Dark/Light Mode

Guru Besar UNJ Dan Ketua Prodi UGM Bongkar Sisi Gelap Sistem Pemilu Terbuka Di Depan Hakim MK

Jumat, 14 April 2023 16:00 WIB
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Hafid Abbas pada sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Rabu (12/04) di Ruang Sidang MK. ”(Foto: Humas MK/Ifa)
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Hafid Abbas pada sidang lanjutan uji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Rabu (12/04) di Ruang Sidang MK. ”(Foto: Humas MK/Ifa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Rabu (12/4) di Ruang Sidang Pleno MK. 

Dalam sidang tersebut, keterangan dua ahli yang dihadirkan Pemohon, Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Hafid Abbas, dan Ketua Program Studi Sarjana Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati, disampaikan.

Hafid Abbas menyampaikan bahwa sistem pelaksanaan Pemilu 2024 secara proporsional terbuka, seperti yang sudah berlangsung sebanyak empat kali sejak era reformasi, menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat. 

Banyak pihak yang mengagumi bahwa Indonesia telah berhasil melaksanakan pemilunya dengan baik dan telah menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, setelah India dan AS. Namun, banyak pihak yang menolak sistem terbuka dan berpandangan bahwa sistem proporsional tertutup lebih sesuai dengan cita-cita proklamasi dan amanat reformasi yang telah digulirkan sejak 1998.

"Sistem proporsional tertutup adalah pilihan yang lebih sesuai dengan cita-cita proklamasi dan amanat reformasi yang telah digulirkan sejak 1998,” kata Hafid Abbas di hadapan Hakim MK.

Menurut Hafid, pihak yang menolak sistem terbuka berpandangan bahwa dengan berlakunya Pasal 168 UU Pemilu secara langsung telah mereduksi kedudukan partai politik dari posisinya selaku kontestan pemilu. 

Hal ini jelas bertentangan dengan konsep kedaulatan rakyat yang diatur oleh Pasal 1 ayat (2), (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2), (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 

Baca juga : Ganjar Siapkan Rest Area Sementara Di Jalur Non-Tol

Dengan pemilu secara proporsional terbuka, kelembagaan partai politik teramputasi karena meski ia peserta pemilu legislatif, namun yang muncul dominan adalah figur orang per orang. 

Akibatnya, partai politik tidak lagi dipandu oleh visi idealisme, kebangsaan, ideologi, kaderisasi, dedikasi, dan kompetensi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat.

Sistem pemilu terbuka, menurut Hafid, juga berdampak pada masalah korupsi. Saat ini, pemilu terbuka berbiaya mahal sehingga banyak orang yang memiliki kepentingan tertentu dapat membeli suara. 

Dalam hal ini, Mada Sukmajati menambahkan bahwa sistem pemilu terbuka cenderung tidak transparan dan demokratis, sehingga mendorong terjadinya politik uang.

"Ketika terpilih akan menggunakan kekuasaannya untuk mengembalikan modal,” lanjutnya.

Pasalnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk memenangkan kontestasi calon anggota DPR saja bisa menghabiskan Rp 6 miliar. Sementara biaya yang harus dikeluarkan agar terpilih menjadi Kepala Daerah berkisar Rp 20-100 miliar atau rata-rata Rp 60 miliar. 

Dengan biaya politik sebesar itu, orang yang berduit lebih mudah untuk memperoleh kursi di legislatif atau di eksekutif di pusat dan daerah. Sementara itu, gaji pejabat Indonesia 2019-2024, mulai dari Bupati hingga Presiden, sangat rendah. 

Baca juga : Putusan Banding Tunda Pemilu, Pekan Depan Nih

Sebagai contoh, seorang Bupati dengan gaji pokok dan tunjangan resminya sebesar Rp 5,88 juta sebulan. Sehingga butuh 170-171 tahun untuk mengembalikan modalnya.

Hafid mengatakan, pemilu berbiaya mahal  ini punya sisi gelap tersendiri. Diantaranya, para wakil rakyat atau pejabat yang dipilih dengan sistem terbuka (elit politik) tidak akan mengabdi untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat, karena mereka sudah tersandera oleh beban untuk mengembalikan biaya politiknya. 

Hal ini mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan dengan merangkul korporasi untuk memberinya hak penguasaan lahan, tambang, dan sumber daya alam setempat, serta kebijakan lainnya yang merugikan rakyat.

Ahli lain, yakni Mada Sukmajati menjelaskan bahwa pilihan pada sebuah sistem pemilu sangat bergantung pada konteks yang melingkupi sebuah negara. Ada beberapa negara yang karena konteks konflik sosialnya tinggi kemudian memilih sistem pemilu tertentu agar pemilu tidak memperparah konflik sosial yang ada. 

Ada juga beberapa negara yang mengganti sistem pemilu untuk mencapai tujuan yang berbeda dari sebelumnya.
Menurut Mada, desain sistem pemilu proporsional daftar tertutup adalah sistem yang lebih sesuai untuk mencapai tujuan tertentu. 

Jenis sistem proporsional daftar tertutup merupakan jenis sistem pemilu representasi proporsional yang paling banyak digunakan oleh negara-negara di dunia. Sistem ini mendorong penyederhanaan sistem kepartaian karena fokus pemilih tidak lagi kepada kandidat, namun kepada partai politik. Hal ini lebih baik jika dibarengi dengan angka ambang batas parlemen yang tinggi.

Sistem proporsional daftar tertutup adalah jenis sistem pemilihan umum representasi proporsional yang banyak digunakan oleh negara-negara di seluruh dunia. Sistem ini lebih memfokuskan pada partai politik ketimbang kandidat, sehingga dapat mendorong penyederhanaan sistem partai politik. 

Baca juga : Yang Penting Pemilu Digelar Fair Dan Gembira

Hal ini terjadi terutama jika ditambah dengan ambang batas parlemen yang tinggi. Sistem ini lebih tepat jika digunakan untuk membentuk koalisi antar partai politik yang bersifat ideologis atau programatik. 

Berbeda dengan sistem proporsional daftar terbuka yang cenderung memunculkan fenomena personal vote dari para pemilih, yang berfokus pada individu calon dan bukan pada lembaga partai politik.

Pada tanggal 23 November 2022, terdapat sebuah permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Mereka menyatakan bahwa beberapa pasal dalam UU Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945. Para pemohon menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut telah menyebabkan munculnya caleg pragmatis yang hanya bermodal popularitas dan tidak memiliki ikatan ideologis atau struktur partai politik, dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. 

Hal ini menyebabkan para caleg tersebut terpilih sebagai anggota DPR/DPRD dan lebih mewakili diri sendiri ketimbang organisasi partai politik. Para pemohon meminta adanya otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai. Para pemohon juga menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut telah menimbulkan individualisme para politisi dan konflik internal di dalam partai politik yang bersangkutan. 

Para pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut dibatalkan untuk mengurangi praktik politik uang dan membuat pemilihan umum lebih bersih, jujur, dan adil.

Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.