Dark/Light Mode

Soal Amandemen

Mahfud Nggak Mau Ikut Campur

Jumat, 27 Agustus 2021 07:25 WIB
Menko Polhukam Mahfud MD dalam Diskusi Konstitusi yang diselenggarakan Integrity Lawfirm, dengan tema “Urgensi Amandemen Konstitusi di Tengah Pandemi: Untuk Kepentingan Siapa?” secara daring, kemarin. (Foto: Humas Kemenko Polhukam)
Menko Polhukam Mahfud MD dalam Diskusi Konstitusi yang diselenggarakan Integrity Lawfirm, dengan tema “Urgensi Amandemen Konstitusi di Tengah Pandemi: Untuk Kepentingan Siapa?” secara daring, kemarin. (Foto: Humas Kemenko Polhukam)

 Sebelumnya 
"Tidak usah kita perdebatkan. Masih pandemi kok mau amandemen. Tidak terpikirkan di kita itu," kata Arsul, dalam acara diskusi yang sama dengan Mahfud.

Karena itu, kata Wakil Ketua Umum PPP ini, wacana amandemen sebaiknya tidak diributkan lagi. Dia juga menegaskan, wacana amandemen bukan barang baru. Wacana ini sudah muncul sejak lama. Namun, tentu saja tak mudah untuk merealisasikannya. Karena ada syarat dan ketentuan berat yang dipenuhi.

Baca juga : Maunya Bamsoet Dimentahkan Zul

Arsul menambahkan, rencana MPR menghidupkan wacana amandemen UUD 1945 tidak ujug-ujug. Amandemen tersebut merupakan rekomendasi MPR periode 2014-2019 untuk memasukkan PPHN dalam konstitusi. Drafnya sudah mulai dibahas dan ditargetkan rampung akhir tahun ini.

Hanya saja, kata dia, tidak semua fraksi sepakat. Tiga fraksi beda suara. Ada yang setuju PPHN masuk dalam TAP MPR sehingga membutuhkan amandemen, ada juga yang menilai hanya perlu dimasukkan dalam Undang-Undang (UU).

Baca juga : Friba Rezayee, Takut Nggak Bisa Ikut Olimpiade

Fraksi yang berpendapat PPHN cukup masuk UU didukung Golkar, Demokrat, PKS. "Tujuh fraksi lain plus DPD setuju payung hukumnya TAP MPR yang berarti butuh amandemen," ungkapnya.

Arsul melanjutkan, rekomendasi MPR periode lalu menugaskan MPR sekarang agar melakukan kajian lebih mendalam soal amandemen PPHN. Karena itu, Badan Pengkajian MPR sedang mengkaji rekomendasi tersebut. "Di MPR sendiri belum ada keputusan apakah ada amandemen apa tidak, ya wong dua syarat amandemen yang ada di pasal 37 UUD 1945 kan belum ada," bebernya.

Baca juga : Politisi Jangan Grusa-Grusu Deh

Sementara, Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Aditya Perdana menilai wajar kalau publik resah dengan wacana amandemen. Soalnya, di masa pandemi ini, wacana itu muncul berulang-ulang. Apalagi sepekan terakhir muncul manuver elite parpol seperti pertemuan Jokowi dengan pimpinan parpol di Istana. "Artinya, kekuatan koalisi pemerintahan saat dominan di lembaga legislatif dan eksekutif sehingga pembuatan kebijakan jadi lebih mudah," kata Aditya, tadi malam.

Menurut Aditya, dalam sistem presidensial seperti di Indonesia, keputusan besar amandemen justru sangat tergantung pada sikap presiden. Kalau presiden tak mau, tentu ia bisa membicarakan dengan partai koalisi agar tak melakukan amandemen dan memilih kebijakan yang lebih strategis. Juga sebaliknya, kalau presiden berkeinginan, parpol sulit menolak. [BCG]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.