Dark/Light Mode

Soeprapto dan Huruf yang Hilang

Minggu, 30 Agustus 2020 05:01 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Kalau Polri punya Hoegeng Iman Santosa, Kejaksaan punya Soeprapto. Keduanya tokoh legendaris. Teladan, panutan kedua lembaga penegak hukum tersebut. Kalau masih hidup, mereka mungkin akan menangis melihat citra lembaganya yang saat ini jatuh terpuruk.

Jaksa Soeprapto menjabat Jaksa Agung pada 1950-1959. Lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 1897, dia mendapatkan pendidikan yang baik karena ayahnya menjabat kontroler pajak dan asisten residen di Trenggalek.

Meski ada kesempatan mengambil Mr. (Meester in de rechten, sarjana hukum) di Belanda, dia memilih langsung bekerja. Dia menjadi staf Ketua Pengadilan Negeri Tulungagung, Jatim. Gajinya 100 gulden per bulan.

Ketika menjadi Jaksa Agung, Soeprapto melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Dia menginginkan kejaksaan yang independen. Tak bisa diintervensi. Kira-kira sama seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelum UU-nya direvisi. Dia ingin seperti itu.

Baca juga : Pencapresan Bukan Ajang Cari Perhatian

Lebih dari 30 kasus yang melibatkan pejabat tinggi, serta kasus pengusaha besar yang berkolusi dengan pejabat, dia ungkap. Karena itu, Soeprapto disegani. Juga dimusuhi para politisi. Tahun 2004, terbit bukunya yang berjudul “Mengadili Menteri Memeriksa Perwira”. Dia memang mengirim Menteri Kehakiman ke penjara. Kasusnya, korupsi.

Dia juga menjadi salah satu yang setuju hukuman mati. Dia pernah menghukum mati seorang “Robin Hood” dari Talang, Tegal. Namanya Syakhyani. Panggilannya Kutil. Dia mengincar dan merampas rumah orang Belanda dan orang kaya.

Ketika ada pembunuhan, Kutil mengakui perbuatannya. Rakyat yang mencintai Kutil, membelanya habis-habisan. Namun Soeprapto yang saat itu menjadi hakim, tetap memberikan vonis hukuman mati. Itulah hukuman mati pertama di Indonesia setelah kemerdekaan. Kejadiannya tahun 1946.

Saat menjabat Jaksa Agung, Soeprapto banyak menerima godaan. Para pengusaha yang tak mampu menggoda Soeprapto, kemudian mendekati anaknya.

Baca juga : Trakindo Perkenalkan Produk Forklift Unggulan

Suatu saat, di depan rumahnya, putrinya, dihadiahi dua gelang emas. Pemberinya orang Pakistan. Mengetahui pemberian itu, Soeprapto marah. Dia minta putrinya mengembalikan gelang besar itu.

Putranya, juga “diincar” untuk mendekati Soeprapto. Seorang pengusaha Tionghoa juga menggunakan perhiasan: cincin bermata batu giok. Soeprapto tahu pemberian itu. Dia marah. Cincin itu kemudian dikembalikan.

Soeprapto wafat pada 2 Desember 1964. Usianya 67. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Untuk menghormati Soeprapto, di depan kantor Kejaksaan Agung, didirikanlah patungnya. Sampai sekarang, namanya diagung-agungkan.

Kebakaran hebat kantor Kejaksaan Agung pekan lalu, membuat patungnya dipenuhi jelaga. Kusam. Kalau bisa menangis, dia mungkin menangis.

Baca juga : Idealnya, Aparat Penegak Hukum Korup Ditangani KPK

Walau kusam, patung itu tetap kokoh, membelakangi gedung yang luluh lantak itu. Membelakangi Gedung yang sekarang di dinding utamanya hanya bertuliskan “KEJAKSAA…”. Huruf N dan AGUNG nya rontok, dilalap amarah api yang mengamuk di malam bulan Agustus.(*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.