Dark/Light Mode

RM.id Rakyat Merdeka - Spanduk ini biasanya muncul menjelang pemilu. Bunyinya, “warga kami masih terbuka menerima serangan fajar”. Dalam politik, semua sudah tahu apa arti “serangan fajar” tersebut.
Spanduk itu menggambarkan keterbukaan. Jujur. Terus terang. Itulah kenyataan dalam beberapa pemilu terakhir. Orang menyebutnya politik “wani piro” atau berani (bayar) berapa. Ada juga yang memberi label politik transaksional.
Berita Terkait : 9 Bulan Yang Menentukan
Bulan lalu, kita juga disuguhi sebuah ancaman yang viral yang dilontarkan kepala desa yang berdemo di depan gedung DPR.
Parpol yang tidak mendukung perpan jangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun “akan dihabisi di desa pada Pemilu 2024”, begitu ancaman yang dilontarkan beberapa kepala desa.
Berita Terkait : Ironi Yang Telanjur Biasa
Apakah para politisi Senayan akan “membayar lunas” permintaan tersebut karena khawatir parpolnya akan digembosi di desa? Menarik ditunggu.
Dalam beberapa pemilu terakhir, politik transaksional “wani piro” terasa kian mengkhawatirkan. Pelaku dan jenis transaksinya juga berkembang, walau ada yang menyebutnya sebagai “cost politics” bukan “money politics”.
Selanjutnya