Dark/Light Mode

Amandemen Konstitusi Bukan Hal Tabu, Tapi Tak Boleh Serampangan

Minggu, 22 Mei 2022 08:39 WIB
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Foto: Dok. MPR)
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Foto: Dok. MPR)

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketua MPR sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menuturkan, dalam konsepsi negara demokratis, amandemen konstitusi bukan hal tabu. Amandemen konstitusi telah menjadi bagian dari praktik kehidupan demokrasi banyak negara dari berbagai belahan dunia. Misalnya di Perancis, amandemen konstitusi telah dilakukan sebanyak 24 kali, di India sebanyak 105 kali, di Thailand 20 kali, dan di Korea 9 kali.

Sementara di Indonesia, sudah 4 kali melakukan amandemen konstitusi. Bahkan di Amerika, yang telah sekian lama menjadi rujukan global dalam implementasi sistem demokrasi, amandemen konstitusi telah diajukan secara resmi oleh Kongres sebanyak 33 kali, dan 27 di antaranya telah diratifikasi negara-negara bagian.

"Menyadur pandangan Thomas Jefferson (Presiden ketiga Amerika), konstitusi justru seharusnya diamandemen oleh setiap generasi, untuk memastikan bahwa kemajuan dan perkembangan generasi masa kini, tidak 'terkekang' oleh ketentuan konstitusi 'masa lalu' yang tidak mengakomodir dinamika zaman," ujar Bamsoet, sapaan akrab Bambang, dalam pesan kebangsaan saat menutup Kongres XVI KNPI pimpinan Haris Pertama, secara virtual, di Jakarta, Sabtu (21/5).

Baca juga : Konbes NU 2022 Hasilkan 19 Peraturan, Dari Pedoman Kerja Sampai Rangkap Jabatan

Ketua DPR ke-20 menekankan, meskipun amandemen konstitusi bukan barang tabu, tetapi perubahannya tidak dapat dilakukan secara serampangan. Konstitusi adalah hukum dasar, yang memuat norma dasar dan aturan dasar dalam kehidupan bernegara. Penyempurnaannya untuk menyesuaikan perkembangan zaman dan mengakomodir kehendak rakyat, tidak boleh menafikan paham konstitusionalisme yang dianut.

Karenanya, lanjut dia, dorongan untuk menghadirkan amandemen konstitusi tidak boleh terlahir dari ruang kosong. Secara teoritis, amandemen konstitusi dilatarbelakangi oleh beberapa momentum konstitusional yang mendasarinya. 

“Misalnya, adanya ketentuan dalam konstitusi yang tidak mengatur secara tegas dan jelas, sehingga menimbulkan multitafsir dan kerancuan dalam implementasinya; adanya ketentuan-ketentuan mendasar yang belum diatur dalam konstitusi; adanya kelemahan mendasar dalam substansi, konsistensi hubungan antar bab atau antar pasal; atau adanya ketentuan yang sudah tidak relevan dengan kondisi politik dan ketatanegaraan yang berlaku," papar Bamsoet.

Baca juga : Pembatasan Sosial Tak Bakal Seketat Dulu Lagi

Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan Kadin Indonesia ini menjelaskan, dalam tatanan kehidupan demokrasi modern, konstitusi yang dianggap ideal adalah konstitusi yang hidup (living constitution) dan konstitusi yang bekerja (working constitution). Konstitusi yang 'hidup' adalah konstitusi yang mampu menjawab segala tantangan dan dinamika zaman; dan konstitusi yang 'bekerja' adalah konstitusi yang benar-benar dijadikan rujukan dan diimplementasikan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

"Karena konstitusi terikat oleh realitas zaman, maka agar 'hidup' dan 'bekerja', konstitusi tidak boleh anti terhadap perubahan. Mengingat perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan mungkin kita hindarkan. Dalam konteks keIndonesiaan, kita telah mengalami pasang surut dan dinamika sejarah dalam implementasi konstitusi. Pertama, periode awal berlakunya UUD 1945 dari 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, ketika konstitusi belum dapat sepenuhnya dilaksanakan, karena kondisi kenegaraan yang masih diwarnai perjuangan mempertahankan kemerdekaan," jelas Bamsoet.

Kedua, pemberlakuan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), dari 27 Desember 1949 hingga 17 Agustus 1950, yang mengadopsi sistem parlementer dengan bentuk pemerintahan federal. Ketiga, pemberlakuan UUD Sementara (UUDS), dari 17 Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959, dengan mengadopsi demokrasi liberal. Dinamakan 'sementara' karena konstitusi baru akan dibentuk setelah terpilihnya Dewan Konstituante pada Pemilu 1955. Kegagalan Dewan Konstituante membentuk konstitusi baru, dan jatuh bangunnya kabinet, telah mendorong lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dengan memberlakukan kembali UUD 1945.

Baca juga : Kasus Covid Memang Landai, Tapi Tidak Boleh Lalai

Pasca-pemberlakuan kembali UUD 1945, kita telah melewati periodisasi sejarah yang cukup panjang, mulai dari masa Orde Lama (tahun 1959 hingga 1966) hingga Orde Baru (tahun 1966 hingga 1998). Reformasi 1998 menjadi titik balik.

“Akumulasi kritik atas praktik penyelenggaraan negara yang bias dan tidak demokratis, bermuara pada tuntutan publik untuk mengamandemen Konstitusi. Konstitusi yang sekian lama nyaris tidak tersentuh, pada akhirnya harus tunduk pada tuntutan kehendak rakyat untuk dilakukan perubahan oleh MPR, yang saat itu masih menjadi lembaga tertinggi negara dan penyelenggara sepenuhnya kedaulatan rakyat," pungkas Bamsoet.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.