Dark/Light Mode

Penyelenggaraan Pemilu 2024 Kudu Mencerminkan Nilai Demokrasi

Senin, 23 Oktober 2023 15:22 WIB
Pengamat Hukum Agus Widjajanto (kanan)/Ist
Pengamat Hukum Agus Widjajanto (kanan)/Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Demokrasi yang dianut oleh negara kita adalah Demokrasi Pancasila. Sistem demokrasi yang dilaksanakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat bagi kesejahteraan rakyat itu perlu menjadi perhatian semua pihak menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Di Pemilu 2024, selain Pemilihan Presiden, Pemilihan Anggota Legislatif dan Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah pada 14 Februari 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga akan menggelar Pemilukada Serentak pada 27 November 2024.

Pemilukada diikuti 548 daerah dengan rincian 38 provinsi, 415 kabupaten dan 98 kotamadya. Patut direnungkan bersama, apakah demokrasi yang berjalan di Indonesia telah sesuai dengan relnya, yaitu Demokrasi Pancasila.

Perlu diketahui, penyelenggaraan Pemilu merupakan prasyarat bagi negara yang menggunakan sistem demokrasi.

"Pemilu diselenggarakan untuk mewujudkan tujuan demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut, penyelenggaraan Pemilu harus mencerminkan nilai-nilai demokrasi," ujar Pengamat Hukum dan Pemerhati Polsosbud Agus Widjajanto dalam keterangannya, Senin (23/10/2023). 

"Sistem demokrasi perwakilan bertujuan agar kepentingan dan kehendak warga negara dapat menjadi bahan pembuatan keputusan melalui orang-orang yang mewakili mereka," ujarnya. 

Menurutnya, Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme Pemilu langsung yang merupakan bentuk kedaulatan rakyat dalam untuk memilih penyelenggara negara dan pemerintahan berdasarkan kontitusi yaitu UUD 1945. Sebagai Negara Demokrasi Yang berazaskan Pancasila, maka pelaksanaannya juga harus sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Baca juga : Jelang Pemilu 2024, KSP Suarakan Penegakkan HAM Dalam Kontestasi Politik

Meminjam istilah dari Plato, negara haruslah berdasarkan hukum dan keadilan. Peraturan dibuat rakyat dan gagasan yang timbul, saat jaman Yunani kuno, Plato melihat keadaan negaranya yang dipimpin oleh pemimpin otoriter. 

Sedangkan Aristoteles merumuskan negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. 

"Negara hukum dan demokrasi sangat erat hubungannya, negara tanpa peraturan hukum yang adil mustahil mencapai demokrasi. Supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada hakekatnya berasal dari kedaulatan rakyat yang diberikan kepada wakilnya dalam hal ini penguasa dan DPR," urai Agus. 

Berlaku demikian karena terdapat korelasi yang jelas antara hukum yang bertumpu pada kontitusi dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Karena itu pula, muncul istilah demokrasi konstitusional. 

"Yang jadi pertanyaan kita, mengapa dalam negara demokrasi di dalam negara berkembang kerap muncul kekuasaan yang ditopang oleh oligarki, dalam sistem demokrasi,” kata dia. 

Pria asal Kudus Jawa Tengah itu lantas mengutip catatan Prof. Suteki dalam buku Hukum dan masyarakat mengenai beberapa faktor yang mendorong munculnya oligarki.

Pertama, keberadaan figur utama dalam elite partai yang menjadi penentu dalam banyak keputusan yang merupakan representasi dari ideologis dan historis dari pembentukan partai itu sendiri. 

Baca juga : Pengacara Palsu Menang 26 Kasus

Kedua, adanya ketergantungan finansial pada sumber sumber keuangan Partai yang kerap dimiliki oleh elite partai. Colin Crouch (2004) menggunakan istilah 'Firma politik'. 

Ketiga, karena pelembagaan partai yang belum sempurna. Kondisi sistem yang dibangun partai masih merujuk pada elite partai.  

Selanjutnya, AD/ART partai yang masih menjunjung tinggi elite partai. Terakhir, faktor eksternal yang turut mempengaruhi partai  masih memberikan celah untuk membangun oligarki dalam dirinya. Baik pada kaderisasi maupun pengelolaan keuangan masih yang dijalankan secara sentralistik . 

Agus menurutkan, Jeffrey A Winters dalam bukunya bertajuk oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. 

Pertama, oligarki yang dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas hingga mampu menguasai simpul-simpul kekuasaan. Kedua, oligarki yang beroperasi pada kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik . 

Menurutnya, jika menilik pendapat Jeffri A Winters, seharusnya suara rakyat tidak hanya dibutuhkan dan diakui hanya untuk 5 tahunan saat pemilu. 

“Setelah itu, suara rakyat yang pada esensinya adalah Suara Tuhan, tidak lagi dianggap. Ini harus dihindari, para elite partai dan para stakeholder pengambil kebijakan harus benar-benar mendengar aspirasi rakyat," jelasnya. 

Baca juga : Pentolan Musra Beda Pilihan Capres, Andi Gani: Inilah Demokrasi

Agus mengkhawatirkan dampak sebagaimana pernah ditegaskan Jeffry A Winters, yakni timbulnya rasa apatis disebagian besar kalangan masyarakat terhadap proses demokrasi dan politik itu sendiri. Jika itu terjadi, tidak ada lagi negara demokrasi dan dengannya pula esensi negara hukum menjadi tidak jelas. 

Agus mengatakan, sistem yang ditimbulkan oleh pengaruh kekuasaan oligarki bisa menimbulkan dampak serius, kolapsnya negara hukum, serta prinsip-prinsip demokrasi akan mati. 

“Apa yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila juga hanya tinggal slogan tertulis. Ruhnya demokrasi dan negara hukum sesuai kontitusi telah tiada lagi," bebernya. 

Sebab itu, Agus berpesan agar semua pihak yang mengikuti kontestasi dalam Pemilu 2024 senantiasa menjunjung tinggi bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei) bagi Kedaulatan dan keadilan bersama.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.