Dark/Light Mode

PPHN Bisa Tanpa Amandemen

Bamsoet: Indonesia Tak Boleh Jadi Negara Gagal

Jumat, 31 Maret 2023 07:45 WIB
Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019, Fahri Hamzah (kiri); Ketua MPR, Bambang Soesatyo (tengah); dan Direktur Eksekutif Voxpol Indonesia Pangi, Syarwi Chaniago (kanan), mendiskusikan isi buku
Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019, Fahri Hamzah (kiri); Ketua MPR, Bambang Soesatyo (tengah); dan Direktur Eksekutif Voxpol Indonesia Pangi, Syarwi Chaniago (kanan), mendiskusikan isi buku "PPHN Tanpa Amandemen", karangan Ketua MPR, Bambang Soesatyo. Buku ke-30 Bamsoet itu, ditulis berdasarkan disertasi Bamsoet, berjudul "Peranan dan Bentuk Hukum Pokok-Pokok Haluan Negara, sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Berkesinambungan, dalam Menghadapi Industri 5.0 dan Indonesia Emas". (Foto: MPR)

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo menegaskan, Indonesia tidak boleh menjadi negara gagal dan mengalami kebangkrutan, seperti Srilangka dan Ghana, atau tiga negara yang saat ini terancam menjadi negara gagal, yakni Mesir, Pakistan dan Bangladesh. Indonesia juga tidak boleh mengalami krisis perekonomian, khususnya krisis keuangan yang dikategorikan sebagai kahar fiskal.

"Karenanya, Indonesia perlu menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai produk hukum yang dapat mencegah, sekaligus men­jadi solusi mengatasi persoalan yang dihadapi oleh negara," ujar Bamsoet, sapaan Bambang Soesatyo dalam Diskusi Empat Pilar MPR, bertajuk "PPHN Tanpa Amandemen" di Media Center Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/3/23).

Hadir sebagai pembicara, Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019, Fahri Hamzah; Anggota Komisi III DPR, Muhammad Nasir Djamil; dan Direktur Eksekutif Voxpol Indonesia Pangi, Syarwi Chaniago.

Melanjukan keterangannya, Bamsoet mengatakan, kehadiran PPHN juga akan menjamin kesinambungan pembangunan, khususnya pembangunan jangka panjang yang akan melampaui beberapa periode pemerintahan. Ia pun menguraikan beberapa cara menghadirkan PPHN.

Baca juga : Bamsoet Tegaskan, Indonesia Tak Boleh Jadi Negara Gagal

Pertama, kata dia, melalui amandemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945, yang me­masukkan substansi kewenangan MPR menyusun PPHN dan pengawasan pelaksanaan PPHN oleh DPR. Kedua, dilakukan tanpa amandemen, mengubah Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang tentang Pembentukan Peraturan Perun­dang-Undangan.

Ketiga, lanjut dia,nmengubah UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, memasukan substansi mengenai kewenangan MPR membentuk PPHN dengan produk hukum berupa TAP MPR. Keempat, PPHN ditetap­kan dalam sebuah UU yang mencabut UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perenca­naan Pembangunan Nasional.

"Cara kelima, MPR menetapkan PPHN sebagai konvensi ketatanegaraan, tanpa mengubah produk hukum sebagaimana dalam berbagai poin sebelum­nya. Artinya, PPHN bisa di­hadirkan tanpa perlu khawatir bakal membuka kotak pandora, yang bisa memantik terjadinya amendemen pasal-pasal lain dalam konstitusi, utamanya ter­kait perpanjangan masa jabatan presiden yang selalu menyulut gaduh politik," jelas dia.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menilai, konsep kedua dan kelima merupakan konsep terbaik. Sebab, judicial review dengan mengembalikan kewenangan MPR mengelu­arkan TAP baru yang bersifat mengatur atau regeling dan konvensi ketatanegaraan, meru­pakan sumber hukum tata negara yang memiliki kekuatan hukum mengikat dalam praktik berhu­kum di Indonesia maupun di dunia internasional.

Baca juga : Bamsoet: Golkar Kompak & Solid Satu Suara Hadapi Pemilu 2024

Bamsoet menambahkan, Indonesia perlu menyiapkan langkah-langkah antisipasi atas terjadinya situasi darurat konsti­tusi, sekaligus memiliki solusi dalam mengatasi persoalan yang dihadapi negara. Di antaranya, ungkap dia, mengembalikan kewenangan MPR sebagai lem­baga tertinggi negara. Menurut dia, kewenangan subjektif su­perlatif penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar ca­bang kekuasaan.

Misalnya, urai dia, kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan (pemerintah/eksekutif) dengan lembaga DPR (legislatif). Atau bagaimana jika terjadi kebuntuan politik antara pemerintah dan DPR (eksekutif dan legislatif) dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (yudi­katif)? Atau terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK.

"Padahal, sesuai asas peradi­lan yang berlaku universal, ha­kim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Artinya, MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara. Menurut saya, TAP MPR merupakan salah satu solusi manakala terjadi kebuntuan konstitusi dan ke­daruratan atau kegentingan yang memaksa," tandasnya.

Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019, Fahri Hamzah mengamini pendapat Bamsoet. Menurutnya, pemberian ke­wenangan politik kepada MPR, sangat efektif dalam mengurai problem konstitusional dan ketatanegaraan. Intervensi politik tingkat tinggi diperlukan dalam mengurai kebuntuan politik, dan harus dilakukan oleh lem­baga yang cukup kuat dalam sejarahnya.

Baca juga : "PPHN Tanpa Amendemen" Jawaban Diskursus Soal Peta Jalan Indonesia yang Menahun

"Ada banyak contoh kebun­tuan yang dapat terjadi dalam pelaksanaan konsitusi kita. Misalnya, pengaturan tentang anggaran pendidikan sebesar 20 persen, dan kemungkinan terjadinya perang. Itu memerlu­kan instrumen intervensi yang bukan pada level Presiden atau DPR dan DPD, serta Mahka­mah Agung dan Mahkamah Konsitusi. Tapi, intervensi pada level Majelis Permusyawaratan Rakyat," urai Fahri. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.