Dark/Light Mode

Teknologi Hijau: Solusi Mengatasi Krisis Iklim

Sabtu, 13 April 2024 14:51 WIB
Panel surya sebagai salah satu sumber energi hijau. (Foto: Dwi Pambudo/RM)
Panel surya sebagai salah satu sumber energi hijau. (Foto: Dwi Pambudo/RM)

Dalam menghadapi krisis iklim yang menjadi fokus utama Indonesia dan dunia, sangatlah penting untuk segera mengeksplorasi solusi dari masalah ini secara inovatif dan efektif dalam membangun ekosistem berkelanjutan. Salah satu dari solusi tersebut ialah teknologi hijau.

Menurut Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Kementerian PUPR, Teknologi Hijau (Green Technology) adalah teknologi yang dalam penggunaannya minim menggunakan sumber daya alam, sumber daya energi, sumber daya mineral, air dan material. Serta minim menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan makhluk hidup.

Melansir dari laman artikel Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Indonesia mendukung komitmen dunia memaksimalkan penggunaan energi ramah lingkungan dalam menghadapi era transisi energi menuju energi hijau. Berbagai langkah dilakukan untuk transisi energi tersebut, di antaranya dengan pengembangan B-30 hingga D-100 dan bioavtur, serta penggunaan teknologi ramah lingkungan untuk sektor transportasi dan industri.

Teknologi Hijau berperan penting dalam mengatasi krisis iklim di Indonesia seperti pengurangan emisi karbon dengan penggunaan energi baru terbarukan.

Pada 17 Januari 2022, Kementerian ESDM, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) menyampaikan bahwa kapasitas pembangkit listrik tenaga energi baru terbarukan (PLT EBT) tahun 2021 mencapai 11.157 Megawatt (MW). Kapasitas ini di bawah target yang ditetapkan untuk tahun tersebut, yaitu sebesar 11.357 Megawatt (MW).

Baca juga : Solusi Atasi Teroris Papua

Kapasitas PLT EBT tersebut terdiri atas:

  1. 6.601,9 MW tenaga air
  2. 2.276,9 MW tenaga panas bumi
  3. 1.920,4 MW bioenergi
  4. 200,1 MW tenaga surya
  5. 154,3 MW tenaga angin
  6. 3,6 MW tenaga hibrida.

Sejak 2017, kapasitas PLT EBT terpasang terus meningkat. Pada tahun tersebut, kapasitas PLT EBT terpasang tercatat sebesar 9.427 MW dan meningkat menjadi 9.830 Mw di tahun berikutnya. Pada 2019, kapasitasnya mencapai 10.289 MW dan meningkat menjadi 10.502 MW pada 2020.

Sejak 2017, kapasitas PLT EBT terpasang terus meningkat. Pada tahun tersebut, kapasitas PLT EBT terpasang tercatat sebesar 9.427 MW dan meningkat menjadi 9.830 MW di tahun berikutnya. Pada 2019, kapasitasnya mencapai 10.289 MW dan meningkat menjadi 10.502 MW pada 2020.

Terdapat juga tambahan kapasitas sebesar 654,76 MW pada 2021 dari target 854,78 MW pada 2021, yaitu:

  1.  260 MW perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso
  2. 16,5 MW PLT Bioenergi
  3. 90 MW PLTA Malea
  4. 111,25 MW dari 18 unit Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)
  5. 146,2 MW Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)
  6.  30,81 MW Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Dadan Kusdiana, Direktur Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM, menjelaskan bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk EBT tahun 2021 mencapai 69,5 Juta Ton CO2e, atau 104% dari target sebesar 67 Juta Ton CO2e. Sementara, pemanfaatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam pengembangan teknologi pembangkit mencapai 76,71% dari target 70% untuk PLTA, 38,97% dari target 35% untuk PLTP, dan 57,75% dari target 40% untuk Pembangkit Listrik Tenaga Bioenergi (PLTBio). Selain itu, porsi bauran EBT pada tahun 2021 telah mencapai 11,5%.

Baca juga : Tahan Gejolak Ekonomi, Bitcoin Jadi Solusi Alternatif Investasi

Dadan pun mengungkapkan beberapa upaya yang akan dilakukan oleh Kementerian ESDM untuk meningkatkan bauran EBT agar mencapai 23% pada 2025 mendatang, antara lain penyelesaian Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Harga EBT, penerapan Peraturan Menteri (Permen) ESDM PLTS Atap, Mandatori BBN, pemberian insentif Fiskal dan NonFiskal untuk EBT, kemudahan izin usaha, dan mendorong permintaan energi listrik, misalnya untuk kebutuhan kendaraan listrik dan kompor listrik.

Our World in Data mencatat persentase produksi listrik Indonesia yang berasal dari energi terbarukan mencapai 13,21% pada 2020, meningkat dari capaian tahun 2019 sebesar 11,27%. Produksi ini kurang lebih sebesar 36 Terawatt per jam/TWh (1 TWh dapat menerangi kurang lebih 114 ribu rumah dengan kapasitas listrik sebesar 1.000 watt/tahun.

Namun, produksi ini masih membuat Indonesia tertinggal dari negara-negara ASEAN lain, seperti Kamboja dan Vietnam. Proporsi listrik energi terbarukan di Kamboja sudah mencapai 49,87% pada 2020, dan Vietnam mencapai 36,72% pada 2021. Secara per kapita, produksi listrik dari energi terbarukan di Indonesia juga masih rendah, yaitu 133 Kilowatt/jam (kWh) per kapita, sedangkan Malaysia memproduksi listrik dari energi terbarukan sebesar 574 kWh per kapita.

Seperti yang telah diterangkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) tahun 2021-2030, bahwa porsi pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) ditargetkan mencapai 48% atau 19.899 Megawatt (MW). Angka ini meningkat dari RUPTL 2019-2028 yang masih di kisaran 30%. Jadi dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan, terdapat usulan penambahan pembangkit mencapai 40.967 Megawatt atau 41 Gigawatt.

Berdasarkan data Kementerian ESDM per April 2021, tercatat bahwa Indonesiamemiliki energi berkapasitas 72.888 Megawatt yang didominasi 86,45% energi fosil. Sisanya, sebesar 13,55% merupakan bauran EBT. PLTA memiliki porsi terbesar dalam bauran EBT, yakni 6.144 Megawatt, panas bumi 2.131 Megawatt, dan energi bersih lainnya sebesar 2.215 Megawatt.

Baca juga : Kaesang: Ya Solo Bukan Memang Bukan Mas Gibran

Akses energi di Indonesia dapat direfleksikan dengan capaian rasio elektrifikasi. Hingga tahun 2021, rasio elektrifikasi (RE) Indonesia mencapai 99,45%, sementara rasio desa berlistrik (RDB) mencapai 99,62%. Pemerintah menargetkan penyediaan listrik di seluruh wilayah Indonesia dengan capaian 100% RE di akhir 2022. Di samping RE, pemerintah menetapkan target bauran EBT sebesar 23% pada 2025. Pada akhir 2021, porsi EBT sudah mencapai 14% dalam bauran energi pembangkit listrik.

Beberapa kebijakan yang telah diberlakukan di antaranya:

  1. Tidak ada penambahan pembangkit listrik berbasis batu bara, kecuali yang sudah berkontrak atau sedang kontruksi.
  2. Konversi pembangkit listrik berbahan bakar solar menjadi pembangkit EBT (Energi Baru Terbarukan).
  3. Peningkatan konektivitas jaringan untuk memobilisasi sumber EBT ke pusat-pusat permintaan (demand centers).
  4. Mempercepat elektrifikasi melalui program instalasi akses listrik baru.

Teknologi Hijau membantu proses daur ulang dan pengelolaan limbah yang lebih efektif. Daur Ulang sampah telah diterapkan di Indonesia, beberapa perusahaan daur ulang sampah plastik yang sudah berdiri di antaranya adalah:

  1. PT Veolia Indonesia : Recycled Pet Plastic
  2. PT Alba Tridi Recycling Plastics : Pabrik Pengolahan Sampah Plastik
  3. Waste4Change : Startup Pengolahan Sampah

Teknologi Hijau dapat menciptakan banyak lapangan kerja yang dapat membangun ekosistem berkelanjutan. Dengan adanya teknologi hijau ini, krisis iklim dapat distabilkan, ekosistem alam dan manusia dapat berkelanjutan dan terjaga. 

Pelestarian lingkungan dapat dilakukan apabila iklim stabil, sehingga pencemaran alam tidak mengancam proses pelestarian lingkungan. Peran teknologi hijau dalam hal ini adalah:

  1. Mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan polutan lainnya.
  2. Pemanfaatan sumber daya alam secara efisien.
  3. Ide untuk upaya pengelolaan dan perlindungan lingkungan dari berbagai ancaman.
Qanita Jumiawati
Qanita Jumiawati
Seorang siswi yang sedang menjalani hobinya dalam dunia pers sebagai jurnalis

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.