Dark/Light Mode

Penyaluran PEN Harus Kedepankan Fairness, Transparansi dan Akuntabilitas

Selasa, 16 Juni 2020 08:45 WIB
Deddy Yevri Sitorus (Foto: Istimewa)
Deddy Yevri Sitorus (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah telah menganggarkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 589,65 triliun dalam penanggulangan dampak wabah Covid-19. Program PEN dapat dilaksanakan melalui penyertaan modal negara (PMN), penempatan dana, investasi pemerintah, dan penjaminan. Salah satu sasaran PEN adalah BUMN. PEN dialokasikan kepada BUMN sebesar Rp 52,57 triliun atau sekitar 8,8 persen.

Anggaran PEN untuk BUMN ini dialokasikan dalam bentuk subsidi listrik Rp 6,92 triliun, bantuan sosial logistik/pangan/sembako Rp 10,5 triliun, PMN untuk empat BUMN total Rp 15,5 triliun, dan dana talangan untuk modal kerja bagi lima BUMN total sebesar Rp 19,65 triliun. 

Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Sitorus berpesan, dalam penyaluran PEN ke BUMN, Pemerintah harus cermat. Politisi PDIP ini menegaskan, kasus BLBI dan Bank Century harus dijadikan pelajaran berharga. "Antara kebutuhan dan pelaksanaan anggaran benar-benar diperhatikan. Jika merujuk kasus Century, kebutuhan yang seharusnya hanya Rp 670 miliar tapi dalam pelaksanaan membengkak menjadi Rp 7 triliun. Kita jangan sampai jatuh ke lubang yang sama," ujar Deddy, dalam keterangannya, Selasa (16/6).

Baca juga : Jangan Kendor, Tetap Disiplin Jalankan Protokol Kesehatan

Anggota Dewan dari Dapil Kalimantan Utara ini menambahkan, Pemerintah akan memberikan dana talangan kepada beberapa BUMN. Di saat yang sama, Kementerian BUMN mengatakan aturan main tentang dana talangan belum final. Tanpa konsep dan mekanisme yang jelas, dana talangan menjadi rawan moral hazard, maka pelaksanaannya perlu dikawal oleh lembaga pengawasan. 

"Untuk memitigasi risiko, Pemerintah harus membuka skema dana talangan kepada publik agar menjadi bahan diskursus. Selain itu, perlu segera membentuk tim pengawasan dan berkoordinasi dengan KPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), dan Jaksa Agung," terangnya.

Menurut Deddy, PEN harusnya hanya diberikan kepada BUMN yang mempunyai tata kelola bagus dan untuk hajat hidup orang banyak. Bukan perusahaan yang rugi. Sebagai contoh, Garuda Indonesia termasuk dalam program PEN mempunyai utang jatuh tempo senilai 500 juta dolar AS pada Juni 2020 selain beban lain yang berisiko tinggi bagi keberlangsungan usaha.

Baca juga : Dimotori PDIP, Ditolak Ulama, DPR, Tobatlah!

"Dana talangan seharusnya tidak digunakan untuk menambal kesalahan masa lalu, tapi menunjang keberlangsungan bisnis yang sehat. Maka, sesuai dengan prinsip sharing the pain sebagaimana ditekankan Presiden Jokowi, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan sebaiknya mengambil opsi penambahan modal sehingga semua pemegang saham memiliki tanggung jawab dan risiko yang sama," terangnya.

Deddy berpendapat, Pemerintah harus menyusun kriteria dan syarat yang jelas, terukur, dan akuntabel sebagai dasar pemberian PMN dan dana talangan kepada BUMN. Harus dilakukan analisis mendalam terhadap kondisi kesehatan BUMN, sehingga zero tolerance pada moral hazard. Selain itu, perlu dibuat proyeksi bisnis yang terukur demi menjamin pengembalian dana Pemerintah.

"Pelaksanaan PEN secara keseluruhan harus tetap berpegang teguh pada keadilan sosial, menerapkan kaidah kebijakan kehati-hatian, tata kelola yang baik, transparan, akseleratif, adil, dan akuntabel untuk mendukung pelaku usaha, dan tidak menimbulkan moral hazard. PEN jangan sampai menjaring angin (sia-sia) dan mengulang kegagalan sejarah, sekadar menjadi kuda tunggangan para petualang dan pembonceng gelap," tutupnya. [USU]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.