Dark/Light Mode

Data BPS Jadi Acuan Data Perberasan

2019, Ternyata Masih Perlu Impor Beras

Minggu, 28 Oktober 2018 08:52 WIB
Data BPS Jadi Acuan Data Perberasan 2019, Ternyata Masih Perlu Impor Beras

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah menetapkan data perberasan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai acuan resmi untuk mengambil keputusan. Mengkaji data terbaru, tahun depan Indonesia dinilai masih perlu impor beras. Data BPS dipilih sebagai acuan, mengingat lembaga tersebut sudah melakukan perbaikan metode penghitungan produksi padi. Metode baru lembaga tersebut diyakini lebih akurat.

Langkah BPS membenahi metode penghitungan hasil produksi padi ini diapresiasi  Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara. “Semoga, simpang siur data produksi beras seperti yang terjadi selama ini, tidak terjadi lagi. Sehingga, tidak ada lagi ribut-ribut di internal pemerintah sendiri,” ujar Bhima.

Dengan demikian, lanjut Bhima, kebijakan impor bisa dilakukan lebih terencana. Kebutuhannya sudah bisa diproyeksi dari sekarang. Karena, BPS sudah merilis hasil penghitungan produksi padi dengan metode terbarunya. Mengenai kemungkinan impor di tahun depan, Bhima mengatakan hal tersebut perlu untuk kebutuhan buffer stok. Karena, surplus beras tidak besar. 

Baca juga : BTN Restrukturisasi Kredit Korban Gempa Tsunami Sulteng

Ekonom Indef lainnya, Rusli Abdullah, meminta pemerintah membenahi tata niaga perdagangan beras sebagai tindak lanjut pembenahan data perberasan oleh BPS. “Persoalan terkait beras kan bukan hanya soal data produksi. Tetapi juga bagaimana mengendalikan ketersediaan beras di lapangan,” ujar Rusli. Menurutnya, pemerintah harus mengetahui di mana saja titik-titik stok beras di luar milik Bulog. Sehingga, pemerintah bisa memantau pergerakan harga. Tanpa menguasai data dan kondisi pasokan di lapangan, maka harga beras rawan dimainkan. Rusli menuturkan, untuk mendata semua stok beras sebenarnya tidak sulit. Karena pemerintah sudah mengetahui daerah mana saja yang memiliki lahan pertanian luas.

Seperti diketahui, penetapan data BPS sebagai acuan nasional disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam melakukan pendataan, BPS kini menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA). Perbaikan metode ini bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian Agraria dan ­Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/BPN), Badan Informasi dan Geospasial (BIG), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

KSA merupakan metode perhitungan luas panen khususnya tanaman padi dengan memanfaatkan teknologi citra satelit yang berasal dari BIG dan peta lahan baku sawah yang berasal dari Kementerian ATR. BPS sudah merilis data perhitungan produksi padi terbaru yang sudah menggunakan metode KSA. Penghitungan dilakukan di 16 provinsi sentra produksi beras. Luas baku lahan sawah yang berhasil diverifikasi sejauh ini mencapai 7,1 juta hektar (ha) dari semula 7,5 juta ha. Dengan begitu, luas panen tahun 2018 diperkirakan 10,9 juta ha. Untuk produksi padinya, sebanyak 56,54 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 32,42 juta ton beras. Dengan asumsi konsumsi beras nasional 29,57 juta ton per tahun sehingga ada surplus sebesar 2,85 juta ton.

Baca juga : Kredit BTN Tumbuh Di Atas Industri

Menurut Kepala BPS Kecuk Suhariyanto, surplus beras tidak bisa dimasukan sebagai cadangan beras nasional karena tidak dikelola pemerintah. Keberadaannya tersebut di berbagai tempat seperti petani, konsumen, penggilingan, dan lain-lainnya. Berdasarkan hitungannya, surplus tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan satu bulan. Karena, konsumsi masyarakat Indonesia dalam satu bulan mencapai 2,5 juta ton.

Sementara itu, pasokan beras medium mengalami penurunan. Harga beras tersebut terpantau mulai mengalami kenaikan. Di Pasar Induk Beras Cipinang, harga beras medium mengalami kenaikan Rp 500 hingga Rp 1.000. Penurunan pasokan terjadi karena sejumlah daerah mengalami kekeringan. Terkait hal ini, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menyarankan pemerintah mempertimbangkan impor beras untuk menjaga stok. Menurutnya, impor sebaiknya dilakukan sebelum Januari 2019. Karena, proses pengiriman memakan waktu.

“Pemerintah bisa belajar dari pengalaman impor awal tahun ini. Berasnya sampai di waktu yang berdekatan dengan panen raya. Hal ini berakibat pada anjloknya harga beras dan meruginya petani," kata Assyifa. [KPJ/NOV]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.