini selalu terbukti di Pengadilan,” tutup Saut. [OKT]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.