Dark/Light Mode

Pemerintah Disarankan Manfaatkan Frekuensi 2,6 GHz Untuk 5G

Senin, 14 Juni 2021 15:47 WIB
Satelit Telekomunikasi. (Foto: Ilustrasi/Ist)
Satelit Telekomunikasi. (Foto: Ilustrasi/Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Perbaikan kabel serat optik Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) Sulawesi Maluku Papua Cable System (SMPCS) ruas Biak-Jayapura tengah dikebut oleh PT Telkom Indonesia Tbk (PT Telkom).

Saat ini, PT Telkom sudah menyiapkan backup link dengan kapasitas 4,7 Gbps. Dari jumlah tersebut 2.662 Mbps ditunjang dari pemanfaatan link satelit. Backup link sebesar 500 Mbps juga didapat dari radio long haul, dari Palapa Ring Timur sebesar 500 Mbps serta dari radio long haul Sarmi-Biak sebesar 1,6 Mbps.

Anggota Komisi I Fraksi Golkar DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengapresiasi langkah cepat memulihkan jaringan telekomunikasi di Papua yang dilakukan Kominfo bersama dengan PT Telkom.

"Kami harap Telkom bisa segera menyelesaikan dan memulihkan jaringan kabel laut di Papua, dan Kominfo bisa memberikan kebijakan-kebijakan untuk bisa memastikan jaringan internet dan Telekomunikasi beroperasi walaupun belum optimal," terang Bobby dalam keterangannya, Senin (14/6).

Baca juga : Pemerintah Disarankan Lakukan Penghematan

Dengan kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari kepulauan dan pegunungan, Bobby melihat peran satelit telekomunikasi di frekuensi 3,5 GHz di Indonesia masih sangat strategis dan dibutuhkan masyarakat.

Bobby menyarankan sudah saatnya pemerintah mulai memperhatikan keberadaan satelit telekomunikasi Indonesia. "Tujuannya selain untuk menjangkau dan memberikan layanan telekomunikasi kepada masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Adanya satelit telekomunikasi Indonesia yang handal juga diperlukan sebagai dukungan pada saat terjadi gangguan seperti yang dialami di Papua. Kita tidak bisa bergantung sepenuhnya kepada kabel optik," ungkap Bobby.

Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute mengatakan, selama ini satelit telekomunikasi masih dijadikan tulang punggung jaringan telekomunikasi, khususnya di daerah yang memiliki kondisi geografis yang menantang. Selain itu, satelit telekomunikasi juga dijadikan back up ketika terjadi gangguan serat optik.

"Satelit telekomunikasi sampai kapanpun tak akan pernah tergantikan oleh jaringan serat optik. Satelit telekomunikasi dijadikan jaringan utama untuk melayani masyarakat yang berada di daerah yang sulit dijangkau jaringan serat optik dan microwave," kata Heru.

Baca juga : Sebelum Diserahkan Ke Pertamina, Masalah Blok Rokan Harus Dituntaskan

Saat ini, ada anggapan dari sebagian orang bahwa satelit telekomunikasi dengan frekuensi 3,5 GHz sudah tidak dibutuhkan lagi sehingga frekuensinya dapat digunakan untuk layanan 5G. Menurut Heru, pendapat tersebut tidak tepat. Fungsi dan pemanfaatan satelit di Indonesia harus dilihat secara cermat.

Justru, satelit telekomunikasi memberikan kontribusi besar bagi masyarakat dan negara. Memang, frekuensi 3,5 GHz sampai 4,2 GHz bisa dipergunakan untuk 5G. "Namun, jika Pemerintah ingin menggelar layanan 5G di Indonesia, sebetulnya lebih tepat menggunakan frekuensi 2,6 GHz," ungkap Heru.

Saat ini frekuensi 2,6 GHz hanya dipergunakan untuk industri TV berbayar yang tidak memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat ataupun negara. Terlebih lagi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari industri TV satelit berbayar ini juga tidak optimal. Pemerintah pun sebenarnya telah memiliki dasar hukum untuk mencabut izin penggunaan frekuensi 2,6 GHz.

Dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 71 mengenai perubahan UU Nomor 36 Tahun 1999 diatur, jika penggunaan spektrum frekuensi radio tidak optimal dan atau terdapat kepentingan umum yang lebih besar, pemerintah dapat mencabut izin penggunaan spektrum tersebut.

Baca juga : Pemerintah Optimalkan BLT Desa untuk Pulihkan Ekonomi Daerah

Detail aturan ini pun telah diatur dalam Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri turunan UU Cipta Kerja di sektor telekomunikasi. "Dari sisi teknologi dan ekosistim 5G di 2,6 GHz juga sudah sangat mature. Sehingga frekuensi yang paling mungkin segera dilelang Pemerintah untuk dapat dimanfaatkan layanan 5G adalah di 2,6 GHz yang memiliki lebar pita 190 MHz," terang Heru.

Kalaupun pemerintah tidak mau mencabut izin frekuensi 2,6 GHz saat ini, maka secara administrasi izinnya akan otomatis berakhir pada tahun 2024. Namun, sangat disayangkan karena pemanfaatannya di untuk penyiaran tidak optimal.

Heru mengatakan, dahulu frekuensi 2,6 GHz dikuasai oleh MNC untuk layanan tv berbayar dengan brand Indovision. Namun, saat ini satelitnya telah dijual ke SES S.A perusahaan satelit asal Prancis.

"Awalnya bernama satelit Indostar, kemudian menjadi Protostar dan diubah menjadi SES 7 yang saat ini dimiliki oleh SES SA Prancis. Saya pernah berbicara langsung dengan perwakilan SES S.A. Saat ini Indovision sewa satelit SES 7. Jadi sebenarnya pemerintah memiliki dasar yang kuat untuk dapat segera memanfaatkan frekuensi 2,6 GHz untuk layanan 5G, karena ini hanya satu satelit asing yang numpang berlabuh di Indonesia," pungkas Heru. [MRA]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.