Dark/Light Mode

Ketut Redita, Mahasiswa Universitas Prasetiya Mulya

Penuhi Target Net Zero Emission, Perlu Kebijakan Didukung Komitmen Politik Dan Institusi Keuangan

Jumat, 30 Desember 2022 21:57 WIB
(Foto: Istimewa/Antara)
(Foto: Istimewa/Antara)

Perubahan iklim mempengaruhi kehidupan di bumi. Dampak negatif dari perubahan iklim mulai dirasakan oleh masyarakat. Contohnya petani di Gunung Slamet, Jawa Tengah gagal melakukan panen sayur karena kenaikan suhu (Fajar, 2016).

Sedangkan petani cabai di Riau dan petani kopi di Bengkulu gagal panen karena terendam banjir akibat intensitas hujan yang terlalu tinggi (SPI, 2017). Hal ini menunjukan iklim mempengaruhi produksi pangan (Julismin, 2013). 

Selain itu, nelayan di Surabaya menyatakan bahwa kondisi cuaca yang tidak menentu membuat tangkapan ikannya berkurang (Riski, 2017).

Fenomena cuaca yang tidak menentu ini akibat perubahan iklim yang mulai dirasakan oleh masyarakat Indonesia bahkan juga dunia. Lebih lanjut perubahan iklim dan polusi udara juga mempengaruhi kesehatan anak dan perempuan hamil. 

Perubahan iklim ekstrem dan polusi udara akan menyebabkan berbagai dampak negatif terhadap kesehatan janin, bayi, dan anak seperti penyakit alergi, kardiovaskular, dermatologist, gangguan kekebalan, infeksi, malnutrisi dan stunting, kesehatan mental, penyakit metabolik dan ginjal, gangguan perkembangan saraf, penyakit pernafasan, dan trauma (Perera & Nadeau, 2022). 

Perubahan iklim dan polusi udara disebabkan oleh emisi gas rumah kaca seperti gas karbon dioksida yang merupakan penghasil emisi tertinggi. Indonesia sedang mengalami masalah perubahan iklim dan polusi udara yang serius mengingat terjadi peningkatan pada emisi gas rumah kaca dan emisi karbon (CO2). 

Berikut ini adalah grafik yang memperlihatkan perkembangan emisi gas rumah dan emisi karbon di Indonesia. 



Pada kedua grafik di atas terlihat bahwa baik emisi gas rumah kaca dan emisi karbon di Indonesia meningkat dari waktu ke waktu. Tahun 2019 emisi gas rumah kaca di Indonesia tembus menjadi 1.002.370 kilotons CO2 equivalent.

Sebagai unsur utama penyumbang emisi gas rumah kaca, emisi karbon di tahun 2019 meningkat menjadi 619.840,03 kilotons. Intensitas karbon di Indonesia juga masih tinggi yaitu 623 GCO2eq/KWh tahun 2021 (Ember Climate, 2022). 

Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu memetakan sektor yang menyumbang emisi gas rumah kaca terbanyak. Berdasarkan sumbernya, sektor energi menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca tertinggi mencapai 638,8 juta ton CO2 equivalent pada tahun 2019 menurut Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK), dan Monitoring, Pelaporan, dan Verifikasi (MPV) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kondisi ini tidak lepas dari penggunaan batu bara yang masih tinggi. Indonesia menempati urutan keempat dari negara anggota G20 sebagai negara pengguna batu bara sebagai penghasil listrik dimana batubara menyumbang 61,5 persen sebagai sumber listrik di Indonesia tahun 2021 (Ember Climate, 2022).

Sebagai negara yang memiliki komitmen untuk mengurangi emisi karbon untuk mencapai net zero emission dan mempertimbangkan dampak yang serius bagi kehidupan yang ditimbulkan dari emisi karbon maka pemerintah perlu mengambil langkah yang agresif untuk mencapai target net zero emission.

Terlebih menurut hasil simulasi yang dilakukan van Soest et al. (2021) untuk negara-negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia menemukan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang mencapai net zero emission lebih lambat dari rata-rata global. 

Maka dari itu, penulis melalui esai ini memberikan pemikiran teoritis mengenai kebijakan yang perlu diambil oleh Pemerintah Indonesia yang disertai dengan komitmen politik dan dukungan green financing dari institusi keuangan untuk mencapai target net zero emission. 

1. Metodologi

Dalam penyusunan esai ini, studi literatur diterapkan oleh penulis untuk mengumpulkan informasi dari jurnal penelitian, media berita online, dan situs resmi pemerintah dan lembaga pemerhati krisis iklim serta dari sumber lainnya yang relevan dengan isu perubahan iklim dan emisi karbon. 

Setelah mengumpulkan informasi, penulis kemudian menyusun gagasan teoritis dari penelitian terdahulu terkait kebijakan yang perlu diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon melalui transisi penggunaan energi yang bersih atau energi terbarukan. 

Tentunya kebijakan ini memerlukan komitmen politik dan dukungan institusi keuangan melalui green financing agar target net zero emission bisa cepat tercapai. Adapun kerangka teoritis yang digunakan penulis adalah sebagai berikut. 

Penggunaan energi berbahan bakar fosil seperti batubara masih tinggi di Indonesia yang pada tahun 2021 mencapai 61.5 persen untuk produksi listrik. Padahal penyumbang emisi karbon terbanyak adalah dari sektor energi yang masih bersumber dari bahan bakar fosil. 

Sesuai dengan penelitian Hartono et al. (2020) yang membandingkan dampak investasi energi fosil dan energi terbarukan di Indonesia menemukan bahwa emisi yang dihasilkan batu bara 10 kali lipat dari energi baru dan terbarukan. Maka dari itu, diperlukan pengelolaan transisi penggunaan batu bara (Claeys et al., 2019). 

Pemerintah Indonesia hendaknya membuat kebijakan untuk mengurangi bahan bakar fosil, meningkatkan teknologi ramah lingkungan dan meningkatkan penggunaan energi terbarukan (Husada & Joesoef, 2022).

 Kebijakan ini diperlukan untuk mencapai target net zero emission. Terlebih Pemerintah menaikan target pengurangan emisi karbon di tahun 2030 menjadi 32 persen atau 912 juta ton CO2 yang sebelumnya menargetkan pengurangan emisi karbon sebesar 29 persen atau 835 juta ton CO2 (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2022).

Salah satu strategi penting Pemerintah adalah berkomitmen mengurangi penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Komitmen yang disampaikan ini harus direalisasikan jangan sampai hanya jadi pembicaraan semata tapi tidak pernah dieksekusi.

 Penulis akan memberikan gambaran kebijakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk mempercepat transisi energi ke energi terbarukan. Dan mendeskripsikan pentingnya komitmen politik dan dukungan green financing untuk mencapai target pengurangan emisi karbon dan net zero emission. 

3.1 Kebijakan Transisi Energi ke Energi Terbarukan

Pemerintah Indonesia berjanji akan mengurangi emisi karbon. Terlepas dari kebijakan yang telah dibuat, penulis menyarankan agar Pemerintah Indonesia dalam mendorong percepatan transisi energi maka diperlukan aturan yang menguntungkan bagi perusahaan yang mengembankan teknologi hijau energi terbarukan. 

Kebijakan yang berpihak pada perusahaan pengembang energi terbarukan seperti insentif pajak, subsidi dari negara, pembebasan bea masuk atas impor peralatan pengembangan energi terbarukan, dan pembebasan biaya sewa lahan untuk di awal pengembangan.

 Kebijakan insentif pajak misalnya pajak perusahaan/badan dikurangi 45 persen sampai tahun kesepuluh kemudian mulai tahun ke sebelas dikurangi 10 persen. Begitu juga dengan kebijakan subsidi akan mulai dikurangi setelah 10 tahun beroperasi. Pengenaan bea masuk dan sewa lahan misalnya diperlakukan lagi setelah tahun ke sepuluh.

Skema seperti ini akan mendorong banyak investor yang mau berinvestasi dalam proyek pengembangan energi terbarukan di Indonesia. 

Di sisi lain, Pemerintah Indonesia perlu mengenakan pajak yang lebih tinggi dan mengurangi subsidi kepada perusahaan yang bergerak di industri energi fosil. Karena tersedianya energi alternatif maka diharapkan perusahaan yang bergerak di sektor energi yang memanfaatkan bahan bakar fosil mulai beralih ke energi terbarukan. 

Powered by Froala Editor

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.