Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
PPHN Bisa Tanpa Amandemen
Bamsoet: Indonesia Tak Boleh Jadi Negara Gagal
Jumat, 31 Maret 2023 07:45 WIB
RM.id Rakyat Merdeka - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo menegaskan, Indonesia tidak boleh menjadi negara gagal dan mengalami kebangkrutan, seperti Srilangka dan Ghana, atau tiga negara yang saat ini terancam menjadi negara gagal, yakni Mesir, Pakistan dan Bangladesh. Indonesia juga tidak boleh mengalami krisis perekonomian, khususnya krisis keuangan yang dikategorikan sebagai kahar fiskal.
"Karenanya, Indonesia perlu menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai produk hukum yang dapat mencegah, sekaligus menjadi solusi mengatasi persoalan yang dihadapi oleh negara," ujar Bamsoet, sapaan Bambang Soesatyo dalam Diskusi Empat Pilar MPR, bertajuk "PPHN Tanpa Amandemen" di Media Center Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/3/23).
Hadir sebagai pembicara, Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019, Fahri Hamzah; Anggota Komisi III DPR, Muhammad Nasir Djamil; dan Direktur Eksekutif Voxpol Indonesia Pangi, Syarwi Chaniago.
Melanjukan keterangannya, Bamsoet mengatakan, kehadiran PPHN juga akan menjamin kesinambungan pembangunan, khususnya pembangunan jangka panjang yang akan melampaui beberapa periode pemerintahan. Ia pun menguraikan beberapa cara menghadirkan PPHN.
Baca juga : Bamsoet Tegaskan, Indonesia Tak Boleh Jadi Negara Gagal
Pertama, kata dia, melalui amandemen terbatas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945, yang memasukkan substansi kewenangan MPR menyusun PPHN dan pengawasan pelaksanaan PPHN oleh DPR. Kedua, dilakukan tanpa amandemen, mengubah Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Ketiga, lanjut dia,nmengubah UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, memasukan substansi mengenai kewenangan MPR membentuk PPHN dengan produk hukum berupa TAP MPR. Keempat, PPHN ditetapkan dalam sebuah UU yang mencabut UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
"Cara kelima, MPR menetapkan PPHN sebagai konvensi ketatanegaraan, tanpa mengubah produk hukum sebagaimana dalam berbagai poin sebelumnya. Artinya, PPHN bisa dihadirkan tanpa perlu khawatir bakal membuka kotak pandora, yang bisa memantik terjadinya amendemen pasal-pasal lain dalam konstitusi, utamanya terkait perpanjangan masa jabatan presiden yang selalu menyulut gaduh politik," jelas dia.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menilai, konsep kedua dan kelima merupakan konsep terbaik. Sebab, judicial review dengan mengembalikan kewenangan MPR mengeluarkan TAP baru yang bersifat mengatur atau regeling dan konvensi ketatanegaraan, merupakan sumber hukum tata negara yang memiliki kekuatan hukum mengikat dalam praktik berhukum di Indonesia maupun di dunia internasional.
Baca juga : Bamsoet: Golkar Kompak & Solid Satu Suara Hadapi Pemilu 2024
Bamsoet menambahkan, Indonesia perlu menyiapkan langkah-langkah antisipasi atas terjadinya situasi darurat konstitusi, sekaligus memiliki solusi dalam mengatasi persoalan yang dihadapi negara. Di antaranya, ungkap dia, mengembalikan kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Menurut dia, kewenangan subjektif superlatif penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan.
Misalnya, urai dia, kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan (pemerintah/eksekutif) dengan lembaga DPR (legislatif). Atau bagaimana jika terjadi kebuntuan politik antara pemerintah dan DPR (eksekutif dan legislatif) dengan lembaga Mahkamah Konstitusi (yudikatif)? Atau terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK.
"Padahal, sesuai asas peradilan yang berlaku universal, hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri. Artinya, MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara. Menurut saya, TAP MPR merupakan salah satu solusi manakala terjadi kebuntuan konstitusi dan kedaruratan atau kegentingan yang memaksa," tandasnya.
Wakil Ketua DPR Periode 2014-2019, Fahri Hamzah mengamini pendapat Bamsoet. Menurutnya, pemberian kewenangan politik kepada MPR, sangat efektif dalam mengurai problem konstitusional dan ketatanegaraan. Intervensi politik tingkat tinggi diperlukan dalam mengurai kebuntuan politik, dan harus dilakukan oleh lembaga yang cukup kuat dalam sejarahnya.
Baca juga : "PPHN Tanpa Amendemen" Jawaban Diskursus Soal Peta Jalan Indonesia yang Menahun
"Ada banyak contoh kebuntuan yang dapat terjadi dalam pelaksanaan konsitusi kita. Misalnya, pengaturan tentang anggaran pendidikan sebesar 20 persen, dan kemungkinan terjadinya perang. Itu memerlukan instrumen intervensi yang bukan pada level Presiden atau DPR dan DPD, serta Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsitusi. Tapi, intervensi pada level Majelis Permusyawaratan Rakyat," urai Fahri. ■
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya