Dewan Pers

Dark/Light Mode

Wacana Amandemen, Kelompok DPD Janji Dengerin Suara Rakyat

Selasa, 14 September 2021 15:41 WIB
Diskusi Publik Kelompok DPD di MPR soal UUD NRI Tahun 1945 di Tangerang, Banten, Jumat (10/9). (Foto: Ist)
Diskusi Publik Kelompok DPD di MPR soal UUD NRI Tahun 1945 di Tangerang, Banten, Jumat (10/9). (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Wacana amandemen UUD NRI Tahun 1945, juga menjadi perhatian Kelompok DPD di MPR. Untuk membahas rencana itu, mereka menggelar diskusi publik. Acara yang diselenggarakan di Tangerang, Banten, Jumat (10/9) tidak hanya dihadiri oleh anggota DPD namun juga para pakar di bidangnya.

Hadir dalam acara selepas Sholat Jumat itu, Ketua Kelompok DPD di MPR Tamsil Linrung, Sekretaris Kelompok DPD di MPR H. M. Syukur, Fahira Idris, Husain Alting Sjah, Abdul Rachman Thaha, Arniza Nilawati, serta beberapa anggota DPD lainnya yang hadir lewat daring.

Pakar yang hadir dalam kesempatan itu, adalah Refly Harun, Rizal Ramli, Rocky Gerung, G Seto Harianto, dan Natalius Pigai.

Tamsil Linrung mengungkapkan, wacana amandemen UUD berawal ketika MPR Periode 2014-2019 mengeluarkan tujuh rekomendasi. Tujuh rekomendasi itu disebutkan oleh mantan Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah, Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), Penataan Kewenangan MPR, Penataan Kewenangan DPD, Penataan Sistem Presidensial, Penataan Kekuasaan Kehakiman, Penataan Sistem Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Pancasila Sebagai Sumber Segala Hukum Negara, dan Pelaksanaan Pemasyarakatan Nilai-Nilai Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, dan Ketetapan MPR.

Berita Terkait : Kepala BPIP Ajak Kemenag Mempromosikan Moderasi Beragama

Saat ini, dikatakan Tamsil, wacana amandemen kuat terdengar di masyarakat terutama untuk masalah PPHN. Menurutnya ada dinamika dalam masalah PPHN, apakah landasan hukumnya tertuang dalam UUD atau lewat undang-undang atau Ketetapan MPR.

"Bila landasan hukumnya dituangkan dalam UUD maka perlu dilakukan amandemen," tuturnya.

Sebagai wakil rakyat dari daerah, Tamsil Linrung mendengar aspirasi dari rakyat. Saat bertemu dengan masyarakat, diakui mereka juga mengikuti perkembangan politik ketatanegaraan terutama soal rencana amandemen.

"Masyarakat mempertanyakan tentang wacana jabatan periode diperpanjang menjadi 3 periode atau pengunduran pemilu. Banyak pertanyaan muncul demikian di tengah masyarakat," tambahnya.

Berita Terkait : Bamsoet: Tudingan Amandemen Perpanjangan Jabatan Presiden Sangat Prematur

Mendengar pertanyaan seperti demikian, anggota DPD dari Sulawesi Selatan itu heran sebab wacana terkait masa jabatan presiden menjadi 3 periode, tak masuk dalam rekomendasi yang dikeluarkan atau ditetapkan oleh MPR Periode 2014-2019.

"Kita mendengar aspirasi masyarakat dan mereka mengatakan hal demikian jangan sampai terjadi," tegasnya.

Mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu mengakui amandemen bukan sesuatu yang tabu sebab sangat memungkinkan. Menurutnya lebih memungkinkan bila dalam amandemen, fungsi DPD diperkuat.

Dalam diskusi dengan bahasan mengenai Presiden Perseorangan, Presiden Threshold, dan Penataan Kewenangan DPD ini, alumni Universitas Negeri Makassar itu tidak hanya mendorong penguatan lembaganya namun juga mengkritik President Threshold.

Berita Terkait : Gandeng BNI, Traveloka Luncurkan Metode Pembayaran PayLater

Menjaring suara dari masyarakat, kata Tamsil Linrung mengatakan, President Threshold menyebabkan terbatasnya munculnya calon-calon yang lain. "Hanya di Indonesia ada pembatasan yang demikian," ungkapnya.

Disampaikannya, DPD mengganggap pembatasan itu tidak perlu. Tak hanya itu, lembaganya malah mendorong adanya calon perseorangan. Berdasarkan pengalaman yang ada, munculnya dia calon presiden membuat terjadinya pembelahan di masyarakat. "Bila calonnya banyak, dampak negatifnya lebih kecil," paparnya.

H.M Syukur menambahkan, dirinya sepakat dengan pendapat pakar yang hadir yang mengatakan bahwa yang penting saat ini adalah penguatan peran DPD dan penyelesaian masalah kesejahteraan masyarakat. Hal senada juga diakui oleh Arniza Nilawati. Menurutnya ada ketimpangan antara DPD dan DPR dalam soal legislasi. "Untuk itu, perlu penataan kewenangan DPD," ujarnya. [TIF]