Dark/Light Mode

Webinar Amandemen UUD 1945

Bamsoet: Konstitusi Harus Mampu Jawab Tantangan Dan Dinamika Zaman

Kamis, 8 Juni 2023 21:33 WIB
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Foto: Dok. MPR)
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Foto: Dok. MPR)

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menuturkan, konstitusi yang dibangun dan diperjuangkan bangsa Indonesia adalah ‘konstitusi yang hidup' (living constitution), sehingga mampu menjawab segala tantangan dan dinamika zaman. Sekaligus ‘konstitusi yang bekerja' (working constitution), yang dapat dijadikan rujukan, dilaksanakan, dan memberi kemanfaatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Agar 'hidup' dan 'bekerja', kata Bamsoet, konstitusi tidak boleh anti terhadap perubahan. Mengingat perubahan zaman adalah sebuah keniscayaan yang tidak akan mungkin dihindarkan. Pimpinan MPR pun telah melakukan serangkaian pertemuan dengan para pimpinan partai politik, tokoh masyarakat, tokoh keagamaan, dan berbagai komponen masyarakat lainnya. “MPR telah mengidentifikasi bahwa ada enam aspirasi yang berkembang di masyarakat terkait agenda perubahan konstitusi,” ucapnya, dalam Webinar 'Wacana Amandemen UUD 1945: Renungan 25 Tahun Pasca Reformasi', secara virtual, di Jakarta, Kamis (8/6).

Bamsoet lalu menjelaskan enam aspirasi tersebut. Pertama, amandemen terbatas, perubahan terkait dibentuknya Pokok-pokok Haluan Negara model GBHN. Kedua, penyempurnaan terhadap UUD 1945 hasil amandemen. Ketiga, perubahan dan kajian menyeluruh terhadap UUD 1945 hasil amandemen. Keempat, kembali ke UUD 1945 yang asli sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kelima, kembali ke UUD tahun yang asli, kemudian diperbaiki dan disempurnakan melalui adendum. Keenam, tidak perlu dilakukan amandemen konstitusi, karena konstitusi yang ada saat ini dipandang masih mencukupi 

Ketua DPR ke-20 ini menjelaskan, dalam rangka memenuhi tuntutan reformasi konstitusi, MPR telah melakukan empat kali amandemen, dari 1999 hingga 2002. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat telah melakukan 27 kali amandemen dalam kurun waktu lebih dari dua abad, dari 1791 sampai 1992.

Baca juga : Koalisi Harus Kompak, Jangan Jegal-jegalan Di Internal

Perubahan pertama ditetapkan pada Sidang MPR 19 Oktober 1999, dengan materi perubahan berkaitan dengan kekuasaan pembentukan undang-undang dan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Perubahan kedua ditetapkan pada Sidang MPR 18 Agustus 2000, yang pada prinsipnya mengatur tentang otonomi daerah; pengakuan serta penghormatan terhadap satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus, istimewa, dan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat; penegasan fungsi dan hak DPR; penegasan NKRI sebagai sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara; perluasan jaminan konstitusional hak asasi manusia; sistem pertahanan dan keamanan Negara; pemisahan struktur dan fungsi TNI dengan Polri; serta pengaturan bendera, bahasa, lambang Negara, dan lagu kebangsaan.

Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 9 November 2001, dengan materi perubahan terkait penegasan Indonesia sebagai negara demokratis berdasar hukum berbasis konstitusionalisme; perubahan struktur dan kewenangan MPR; pemilihan presiden dan wakil presiden langsung oleh rakyat; mekanisme pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden; kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah; pemilihan umum; pembaharuan kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan; perubahan kewenangan dan proses pemilihan dan penetapan hakim agung; pembentukan Mahkamah Konstitusi; dan pembentukan Komisi Yudisial.

Perubahan keempat ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 10 Agustus 2002, dengan materi perubahan yang berkaitan dengan perubahan susunan MPR (menjadi terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum); tambahan aturan mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden; pelaksana tugas kepresidenan; Dewan Pertimbangan Presiden menggantikan Dewan Pertimbangan Agung yang dihapuskan; ketentuan mengenai bank sentral; prioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD; kebudayaan nasional; pengembangan sistem jaminan sosial dan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum; serta syarat perubahan UUD.

Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI ini menerangkan, secara kuantitatif, dari empat kali perubahan tersebut, jumlah ayat dalam UUD bertambah sekitar tiga kali lipat. Secara kualitatif, perubahan yang dilakukan sangat banyak dan mendasar. Inilah yang kemudian menghadirkan pandangan, bahwa amandemen yang dilakukan atas UUD 1945 telah melahirkan sebuah 'konstitusi baru'.

Baca juga : Ganjar: Pantura Juwana-Batangan Siap Dilintasi Pemudik

"Meskipun banyak kritik, harus diakui Amandemen konstitusi yang dilakukan MPR dari 1999 hingga 2002 telah membangun sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis, menegaskan prinsip negara hukum, dengan pemisahan kekuasaan yang jelas antar organ negara yang disertai prinsip check and balance. Ketegasan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden, perluasan jaminan hak asasi manusia, dan desentralisasi kewenangan kepada daerah otonom menjadi bagian dari dimensi positif dari amandemen yang telah dilakukan MPR 2002," ujar Bamsoet. 

Bamsoet menambahkan, sudah waktunya dilakukan kajian mendalam atas konstitusi yang dijalankan saat ini. Publik harus mengakui, bahwa implementasi perubahan UUD tidak serta merta berdampak pada kehidupan demokrasi yang lebih matang dan dewasa.

Dia mencontohkan implementasi Pilpres secara langsung, masih menyisakan polarisasi rakyat pada kutub-kutub yang berseberangan. Demikian pula implementasi Pilkada “secara demokratis”, yang hampir semuanya dimaknai melalui pemilihan langsung. Kontestasi politik tidak hanya berpotensi memicu lahirnya konflik sosial, tetapi juga berdampak pada mahalnya ongkos politik (demokrasi transaksional atau kekuatan modal), yang bermuara pada banyaknya kepala daerah tersandung kasus korupsi. Hingga Maret 2021, tercatat ada 429 kepala daerah hasil Pilkada yang tersandung kasus korupsi.

“Jika amendemen konstitusi ditujukan untuk memajukan kehidupan rakyat, kita pun dapat bercermin pada capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang menggambarkan proporsi akses masyarakat terhadap hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, layanan kesehatan, dan pendidikan. Kita bersyukur, bahwa menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), IPM Indonesia tahun 2022 mencapai 72,91 atau meningkat 0,86 persen dibanding 2021,” ucapnya.

Baca juga : Bamsoet: Indonesia Tak Boleh Jadi Negara Gagal

Di sisi lain, lanjut Bamsoet, publik tidak boleh menutup mata bahwa Korea Selatan, yang hanya terpaut dua hari usia kemerdekaannya dengan Indonesia, memiliki skor IPM sebesar 9,25. Padahal, setelah merdeka, Korea Selatan masih harus menghadapi perang saudara dengan Korea Utara. Korea Selatan juga harus berjibaku mengatasi masalah politik internal, termasuk korupsi yang merajalela. Korea Selatan bahkan pernah menjadi negara termiskin di Asia. Tapi kini, Korea Selatan sudah sangat maju.

"Dari gambaran tersebut, saya ingin mengajak kita semua untuk bermawas diri, jika dengan segala keterbatasan dan problematika yang dihadapinya, saat ini Korea Selatan mampu melesat menjadi negara maju, maka saya yakin, Indonesia yang sangat kaya akan sumber daya, juga semestinya mampu meraih capaian yang sama. Dalam konteks kehidupan berkonstitusi, sudah semestinya implementasi konstitusi memberikan dampak yang mensejahterakan kehidupan rakyat," pungkas Bamsoet.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.