Dark/Light Mode

Selandia Baru

Kamis, 28 Maret 2019 04:40 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Dua orang kawan saya, perempuan, menikah dengan orang Selandia Baru. Pertama kakaknya. Delapan tahun kemudian, adiknya menyusul menjadi istri orang Selandia Baru.

Sikap simpatik orang Selandia Baru menjadi alasan penting kenapa mereka memilih orang Selandia. Mereka sekarang tinggal di Selandia Baru. Dua kakak beradik ini, selalu menceritakan sisi-sisi terbaik kehidupan sosial di Selandia Baru.

Mulai dari budaya tolong menolongnya, ketertibannya, saling menghormatinya, bersihnya, ketaatannya di jalan raya serta irama hidupnya yang tenang. Aman. Nyaman. Pokoknya yang baik-baik.

Baca juga : Jokdri Tak Sampai Final

Ketika Selandia Baru diguncang aksi terorisme 15 Maret lalu, dunia kaget.Namun, yang tak kalah hebatnya, reaksi pemerintah dan warga Selandia Baru menyikapi aksi teroris yang menyasar umat yang sedang sholat Jumat itu.

Dzikir dan adzan berkumandang dimana-mana. Orang Islam, yang menjadi korban teroris benar-benar dianggap sebagai warga Selandia Baru. Tak ada perbedaan. Sama. Setara. Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern mengunjungi mesjid.

Dia mengenakan kerudung, menunjukkan rasa empati, mengucapkan salam, bahkan mengutip hadis. Selandia Baru benar benar bersatu. Menunjukkan wajah humanisnya kepada dunia. Apa ini kebetulan?

Baca juga : Jendela Pecah, MRT Dan 3 M

Tidak. Selandia Baru membangunnya sudah lama. Sembilan tahun lalu, 2010, dalam sebuah studi, Selandia Baru bahkan pernah dinobatkan sebagai negara paling islami di dunia. Indeks ini berdasarkan hasil studi sosial bertema “How Islamic are Islamic Countries” oleh Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University.

Penelitian ini mengajukan pertanyaan utama: Bagaimana masyarakat menjalankan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan bernegara dan kehidupan sosial mereka.

“Jika sebuah negara dan masyarakatnya menunjukkan karakteristik seperti korup, represif, pemimpinnya tidak adil, ketidaksamaan di depan hukum, kesenjangan kesempatan untuk mengembangkan diri, tidak ada kebebasan memilih, pameran kemewahan di tengah kemiskinan, mengutamakan kekerasan dibanding dialog.

Baca juga : Bukan Hanya MRT

Dan, di atas semua itu, ada ketidakadilan, itu menjadi bukti bahwa masyarakat tersebut tidak Islami,” kata Askari.

Tidak sedikit yang mengkritisi penelitian ini. Tapi tak ada salahnya kalau indeks ini menjadi cermin buat kita. Jadi alat introspeksi untuk meningkatkan kesalehan sosial.

Ketika menulis ini, tiba-tiba saya mengingat dua kawan saya yang menikahi orang Selandia Baru itu. Sudah cukup lama mereka tidak pulang ke Indonesia. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :