Dark/Light Mode

OJK Kasih Batas Waktu Ajukan Izin Hingga 15 Desember

Malas Daftar, Fintech Dibatasi Akses Ke Bank

Sabtu, 3 November 2018 08:29 WIB
Ilustrasi Fintech (Foto: crackitt.com)
Ilustrasi Fintech (Foto: crackitt.com)

RM.id  Rakyat Merdeka - Kesadaran para pelaku financial technology (fintech) mengajukan pencatatan usaha ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih minim. Wasit perbankan baru menerima pengajuan pendaftaran 21 perusahaan fintech. Sayangnya, 15 dari 21 perusahaan tersebut belum melengkapi dokumen, sehingga harus dikembalikan. Menurut Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida, salah satu syarat yang belum dipenuhi 15 perusahaan tersebut adalah surat tanda terdaftar dari asosiasi. Saat ini, mereka mengaku tengah mengurus proses pendaftaran di asosiasi.

“Kalau belum lengkap, nanti dikembalikan dan harus dilengkapi. Karena memang ada beberapa syarat pencatatan yang harus dipenuhi, sesuai Peraturan OJK (POJK) Nomor 13 terkait inovasi keuangan digital,” kata Nurhaida. Diakui OJK, beleid yang terbilang anyar itu membuat pemahaman dari start-up untuk melaporkan diri masih minim. Padahal, jumlah startup fintech banyak sekali. “Karena itu, aturan tersebut harus segera disosialisasikan,” imbuhnya.

Nurhaida menegaskan, betapa pentingnya perusahaan pemula mengikuti regulasi yang ada. Sebab, OJK ingin bisnis digital bisa tumbuh secara berkelanjutan,  dan bukan bermaksud untuk mengekang. Regulasi dibutuhkan untuk mengatur skema pengembangan dan pasar fintech, sehingga tidak merugikan konsumen pengguna jasa. Sekaligus mengenalkan produk layanan keuangan selain perbankan, kepada masyarakat.

Baca juga : KBN Klaim Selamatkan Aset Negara Rp 55,8 T

“Regulasi tersebut juga mewajibkan penyelenggara fintech agar mendaftarkan perusahaannya di OJK untuk dilakukan pendataan. Hal ini ditujukan agar masyarakat tahu mana perusahaan yang sudah memiliki izin dari OJK, dan yang aman bagi pengguna jasa keuangan,” katanya. Deputi Komisioner OJK Institute, Sukarela Batunanggar menambahkan, perusahaan yang sudah tercatat pun akan dikaji dalam regulatory sandbox (mekanisme pengujian). Karenanya, startup yang sudah beroperasi namun belum mencatatkan ke OJK, diharapkan bisa  segera memenuhi persyaratan pencatatan usaha.

“OJK ingin menciptakan ekosistem keuangan digital yang baik. Karena kalau sudah terdaftar, bisa di-review untuk dilihat manajemen risikonya seperti apa. Terutama, perlindungan terhadap konsumen,” ujarnya. Sementara bagi yang belum mendaftar, OJK tak akan segan menjatuhkan sanksi sesuai POJK No.13 tersebut. “Bagi fintech atau startup yang tidak tercatat, atau  bahkan tak terdaftar, dilarang berhubungan dengan bank. Karena sangat sulit bagi perusahaan start-up fintech jika tidak mengakses ke bank. Ini malah akan merugikan,” ujar Sukarela mengingatkan.

Selain dilarang mengakses perbankan, mereka juga dilarang bergabung dengan asosiasi. Buntutnya, akan susah bagi fintech untuk melakukan sharing informasi. Bukan tak mungkin, keluar dari ekosistem yang ada. Sementara pada tahap regulasi berikutnya, tambah Sukarela, OJK bakal menyusun aturan untuk mengatur risiko teknologi cyber, bagi platform yang telah melayani banyak transaksi dan konsumen. “Yang terpenting adalah, bagaimana memastikan adanya transparansi oleh pelaku usaha fintech,” kata Sukarela.

Baca juga : Dunia Usaha Harap Pemilu 2019 Kondusif

Kepala Group Inovasi Keuangan Digital dan Pengembangan Keuangan Mikro OJK Triyono kemudian memaparkan, untuk batch pertama, OJK masih menunggu fintech dan start-up untuk lapor diri dengan berbagai syarat. Selambatnya 15 Desember 2018. “Pertengahan Desember, proses sandbox diharapkan bisa diselesaikan dan berlangsung pada Januari 2019. Batch pertama, (kami) tidak ingin membatasi. Berikan kesempatan inovator. Butuh faktor awareness (kesadaran),” ujar Triyono.

Hadir di kesempatan yang sama, Ketua Harian Asosiasi Fintech (Aftech) Kuseryansyah. Menurutnya,  jumlah perusahaan fintech yang terdaftar  per Oktober 2018 berjumlah 167. Sekitar 73 di antaranya merupakan perusahaan P2P, dan 30 perusahaan di sektor pembayaran maupun mobile payment. Sedangkan selebihnya, sebagian besar masuk 21 industri keuangan digital (IKD). “Dari asosiasi, tentunya sangat mendukung langkah OJK melalui POJK 13, sehingga memberikan ruang dan clarity bagi perusahaan startup. Karena mereka kebanyakan masih muda, dan melakukan terobosan teknologi. Market-nya banyak. Tapi, aturannya belum jelas,” imbuhnya.

Pihaknya berharap, POJK No.13 akan menjadi fair. Tiap perusahaan bisa ikut aturan yang ada di OJK, sehingga fintech bisa melayani masyarakat yang unbankable. Kemudian peran asosiasi sendiri, memberikan masukan core of conduct yang datang dari industri. “Ke depan, kami meminta insentif, terutama begitu besarnya peluang bagi perusahaan fintech yang kebanyakan berpusat hanya di Pulau Jawa, namun juga bisa dibuka peluang fintech di luar Pulau Jawa,” tandasnya. [DWI]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tags :