Dark/Light Mode

Catatan Trubus Rahardiansyah

Menyoal Cukai Plastik di Tengah Persoalan Sampah

Kamis, 19 Oktober 2023 20:34 WIB
Pemerhati kebijakan publik Trubus Rahardiansyah (Foto: Istimewa)
Pemerhati kebijakan publik Trubus Rahardiansyah (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah telah mewacanakan pengenaan cukai penggunaan plastik. Hal ini bukan tidak mungkin akan memberikan dampak yang luas bagi masyarakat, khususnya pelaku bisnis UMKM yang jumlahnya jutaan, mengingat penggunaan plastik telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Plastik digunakan bukan hanya sebagai kemasan makanan minuman, tetapi juga pembungkus hampir semua jenis barang kebutuhan rumah tangga, perlengkapan di rumah sakit yang membutuhkan tingkat kebersihan yang tinggi, hingga plastik pembungkus barang yang membutuhkan pengiriman kurir.

Tahun lalu, Pemerintah menargetkan dapat menambah penerimaan pajak negara melalui cukai plastik hingga Rp 0,9 triliun. Pemerintah berdalih bahwa kebijakan ini bukan hanya bertujuan untuk menaikan penerimaan negara, tetapi juga bertujuan untuk mengendalikan suatu barang, sehingga eksternalitas negatif dari penggunaan atau konsumsinya dapat dikurangi. Dalam hal cukai plastik ini, tujuan pemerintah adalah mengurangi sampah plastik.

Wacana kebijakan yang telah dimulai sejak tahun 2016 dan telah mendapat persetujuan DPR ini, kini tinggal menunggu teknis pelaksanaannya. Pemerintah tengah menggodok Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Tetapi, di lain pihak, para pemangku kepentingan langsung kebijakan ini mempertanyakan efektifitasnya. Tidak hanya dari kalangan pelaku usaha, tetapi juga dari pemerhati dan aktivis lingkungan. Mereka pesimis tujuan pemerintah untuk mengurangi dampak negatif sampah plastik ini tidak akan pernah tercapai. Sampah plastik masih akan menjadi persoalan selama tidak ada upaya lain yang lebih strategis dan peraturan terkait pengelolaan sampah tidak ditegakan secara serius.

Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) pada 2022, timbulan sampah di Indonesia sebanyak 69 juta ton per tahun. SIPSN juga mencatat komposisi sampah sisa makanan sebanyak 41,55 persen, sampah tumbuhan (kayu, ranting, dan daun) 13,27 persen, sampah kertas atau karton 11,04 persen, sampah plastik 18,5 persen, dan sampah lainnya 6,9 persen. Sampah rumah tangga masih mendominasi dengan angka mencapai 37,6 persen dan sisanya dari pasar tradisional sebanyak 16,6 persen dan pusat perniagaan mencapai 22,1 persen.

Khusus untuk sampah plastik, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022, terdapat sebanyak 12,54 juta ton sampah plastik yang dihasilkan masyarakat Indonesia dan sebanyak 3,2 ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Hal ini diperkuat data Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyebutkan Indonesia masuk urutan kedua penyumbang sampah plastik terbesar di dunia pada tahun 2019 dengan 3,21 juta metrik ton per tahun.

Dengan statistik volume sampah seperti ini dan dengan tren yang terus meningkat, apakah instrumen pengenaan cukai plastik akan mampu mengatasi persoalan pengelolaan sampah di Indonesia? Banyak pihak melihat persoalan sampah di Indonesia sangatlah kompleks, mengingat Indonesia merupakan negara berpenduduk banyak, kelima terbesar di dunia. Diperlukan berbagai instrumen dan partisipasi semua stakeholder, tidak hanya pemerintah dan pelaku usaha tetapi juga pelibatan masyarakat.

Baca juga : Tips Ampuh Balikin Kulit Rusak Menjadi Sehat di Tengah Cuaca Panas

Sebenarnya, pemerintah telah memiliki beberapa instrumen kebijakan dalam pengelolaan sampah, mulai dari UU beserta PP yang merupakan turunan UU, Peraturan Presiden (Perpres) hingga Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur teknis pengelolaan sampah. Sayangnya kebijakan tersebut memiliki banyak kekurangan dan bermasalah di tingkat implementasinya. Sebut saja UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan sampah beserta PP Nomor 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga, tidak dapat ditegakan, karena tidak mengatur, siapa yang dapat memberikan sanksi bagi pelanggar aturan mereka yang membuang sampah tidak pada tempatnya. Pasal 28 ayat 1 UU ini juga memandatkan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan cara mengurangi sampah dan mengelola sampah dengan berwawasan lingkungan. Artinya masyarakat perlu menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse dan Recycle).

Selain itu, terdapat juga Perpres Nomor 97/2017: Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Target pengurangan sampah rumah tangga dan sejenisnya sebesar 30 persen dan penanganannya mencapai 70 persen pada tahun 2025. Plastik merupakan salah satu jenis sampah rumah tangga dan sejenis sampah rumah tangga.

Pada tataran teknis terdapat Peraturan Menteri yang juga mengatur pengelolaan sampah, seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah serta Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor 75 tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Sayangnya peraturan-peraturan ini belum dapat ditegakkan oleh pemerintah sehingga persoalan sampah masih menjadi pekerjaan rumah yang harus ditangani bersama oleh pemerintah, masyarakat dan kalangan usaha.

Persoalan sampah sejatinya bukan hanya dari pengurangan konsumsinya tetapi bagaimana sampah dikelola. Banyak negara dengan konsumsi plastik yang jauh lebih tinggi dari Indonesia seperti, Jepang, Singapura dan beberapa negara di Eropa, dapat mengelola sampah plastiknya dengan baik.

Bicara soal pengelolaan sampah, hal ini juga harus dilakukan dari hulu ke hilir. Mengelola sampah bukan berarti selesai pada tahap memilih dan memilah sampah saat akan dibuang. Tetapi jauh dari itu.

Prinsip Reduce, Reuse, Recycle, Recovery dan Repair atau yang lebih dikenal dengan 5R bisa menjadi acuan dalam pengelolaan sampah dan membentuk circular economy yang maksimal. Langkah ini membuat plastik tidak berhenti sebagai sampah tetapi terus berputar sebagai barang pakai, sehingga sumber daya alam digunakan lebih efektif dan efisien hingga mendorong penggunaan energi alternatif.

Baca juga : Meningkatkan Literasi Masyarakat Sama Dengan Memajukan Bangsa

Persoalan plastik bukan hanya perkara jumlah sampah yang beredar tapi lebih kepada perilaku masyarakat. Masyarakat saat ini masih kurang bijak dalam menggunakan plastik. Membuang sampah sembarangan juga masih dibiasakan tanpa ada rasa bersalah akan dampaknya nanti.

Artinya, perubahan pola perilaku publik seharusnya lebih diutamakan dibanding membebani mereka dengan tambahan biaya hidup lain. Perilaku itu memang masih tertanam di jiwa masyarakat tapi bukan berarti tidak bisa diubah.

Tengok saja China, mereka mengubah kebiasaan masyarakat hingga kini menjadi negara yang bersih. Namun, mereka memilih memberikan denda dibanding memajaki rakyat. Cara ini juga diterapkan di banyak negara maju.

Denda membuat masyarakat memprogram ulang kebiasaan mereka membuang sampah. Hasilnya, masyarakat lebih tertib dalam membuang sampah mereka sehingga keberadaan limbah plastik bisa lebih terkendali.

Kalaupun ada penerapan cukai plastik, maka kebijakan itu harus dilakukan dengan sangat terukur. Jangan sampai kebijakan dilakukan sembarangan karena kembali lagi, masyarakat yang terkena imbas.

Masyarakat sudah sangat akrab dengan kemasan plastik. Ketika pemerintah memaksa memberikan pajak pada setiap penggunaan plastik maka yang terjadi adalah kenaikan harga barang. Skenario terburuknya, terjadi inflasi karena penambahan nilai yang bisa jadi cukup tinggi terhadap barang-barang kebutuhan ditambah terus melemahnya daya beli masyarakat.

Baca juga : Kim Jong Un Tiba Di Rusia, Siap Jumpa Putin Di Tengah Ancaman AS

Penerapan cukai plastik diyakini juga akan berdampak pada daya saing utilitas industri plastik nasional. Publik tentu akan beralih ke produk kemasan plastik impor yang secara relatif lebih terjangkau. Lebih jauh, kebijakan itu juga berpotensi mematikan industri daur ulang plastik hingga merusak manajemen pengelolaan sampah.

Belum lagi, kebijakan itu juga akan berdampak pada eksistensi UMKM yang menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah pada 2019 menunjukan ada 64 juta UMKM di Indonesia.

Ketika hal ini terjadi maka akan terjadi resistensi di masyarakat yang membuat tingkat kepercayaan mereka terhadap pemerintah berkurang. Pada akhirnya, publik akan enggan untuk melunasi pajak mereka. Kondisi ini dikhawatirkan justru akan membuat target-target pemerintah malah tidak tercapai.

Trubus Rahardiansyah, Pemerhati Kebijakan Publik 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.