Dark/Light Mode

Revisi Undang-Undang Statistik

Senayan: Perkuat BPS

Senin, 10 April 2023 07:45 WIB
Anggota Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo. (Foto: Fraksi Golkar)
Anggota Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo. (Foto: Fraksi Golkar)

RM.id  Rakyat Merdeka - Anggota Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo menyoroti posisi Badan Pusat Statistik (BPS) yang kerap menjadi kambing hitam dari buruknya kebijakan tata kelola pangan Pemerintah. Dia pun mendorong agar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik dapat dirombak total.

Firman menuturkan, tata kelola negara yang baik sangat ditentukan oleh produk regulasi sebagai dasar hukum. Kalau regulasi yang dihasilkan baik, maka kebijakan yang diambil Pemerintah juga akan menjadi baik.

Jika data yang dihasilkan tidak bisa dipertanggungjawabkan akurasinya, program kegiatan yang dirancang kementerian/lembaga (K/L) bisa terancam gagal. “Jadi memang data ini adalah sesuatu yang sangat fundamental,” kata Firman di Jakarta, kemarin.

Firman lalu menyinggung rapat kerja Komisi IV DPR bersama Badan Pangan Nasional (Bapanas), Perum Bulog dan ID Food yang dilaksanakan pekan lalu. Dari rapat tersebut yang membahas soal neraca pangan dan kebijakan impor beras tersebut, para mitra kerja selalu berlindung di balik data statistik pemerintah.

Baca juga : Industri Galangan Harapkan Perhatian Pemerintah

“Semuanya mengarah ke BPS yang menjadi kambing hitam. Karena semuanya bicara data. Yang ujung-ujungnya adalah kepala badan tidak memahami spirit dari undang-undang yang kita buat. Padahal regulasi yang kita buat itu sudah sangat bagus. Sudah sangat revolusioner,” ujarnya.

Firman menegaskan, BPS merupakan satu badan yang dibentuk oleh negara yang semuanya patuh dan tunduk dengan data yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Namun sayangnya, hampir semua K/L justru menjadikan BPS dari pihak tertuduh dari sebuah kebijakan yang kontra dengan harapan masyarakat.

“BPS ini menjadi orang yang tertuduh. Karena semua alibinya kalau ditanya, kenapa kamu masih impor? Kok tindak sinkron dengan data Kementan, jawabannya ‘kami data BPS pak,” ujar Firman yang juga anggota Komisi IV DPR ini.

Semua problem tersebut, lanjut dia, bukan hanya terjadi di persoalan pangan saja tetapi juga di hampir semua lini termasuk data warga miskin. Ketika Pemerintah gencar-gencarnya menyerahkan program bantuan sosial (bansos) bagi warga miskin, data dari pusat dengan daerah itu ternyata tidak sinkron. Walhasil, tidak sedikit bansos yang digulirkan Pemerintah menjadi tidak tepat sasaran.

Baca juga : Usai Restrukturisasi, Keuangan WSBP Dipastikan Tetap Sehat

“Kami Fraksi Golkar mendukung adanya perubahan tidak hanya revisi, mungkin perubahan total bagaimana BPS ini bisa kita perkuat. Karena ujung tombak semua perencanaan itu adalah dari statistik kita,” ujarnya.

Dia berharap perubahan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik dapat menjawab karut marut persoalan data. “Masalah statistik ini sangat mendasar apalagi kalau terkait dengan jumlah penduduk. Sebab setiap pemilu itu kita diributkan dengan statistik,” tambah dia.

Sementara anggota Komisi IV DPR Suhardi Duka menyayangkan adanya pihak-pihak yang justru tidak percaya dengan data yang dihasilkan BPS. Kalau cara berpikirnya diawali dari sikap tidak percaya, maka sulit untuk menumbuhkan sikap saling percaya. “Saya sendiri percaya data statitik,” tegas Suhardi.

Suhardi menegaskan, undang-undang sudah punya metodologi mengatur bagaimana pengelolaan data statistik dari daerah hingga ke pusat. Karena itu dia menyindir masih ada pihak yang tidak percaya data BPS sehingga seakan-akan merasa lebih hebat dari lembaga pengelola data Pemerintah ini.

Baca juga : KPP Santai, Jalan Terus…

“Bapanas ini kan hanya ada di Jakarta, tidak punya personil sampai ke daerah. Terus menyajikan data tidak menggunakan data BPS, apakah anda lebih hebat?” tutur Suhardi.

Karena itu, dia meminta agar persoalan data BPS yang menjadi rujukan data produksi pangan nasional tidak perlu diributkan. Toh selama ini data BPS telah menjadi rujukan kebijakan nasional baik data produksi pangan hingga pertumbuhan ekonomi nasional kita.

Makanya, walaupun misalnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bilang pertumbuhan ekonomi nasional lima persen namun kalau BPS katakan dua persen, maka dua persen yang menjadi kebijakan nasional. Begitu juga dengan tingkat pengangguran. Walau Pemerintah katakan tingkat pengangguran lima persen tapi BPS menyatakan 8 persen, maka yang jadi tetaplah BPS. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.