Dark/Light Mode

Alfian Mubaraq, Mahasiswa Universitas Negeri Makassar

Great Farm Solution: Inovasi Pupuk Frass Ulat Tepung untuk Tekan Emisi Gas Rumah Kaca

Rabu, 4 Januari 2023 13:15 WIB
Dampak emisi gas rumah kaca/Ilustrasi (Foto: Betahita.id)
Dampak emisi gas rumah kaca/Ilustrasi (Foto: Betahita.id)

Padi merupakan hasil pertanian yang banyak dikonsumsi oleh populasi manusia yang ada di dunia. Padi ditanam lebih dari 114 negara dengan luas sekitar 153 juta ha atau merupakan 11% dari lahan pertanian yang ada di dunia (Adrianto et al., 2016). Sebagai bahan pangan nasional sebagian masyarakat Indonesia terus meningkatkan produksi padi atau setidaknya tetap dalam kondisi stabil. Pengembangan dan pertumbuhan dari sektor pertanian ini di sisi lain berdampak pada masalah lingkungan hidup yaitu meningkatkan emisi gas rumah kaca seperti gas karbondioksida (CO2), gas metan (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O) yang banyak dihasilkan dari penanaman padi sawah (Mulyadi & Wihardjaka, 2014).

Efek gas rumah kaca dapat menghambat pelepasan panas dan menyebabkan penumpukan gas-gas rumah kaca di atmosfer sehingga menghambat pantulan radiasi matahari (inframerah) dari permukaan bumi ke luar angkasa yang berakibat terjadinya perubahan iklim yang tidak stabil. Hasil gas rumah kaca dari lahan sawah dilaporkan menyumbang efek pemanasan global mencapai 381.2 ppm atau sekitar 36% sehingga terjadi perubahan iklim (Pratiwi, 2016).

Gas rumah kaca (GRK) merupakan sejumlah gas yang dapat menimbulkan efek rumah kaca yang terdapat di atmosfer bumi. Gas rumah kaca ini dapat bekerja seperti kaca yang meneruskan cahaya matahari tetapi menangkap energi panas yang ada dalamnya. Adapun menurut Konvensi PBB mengenai terjadinya Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change-UNFCCC), terdapat 6 jenis gas yang digolongkan sebagai GRK yaitu CO2 (karbon dioksida), N2O (dinitrogen oksida), CH4 (metana), HFC (hidro fluoro karbon), PFC (per fluoro karbon), dan SF6 (sulfur heksa florida) (Samiaji, 2009). 

Salah satu faktor yang mempengaruhi meningkatnya Gas Rumah Kaca (GRK) pada sektor pertanian yaitu pemberian pupuk urea (anorganik) pada tanaman. Pemupukan dapat meningkatkan hasil panen baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hal ini terjadi karena pemupukan dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara, kesehatan tanaman dan menekan perkembangan penyakit. Pupuk yang biasa digunakan untuk tanaman padi ialah pupuk organik maupun pupuk anorganik.

Kandungan nitrogen pada pupuk urea yang cukup tinggi sangat dibutuhkan oleh tanaman. Nitrogen diperlukan tanaman untuk menunjang proses metabolime tubuhnya. Namun, urea juga merupakan salah satu jenis pupuk yang mudah menguap dan mudah terlindi dalam tanah, sehingga diperlukan perlakuan khusus untuk mencegah terjadinya pencucian zat tersebut (Prahasta, 2009).

Pupuk urea secara temporer telah meningkatkan hasil pertanian, tetapi keuntungan hasil panen akhirnya berkurang banyak dengan adanya penggunaan pupuk ini secara berlebihan disebabkan adanya sesuatu yang timbul akibat adanya degradasi (pencemaran) lingkungan pada suatu lahan pertanian. Pupuk urea akan bereaksi menghasilkan amonium (NH4+), ion hidroksil (OH) dan bikarbonat (HCO3 - ) dengan adanya air dan enzim urease. Serupa dengan reaksi tanah terhadap penambahan kapur, bikarbonat yang terbentuk berkembang menjadi CO2 dan air (H2O).

Jenis pupuk urea yang diaplikasikan pada tanah akan menyebabkan hilangnya gas CO2 yang sebelumnya berada dalam pupuk. Sehingga gas CO2 yang dihasilkan dari proses pemupukan diduga ikut menyumbang emisi gas rumah kaca. Untuk itu perlu mengaplikasikan pupuk organik pada tanah seperti memanfaatkan frass ulat tepung (Tenebrio molitor) dengan menggunakan teknologi granulator sebagai bentuk upaya penanganan pengurangan emisi gas rumah kaca di sektor pertanian. 

Baca juga : Frisian Flag Indonesia Komitmen Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca

Frass ulat hongkong (Tenebrio molitor)   memiliki potensi yang cukup besar untuk digunakan sebagai pupuk organik. Keistimewaan frass ulat hongkong yaitu mengandung C-organik yang tinggi, protein, dan lemak yang merupakan energi penting bagi mikroba yang tinggal di tanah. Menurut penelitian Houben et al, (2020) menyatakan bahwa hasil karakterisasi kimia frass memiliki konsentrasi N, K dan P setinggi yang ditemukan pada kotoran peternakan. Selain itu, frass juga mengandung sejumlah kecil unsur hara mikro (yaitu Cu dan Zn). Frass dari ulat hongkong (Tenebrio molitor L) menunjukkan potensi besar untuk digunakan sebagai pengganti untuk pupuk NPK pada pertumbuhan tanaman sekaligus merangsang mikroba tanah dan aktivitas cacing tanah (Dulaurent et al, 2020).

Tujuan dalam penulisan kajian esai ini yaitu untuk mengetahui proses pembuatan pupuk organik frass ulat tepung (Tenebrio molitor) menggunakan teknologi granulator sebagai upaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Manfaat yang dapat diambil dalam penulisan kajian esai ini yaitu bagi pemerintah dapat digunakan untuk meningkatkan hasil pertanian dan dapat menuntaskan masalah pemanasan global, sedangkan bagi petani dapat menjadi alternatif baru yang lebih mudah dan murah untuk menjadikan frass ulat tepung (Tenebrio molitor) sebagai pupuk di sektor pertanian.

Ulat tepung dikenal dengan sebutan Meal Worm atau Yellow Meal Worm dan merupakan larva dari Tenebrio molitor. Menurut Yusdira et al (2016), serangga ini berasal dari wilayah Mediterania yang kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia melalui aktivitas perdagangan dan penjajahan. Tenebrio molitor L. memiliki taksonomi sebagai berikut :

Kingdom         : Animalia 

Filum               : Arthropoda 

Kelas               : Insecta 

Ordo                : Coleoptera 

Baca juga : Indonesia Komitmen Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca

Famili              : Tenebrionidae 

Genus              : Tenebrio 

Spesies            : Tenebrio molitor L.

Gambar 2.1 Tenebrio molitor L. (Sumber: Amanda, 2017)

Tenebrio molitor L. dapat dikenali berdasarkan morfologi pada fase kumbang dan larvanya. Kumbang Tenebrio molitor L. mempunyai rangka luar yang bertekstur keras karena memiliki lapisan kitin dan disatukan oleh dinding lentur. Kumbang dewasa memiliki warna coklat gelap dengan ukuran panjang sekitar 17-25 mm. Tenebrio molitor L. memiliki kaki sebanyak tiga pasang dan tubuh dibedakan menjadi tiga bagian yaitu kepala, dada, dan perut. Sesuai dengan klasifikasi ordonya Coleoptera yang berarti sayap terselubung, kumbang ini memiliki dua pasang sayap. Pasangan sayap pada bagian depan yang tebal dan keras yang mempunyai fungsi sebagai pelindung, sedangkan sepasang sayap belakang tipis berfungsi untuk terbang dan letaknya terlipat di bawah sayap depan saat fase istirahat (Amanda, 2017).

Frass ulat tepung (Tenebrio molitor) memiliki potensi yang cukup besar untuk digunakan sebagai pupuk organik di lahan pertanian. Keistimewaan yang terdapat pada larva Tenebrio molitor ini meliputi protein kasar 37,80%, lemak kasar 28,63%, kadar abu 13,36%, serat kasar 7,28%, dan bahan kering 84,31% (Purnamasari et al., 2018).

Baca juga : Terima Kasih Pak Silmy, Krakatau Steel Kini Lebih Tangguh

Frass ulat tepung (Tenebrio molitor L) adalah residu butiran dan tidak berbau yang dapat digunakan sebagai pupuk organik. Menurut penelitian Houben et al, (2020) menyatakan bahwa hasil karakterisasi kimia frass memiliki konsentrasi N, K dan P setinggi yang ditemukan pada kotoran peternakan. Selain itu, frass juga mengandung sejumlah kecil unsur hara mikro (yaitu Cu dan Zn). Frass dari ulat tepung (Tenebrio molitor L) menunjukkan potensi besar untuk digunakan sebagai pengganti untuk pupuk NPK mineral pada pertumbuhan tanaman sekaligus merangsang mikroba tanah dan aktivitas cacing tanah (Dulaurent et al, 2020).

Pada proses granulasi dilakukan penambahan lignosulfat yang berfungsi sebagai perekat agar dapat menghasilkan bentuk granul yang sempurna. Bentuk granul dapat membuat penyerapan nutrisi oleh tanaman secara lambat, sehingga nutrisi pada pupuk dapat diserap dalam jangka waktu yang panjang oleh tanaman. Oleh karena itu, pemanfaatan pupuk frass ulat tepung dalam bentuk granul menjadi solusi yang konkret dalam membantu pemerintah dan petani untuk melakukan kegiatan konservasi berupa pengurangan pencemaran lingkungan di Indonesia demi menjaga kestabilan ekosistem lingkungan dalam mewujudkan Indonesia emas 2045.

Strategi penerapan teknologi granulator dan pupuk frass ulat tepung (Tenebrio molitor) dijabarkan pada Gambar 1.

Powered by Froala Editor

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.