Dark/Light Mode

Ekonomi Bergerak, Konsumsi Di Daerah Meningkat

Belanja Lebaran Picu Keperkasaan Rupiah

Minggu, 2 Juni 2019 04:54 WIB
Teller BNI merapikan lembaran mata uang rupiah dan dolar Amerika di Jakarta, Rabu (15/4). (Antara foto)
Teller BNI merapikan lembaran mata uang rupiah dan dolar Amerika di Jakarta, Rabu (15/4). (Antara foto)

RM.id  Rakyat Merdeka - Nilai tukar rupiah mampu menunjukkan keperkasaannya meski ekonomi dunia masih bergejolak. Kegiatan belanja Ramadan dan Lebaran turut memperkuat mata uang Garuda.

Pekan lalu, pada kurs tengah BI Jakarta (Jisdor BI) rupiah menguat 32 poin atau 0,22 persen ke posisi 14.385 per dolar AS dari penutupan Jumat (29/5) di posisi 14.417 per dolar AS.

Direktur Riset Center of Re­form on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan, walaupun pelaku pasar masih dibayangi persoalan global, setidaknya mereka meyakini ekonomi dalam negeri tetap berjalan.

“Penguatan tidak terjadi pada rupiah. Sejak awal pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turut menguat. IHSG tercatat mengakhiri perdagangan kemarin di level 6.098,97 atau menguat 0,69 persen,” jelasnya kepada Rakyat Merdeka.

Penurunan IHSG dari minggu sebelumnya, telah membuka kesempatan pasar untuk masuk mengoleksi saham-saham yang sudah terlalu murah. Hal ini berdampak pada naiknya IHSG dan rupiah menguat.

Selain itu, katanya, dari da­lam negeri ada dorongan libur Lebaran yang cukup memberikan dampak positif pada kon­sumsi rumah tangga. Inilah yang kemudian menjadi bahan bakar pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, banyak masyarakat membawa uang tunai untuk dibagi-bagikan kepada sanak keluarga yang ada di daerah.

Baca juga : Jokowi: Ekonomi Negara Tak Bisa Diukur Dari Keluhan Perorangan

“Benar, proses ini membuat ekonomi di daerah ikut bergerak. Konsumsi atau belanja uang di daerah menjadi terdongkrak. Tak hanya tempat pariwisata, juga konsumsi tinggi di pusat-pusat perbelanjaan,” ujarnya.

Piter memproyeksikan ru­piah akan berada di kisaran Rp 14.300 - Rp 14.400 per dolar AS.

Senada, ekonom PT Samuel Aset Manajemen Lana Soelis­tianingsih mengatakan, pengua­tan rupiah seiring melambatnya ekonomi Amerika Serikat (AS) pada kuartal I-2019, yang tercatat 3,1 persen dibanding periode sama tahun lalu 4,2 persen.

“Kemungkinan ekonomi Amerika akan melambat pada triwulan berikutnya, seiring meningkatnya tensi perang da­gang antara Amerika dengan China dimulai sejak awal April lalu,” tutur Lana kepada Rakyat Merdeka.

Dari sentimen internal, fenomena mudik juga diperkirakan Lana mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Diketahui, jumlah pemudik 2019 secara nasional tercatat 23 juta orang diband­ingkan 2017 sebesar 20 juta dan 2018 sebesar 21,6 juta.

“Ritual mudik menjadi momentum terbaik pertumbuhan ekonomi daerah. Sepertinya rupiah akan menguat di kisaran 14.390 per dolar AS hingga 14.410 per dolar AS,” katanya.

Baca juga : Jokowi: Ekonomi Indonesia Meningkat Di Tengah Perlambatan Ekonomi Global

Peringkat Naik

Tak hanya faktor itu saja, kenaikan peringkat utang Indo­nesia dari lembaga pemering­kat internasional Standard and Poor’s (S&P) Global Ratings menjadi BBB dari sebelumnya BBB-, juga disebut-sebut mendongkrak rupiah.

Pada Jumat (31/5), lembaga pemeringkat (rating agency) yang terkenal konservatif itu menaikkan peringkat surat utang pemerintah Indonesia dari BBB-menjadi BBB. Ini menjadi kali pertama Indonesia diganjar peringkat BBB sejak 1995.

“Kami menaikkan peringkat utang sebagai cerminan kuatnya prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia, dan kebijakan yang mendukungnya seiring perkiraan kembali terpilihnya Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pering­kat utang Indonesia akan terus didukung oleh utang pemerintah yang relatif rendah,” sebut keerangan tertulis S&P.

Menurutnya, Indonesia me­mang layak mendapatkan hadiah kenaikan rating. Dalam 10 tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia 4,1 persen. Jauh di atas negara-negara den­gan peringkat utang yang sama, yaitu 2,2 persen.

Institusi politik dan ekonomi Indonesia secara umum dinilai stabil dan relatif tidak ada yang meragukan legitimasinya.

Baca juga : Messi Disarankan Pindah Ke Seri A

“Kami memperkirakan momentum reformasi tetap akan berjalan ketika pemerintahan sudah terbentuk. Sepanjang pe­merintahan Jokowi, S&P juga memperkirakan defisit anggaran negara stabil rendah di kisaran 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Karena itu, beban utang relatif minim,” katanya.

S&P memperkirakan rasio utang pemerintah akan bertahan di bawah 30 persen dari PDB. Dengan beban utang yang ren­dah, liabilitas pemerintah juga terbatas. Keputusan S&P ini membuat rupiah yang awalnya tenang menjadi terdongkrak.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, Indonesia menyambut baik ha­sil asesmen S&P yang positif. Indonesia kini memperoleh status Investment Grade dengan level yang sama dari ketiga lem­baga rating utama, yaitu S&P, Moody’s dan Fitch. [DWI]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.