Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Kasus Korupsi Pengadaan Obat HIV/AIDS

Kejagung Bidik Pejabat Kemenkes Jadi Tersangka

Minggu, 27 Desember 2020 06:55 WIB
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung, Leonard Eben Hezer. (Foto: Humas Kejagung)
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung, Leonard Eben Hezer. (Foto: Humas Kejagung)

RM.id  Rakyat Merdeka - Kejaksaan Agung (Kejagung) membidik pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam pengusutan kasus korupsi pengadaan obat HIV/AIDS 2016.

“Data dan hasil pemeriksaan intensif sudah di tangan penyidik. Kita tinggal menindaklanjuti saja,” kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejagung, Leonard Eben Hezer.

Penyidik Gedung Bundar telah menelusuri proses pengadaan, pelaksanaan dan pengawasannya hingga pembayaran kepada rekanan. “Penyidikannya sudah sampai tahap akhir. Sebentar lagi diharapkan selesai,” kata Leonard.

Hasil penyidikan akan dipaparkan dalam gelar perkara. “Di situ akan ditentukan tersangkanya,” ujarnya.

Ia masih menutup rapat pihak Kemenkes yang dibidik menjadi tersangka kasus ini. Sejauh ini, penyidik telah memeriksa lebih dari 50 saksi. Di antaranya, Direktur Utama PT Kimia Farma Trading & Distribution Yayan Heryana, Asisten Manager Prinsipal Kimia Farma Trading & Distribution Rahmad Rialdi, Direktur Supply Chain Kimia Farma (Persero) Djisman Siagian, Direktur Pengembangan Kimia Farma) Pujianto.

Baca juga : PLN Raih Penghargaan Pendidikan Vokasi Dari Kemendikbud

Kemudian, Marketing Manager Obat Generik & Produk Khusus Kimia Farma Eva Fairus, mantan Direktur Utama Kimia Farma dan kini Direktur Utama Indofarma, Rusdi.

Penyidik juga meminta keterangan Inspektur IV pada Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemenkes, Wayan Suartaha dan Inspektur Jenderal Kemenkes periode 2015-2018, Purwadi. Pemeriksaan itu untuk menggali hasil pengawasan Itjen dalam penggunaan anggaran dan pengadaan obat ini.

Saat ini, Kejagung tinggal menunggu hasil perhitungan kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil audit ini akan menjadi salah satu bukti.

Kasus ini berawal pada dari rencana Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan pada Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes menyediakan obat, vaksin dan perbekalan alat kesehatan terkait HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual (PMS).

Pengadaan itu akan dimasukkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemenkes tahun anggaran 2016. Sumber dananya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Baca juga : Bangun Rumah Hingga Villa, Kontraktor Dibayar Pakai Dolar

Pengadaan tersebut dilaksanakan dengan mekanisme pelelangan umum. Pada pengadaan tahap pertama, Kemenkes menunjuk PT Kimia Farma Trading & Distribution sebagai penyedia barang. Nilai kontraknya Rp 211.649.987.736.

Hasil penyidikan kejaksaan menemukan penyimpangan dalam proses lelang tersebut.Dianggap melanggar peraturan tentang pengadaan barang dan jasa.

Indonesia AIDS Coalition (IAC) mendesak kejaksaan agar menuntaskan penyidikan kasus ini. Harga obat AIDS di pasaran internasional sekitar 8 dolar Amerika per botol. Tapi pemerintah
membelinya denganharga Rp 400 ribu pada tahun 2016. Sehingga terjadi kerugian negara. “Rasanya tidak sulit dibuktikan,” nilai Aditya Wardhana, Direktur IAC.

IAC membuat perhitungan cost structure analysis. Hasilnya mengejutkan, adanya potensi kerugian negara lebih dari Rp 150 miliar dalam pengadaan ini. Menurut Aditya, kasus ini menyebabkan dihentikannya pengadaan obat ARV. Stok untuk pengidap HIV itu kosong di sejumlah daerah.

ARV harus dikonsumsi rutin oleh pengidap HIV guna mencegah infeksi HIV menjadi AIDS. Saat ini, ada sekitar 130 ribu orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang sedang menjalani terapi ARV di seluruh Indonesia.

Baca juga : Kejaksaan Agung Korek Pejabat Kementan Soal Harga Alsintan

Pemerintah, terang Aditya, membeli ARV 400 persen lebih tinggi dari harga di pasaran internasional. Biaya pengadaan obat anti AIDS setiap tahunnya terus meningkat. “Setidaknya ada 40 persen dana ini yang bisa dihemat,” kata.

Asal pemerintah mengacu harga internasional, sebagai acuan menetapkan harga perkiraan sendiri (HPS) dalam pengadaan ARV. [GPG]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.