Dark/Light Mode

Jadi Dosen S3 Universitas Borobudur

Bamsoet Ngajar Ilmu Hukum Ke Anggota DPR, Bupati, Sampai Perwira TNI/Polri

Sabtu, 17 Juni 2023 19:44 WIB
Ketua MPR Bambang Soesatyo memberikan kuliah Pembaharuan Hukum Nasional, Pascasarjana S3 Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (17/6). (Foto: Istimewa)
Ketua MPR Bambang Soesatyo memberikan kuliah Pembaharuan Hukum Nasional, Pascasarjana S3 Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (17/6). (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mulai mengajar sebagai dosen tetap Pascasarjana Program S3 Ilmu Hukum Universitas Borobudur, angkatan 24 dengan jumlah mahasiswa mencapai 52 orang. Para mahasiswanya antara lain, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni, Bupati Banyuasin Askolani, Lawyer MNC Group Sutrisno, Dosen Ilmu Hukum Universitas Esa Unggul Sidi Wiraguna, Dosen Hukum Pidana Universitas Bung Karno Hudy Jusuf, dan beberapa kepala daerah lain serta dari TNI/Polri.

Di semester ini, Bamsoet mengajar mata kuliah Pembaharuan Hukum Nasional. Sedangkan di semester mendatang mengajar mata kuliah Politik Hukum dan Kebijakan Publik. Selain menjadi dosen tetap berdasarkan Keputusan Kemendikbudristek Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III Jakarta dengan kepangkatan Lektor, Bamsoet juga dipercaya selain menjadi Co-Promotor dan penguji mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Borobudur Jakarta, juga sebagai penguji Pascasarjana Program S3 di almamaternya, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.

Baca juga : Jalin Koordinasi Dan Sinergitas, Sahabat Ganjar Bentuk Kepengurusan Di Kudus Dan Salatiga

Salah satu bentuk terobosan pembaharuan hukum nasional yang saat ini sedang digagas bangsa Indonesia yakni rencana MPR menghadirkan kembali Utusan Golongan di MPR dan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai peta jalan pembangunan nasional. Mengatur hal-hal yang bersifat filosofis dan turunan pertama dari UUD 1945. Posisi PPHN yang didasari TAP MPR sangat kuat, tidak bisa ditorpedo Perppu maupun di judicial review Mahkamah Konstitusi. Bisa digunakan sebagai landasan hukum pembangunan jangka panjang seperti pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dan pembangunan infrastruktur strategis berjangka panjang lainnya.

"Memastikan IKN Nusantara tidak mangkrak seusai berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebagaimana Proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang yang mangkrak usai berakhirnya pemerintahan Presiden SBY. Karena, jangankan beda partai politik, terkadang pemimpin yang dihasilkan dalam satu partai politik pun bisa jadi selalu ada ego untuk meninggalkan legacy. Karena itu perlu terobosan dan pembaharuan hukum nasional berupa PPHN yang memastikan pembangunan jangka panjang tetap dilanjutkan oleh siapapun yang menjadi presidennya," ujar Bamsoet, saat memberikan kuliah Pembaharuan Hukum Nasional, Pascasarjana Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (17/6).

Baca juga : Orasi Di Universitas Hindu Negeri Bali, Bamsoet Ajak Perkuat Toleransi Beragama

Ketua DPR ke-20 ini menjelaskan, untuk menjaga 'marwah' PPHN agar tetap mempunyai implikasi dan daya ikat terhadap siapa pun presidennya, maka bisa dilakukan melalui mekanisme/pranata hak bugdet DPR.

"Gambaran teknisnya, apabila RAPBN yang diajukan pemerintah tidak sesuai dengan arahan yang terdapat dalam PPHN, misalnya tidak terdapat anggaran untuk pembangunan IKN Nusantara, DPR dapat menolak dan meminta pemerintah untuk melakukan penyesuaian dalam bentuk merevisi kembali ataupun diputuskan menggunakan APBN tahun sebelumnya," jelas Bamsoet.

Baca juga : HUT Ke-44, Universitas Budi Luhur Perkuat Kerja Sama & Kolaborasi

Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI ini menerangkan, bentuk hukum PPHN yang ideal yakni dalam bentuk Ketetapan MPR, yang membutuhkan dasar legalitas konstitusional dengan memberi kewenangan MPR melalui amandemen terbatas Konstitusi. Jika menghadirkan PPHN melalui amandemen dirasakan bisa menimbulkan kegaduhan politik, maka bisa dilakukan terobosan dan pembaharuan hukum dengan menghadirkan PPHN tanpa amandemen, yakni melalui konvensi Ketatanegaraan dengan menyesuaikan beberapa peraturan perundang-undangan. Karenanya, diperlukan konsensus nasional untuk menyelenggarakan konvensi ketatanegaraan yang melibatkan delapan lembaga tinggi negara, termasuk lembaga kepresidenan.

"Jika sepakat melakukan konvensi ketatanegaraan, perlu dibentuk dan disusun substansinya. Konvensi ini kemudian dikuatkan dengan Tap MPR. Saat ini MPR masih memiliki kewenangan Tap MPR yang sifatnya keputusan (beschikking). Lebih baik lagi jika penjelasan pasal 7 ayat 1 huruf b pada UU Nomor 12 tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 ditiadakan atau dihapus, sehingga kekuatan Tap MPR yang bersifat regeling atau pengaturan, hidup kembali," pungkas Bamsoet.â– 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.