BREAKING NEWS
 

Cukup Muncul Di Pemilihan Gubernur DKI 2017 Saja

Waspada, Politik Identitas Masih Jadi Hantu Pilkada

Reporter & Editor :
APRIANTO
Senin, 15 Februari 2021 06:00 WIB
Ketua Bawaslu Abhan. (Foto: Humas Bawaslu)

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pusat, Abhan, mewanti-wanti munculnya politik identitas di gelaran Pemilhan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilu di tahun mendatang. Diharapkan, politik indentitas ini cukup muncul di Pilkada DKI 2017 saja.

Menurutnya, potensi besaryang masih harus diantisipasi dalam gelaran Pemilu dan Pilkada di masa depan adalah lahirnya kembali politik identitas antar peserta. Politik indentitas ini masih menghantui Pilkada. Permainan kotor itu bisa menyeret masyarakat ke jurang konflik.

“Cukup 2017 saja. Saat itu politik identitas ini menggelora jelang Pilkada DKI Jakarta,” ujar Abhan dalam keterangannya.

Baca juga : Prof Denny Yakin Menang

Menurut Abhan, kasus-kasus pelanggaran politik identitas kini perlu dipetakan polanyadan di­carikan solusinya. Pasalnya, politik identitas di Indonesia sering didasarkan pada kepercayaan terhadap orang atau kelompok, berlandaskan kesamaan suku atau agama. Contoh paling nyata adalah ujaran kebencian yang bersifat SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). “Ini jadi alat menjegal lawan politiknya,” ujarnya.

Pria asal Jawa Tengah (Jateng) ini mengklaim, mengantisipasi politik identitas, Bawaslu memiliki peran sentral. Salah satu caranya, dengan melakukan pendekatan struktural terhadap tokoh-tokoh agama, khususnya yang dianggap berpengaruh pada proses Pilkada dan Pemilu. Lalu, membangun komunikasi dan koordinasi secara intensif dengan kelompok lintas agama dan stakeholders.

Adsense

Bawaslu juga pernah menerbitkan buku mengenai Pemilu tanpa politisasi SARA dan politik uang. “Ini menurut saya merupakan terobosan luar biasa,”tandasnya.

Baca juga : Warga DKI Kudu Tetap Waspadai Potensi Banjir

Sementara Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Amiruddin Al-Rahab menambahkan, pelaku politik identitas kerap menjadi akar masalah munculnya persoalan-persoalan rasialisme di Indonesia. Akibatnya, seseorang atau kelompok yang mera­sa hidupdalam satu identitas biasanya kerap menunjukkan supremasi atau lebih unggul dibanding kelompok lain.

Padahal, lanjut dia, tak ada identitas tunggal. Bahkan, setiap orang, menurut Amir, bisa memiliki lebih dari satu identitas. Baik berbeda dalam etnis, ras, suku, maupun agama.

Amiruddin mengakui, pihaknya mencatat peningkatan kasus rasisme juga terjadi di Pilkada. Salah satunya, pada 2017, saat gelaran Pilkada DKI Jakarta.

Baca juga : Jangan Ada Pelibatan Anak dalam Politik Praktis di Pilkada 2020

Survei Komnas HAM selama 2011-2018 mencatat, ada 101 kasus rasialisme yang terjadi di Indonesia. Dalam kurun waktu itu, kasus rasisme paling banyak terjadi pada 2016 dengan 38 kasus, didominasi kasus di DKI Jakarta dengan 34 kasus.

“Ini penting kita pahami. Agar kita memiliki ruang untuk memahami dan menerima perbedaan,” tandasnya. [SSL]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :

Berita Lainnya
 

TERPOPULER

Adsense