Dark/Light Mode

Implementasi Pemerintah RI Terkait Dekarbonisasi atas NZE 2060 terhadap GRK

Rabu, 17 April 2024 15:47 WIB
Mengurangi emisi karbon. (Sumber: bing.com)
Mengurangi emisi karbon. (Sumber: bing.com)

1.  Pendahuluan
Ditulis dalam bentuk konsep, Net-zero Emission (NZE) pertama kali mengemuka pada COP21 Paris (Conference of the Parties yang ke-21 di Paris, Perancis) pada tahun 2015. Perjanjian Paris yang dihasilkan menyepakati tujuan utama yang harus dicapai melalui pelaksanaan Perjanjian Paris dan mencakup ketentuan-ketentuan yang akan dilaksanakan oleh negara manapun yang meratifikasinya. Terdapat 191 negara meratifikasi konvensi tersebut, dan 197 negara menyetujui ketentuan Perjanjian Paris (UNFCCC, n.d.).

Perjanjian Paris terdiri dari 29 pasal yang harus dipatuhi untuk menjamin tercapainya tujuan utama Perjanjian. Pasal 2.1 Perjanjian Paris menyatakan tujuan utamanya, yang sejalan dengan tujuan tertinggi konvensi perubahan iklim. Pasal 2.1a secara eksplisit menyatakan bahwa negara-negara yang meratifikasi Perjanjian Paris berkomitmen untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global hingga 2°C dibandingkan tingkat pra-industri dan Sejauh mungkin mencegah peningkatan suhu melebihi 1,5°C. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan perubahan iklim dan dampaknya. Tujuan ini kemudian dipersempit ada berbagai inisiatif, seperti startegi mitigasi, adaptasi, bantuan keuangan, peningkatan kapasitas, teknologi dan potensi penggunaan instrument pasar dan non-pasar.

Selain itu, diharapkan dengan mengambil langkah-langkah ini, upaya yang dilakukan masing-masing negara akan diperkuat. Pasal 2.1a Perjanjian Paris menyatakan, “Holding the increase in the global average temperature to well below 2°C above pre-industrial levels and pursuing efforts to limit the temperature increases to 1.5°C above pre-industrial levels, recognizing that this would significantly reduce the risks and impacts of climate change.” 

Setelah sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Perjanjian Paris, pengurangan emisi merupakan salah satu pendekatan untuk mencapai Pasal 2.1a. Istilah "NZE" didefinisikan dalam pasal 4.1 Perjanjian Paris, meskipun tidak disebutkan namanya, pasal 4.1 Perjanjian Paris menyatakan sebagai berikut: “To meet the long-term temperature target outlined in Article 2, Parties seek to peak global greenhouse gas emissions as soon as possible, acknowledging that developing country Parties will require more time to peak. Following this, they seek to rapidly reduce emissions in accordance with the best available science to achieve a balance between anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of greenhouse gases in the second half of this century, based on equity, in the context of sustainable development and efforts to end poverty.”

Pernyataan dari "balance between anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of greenhouse gases" mencirikan keadaan Net-zero Emission (NZE), yang didefinisikan sebagai keadaan di mana penyerapan emisi rumah kaca yang sudah ada sebelumnya dan emisi yang dihasilkan oleh manusia adalah setara. Kriteria NZE akan terpenuhi bila kebutuhan ini terpenuhi, sedangkan pada batas waktu "in the second half of this century" adalah poin penekanan lain dalam kalimat ini mengenai kapan NZE harus dicapai. Dengan meratifikasi Perjanjian Paris, semua negara berkomitmen untuk mencapai kondisi NZE pada pertengahan abad ke-21 ini.

Tiga transformasi mendasar; dekarbonisasi pasokan listrik, peningkatan efisiensi energi, dan elektrifikasi sektor pengguna akhir, harus diterapkan secara bersamaan untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang ambisius dan mengurangi ancaman kenaikan suhu global (Vidinopoulos, Ashley, Whale, & Hutfilter, 2020).

Selanjutnya, Indonesia diberi mandat oleh Perjanjian Paris untuk menggambarkan dan mensosialisasikan langkah-langkah ketahanan iklim setelah tahun 2020 dalam dokumen Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (Nationally Determined Contribution atau NDC), yang kemudian diserahkan ke Sekretariat UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) (Bappenas, 2022). Dalam rangka meratifikasi Perjanjian Paris yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2030, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 (Presiden RI, 2016).

Tujuan NDC diyakini akan memacu pertumbuhan investasi hijau di Indonesia, dimana pengurangan emisi GRK sebesar 11% dari sektor energi akan memungkinkan tercapainya target nasional tanpa syarat. Landasan upaya Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi dari sektor energi adalah dekarbonisasi industri kelistrikan. Rencana dan undang-undang terbaru mencakup pengembangan sistem perdagangan emisi ETS (Emissions Trading System). Salah satu alat utama yang digunakan pemerintah untuk membantu mencapai target NDC dan mendorong pembangunan berkelanjutan rendah karbon adalah penciptaan dan implementasi ETS dalam negeri untuk sektor industri dan ketenagalistrikan (Kementerian Keuangan, 2022).

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTUB) menghasilkan 61,95% listrik yang dihasilkan hingga tahun 2020. Batubara bukan hanya sumber listrik, tapi juga merupakan barang ekspor yang membantu neraca perdagangan Indonesia dan meningkatkan penerimaan negara bukan pajak. Mengingat hal ini, Indonesia menghadapi kesulitan dalam menentukan cara mendekarbonisasi sistem energinya tanpa mengorbankan kualitas pertumbuhan ekonomi negara, khususnya di sektor ketenagalistrikan. Cara terbaik untuk mengurangi emisi karbon adalah dengan mengganti sumber energi berbasis bahan bakar fosil dengan sumber energi yang lebih ramah lingkungan, seperti teknologi energi inovatif dan terbarukan (EBT). Teknologi energi berkelanjutan ini memerlukan waktu untuk diadopsi, namun hal ini akan bermanfaat bagi keselamatan manusia dan keseimbangan ekologi (Lin dkk., 2022).

Selain itu, sektor energi telah mengeluarkan peraturan yang bertujuan untuk menyediakan energi rendah emisi serta pasokan energi. Contoh peraturan tersebut adalah Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) (Presiden RI, 2017). Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) (Dewan Energi Nasional, 2014). KEN mengacu pada pencapaian bauran energi primer yang ideal, yang mengharuskan minimal 23% energi baru dan terbarukan digunakan dalam perekonomian pada tahun 2025 dan minimal 31% digunakan dalam perekonomian pada tahun 2050. Optimalisasi penerapan EBT harus terus dipertahankan untuk mencapai tujuan KEN tersebut. 

Menurut data IRENA 2021, sejak adanya pembangkit EBT, khususnya PLTS dan PLTB, nilai Levelized Cost of Electricity (LCOE) turun signifikan. PLTS LCOE skala besar pada tahun 2020 lebih rendah 85% dibandingkan LCOE tahun 2010 (IRENA, 2021). PLTB di darat juga mengalami penurunan sebesar 56%. Menurut PLN, hal serupa juga terjadi di Indonesia, dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terapung (PLTS) Cirata berkapasitas 145 MW memiliki biaya pokok produksi (BPP) di bawah US$5,8 per KWH (Wiratmini, 2020). Banyak negara juga mengalami penurunan belanja modal PLTS skala besar seiring dengan penurunan LCOE. Belanja modal PLTS skala besar menurun secara global pada tahun 2019 dari USD. 4.702/KWh menjadi hanya USD. 995 USD/KWh, turun 79% dari tahun 2010 (IRENA, 2020).

Namun karena kedua jenis pembangkit EBT tersebut menghasilkan energi secara terputus-putus, maka PLT (Pembangkit Listrik Tenaga) Solar dan PLT Bayu bergantung pada kesiapan sistem untuk menjamin kelangsungan pasokan tenaga listrik. Oleh karena itu, harus didukung oleh PLT bahan bakar fosil, cadangan energi baterai, atau BESS (Battery Energy Storage System). Itu juga dapat dihibridisasi dengan EBT lainnya. Selain itu, pembangkit EBT yang memiliki faktor kapasitas rendah dan akting udara yang baik, PLT Minihidro, dan PLT Panas Bumi. Pembangkit ini biasanya berlokasi di kawasan konservasi yang jauh sehingga tidak dibebankan dari pusat, maka pengembangannya memerlukan waktu yang cukup lama, dimulai dari perizinan dan berlanjut hingga pembatasan geografis hingga keadaan kahar (force majeure) (Ramli, 2020).

Terkait dengan lingkungan hidup, dapat dikatakan bahwa intensitas emisi gas rumah kaca (GRK) dari setiap kilowatt-hour (KWh) listrik yang dihasilkan akan sangat berkurang jika persentase target pembangunan pembangkit dengan menggunakan sumber energi baru terbarukan terpenuhi (PT. PLN Persero, 2020). 

2. Pembahasan

2.1. Dekarbonisasi Industri

Pada tanggal 11 November 2022, di Bali, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyelenggarakan Side Event B20 Summit 2022 dengan topik “Indonesia Net Zero Summit 2022: Decarbonization at All Cost”. Pelaku usaha nasional dan internasional dapat berbicara tentang peluang, permasalahan, dan kemajuan Indonesia menuju negara yang tangguh dalam menghadapi isu iklim pada kegiatan ini. Dengan membahas topik-topik seperti pengelolaan limbah dan energi terbarukan, kegiatan ini secara khusus bertujuan untuk mempercepat dekarbonisasi industri dalam upaya memperlambat perubahan iklim dan memotivasi Indonesia untuk mencapai tujuan emisi nol bersih.

Perubahan iklim diketahui menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi dunia saat ini dan beberapa dekade mendatang. Karena dampak buruk perubahan iklim akibat kenaikan suhu bumi, upaya besar untuk menjadi netral karbon dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil harus segera dilaksanakan.

Sektor industri, yang paling banyak mengonsumsi bahan bakar fosil, harus melakukan dekarbonisasi, terutama dengan beralih ke sumber energi terbarukan yang tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan. Namun, sektor-sektor yang masih bergantung pada bahan bakar fosil untuk pasokan energinya juga berisiko terkena perubahan iklim, terutama sektor-sektor yang telah terintegrasi ke dalam rantai pasokan global. Karena banyak pendiri, pembeli, dan kreditor sudah ingin terlibat dengan bisnis yang mulai beralih menggunakan energi terbarukan, perubahan iklim menimbulkan risiko bisnis bagi industri ini.

Baca juga : Menlu: Pemerintah Terus Pantau Keselamatan WNI Pasca Serangan Iran Ke Israel

Menurut Nicke Widyawati, Ketua Satuan Tugas Energi, Keberlanjutan, dan Bisnis Iklim 20 (TF ESC-B20), dekarbonisasi industri sangat penting untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060 atau sebelumnya. Penerapan strategi terpadu menuju transisi menuju emisi nol bersih akan dimungkinkan oleh kemajuan dekarbonisasi industri. Efisiensi dan sirkularitas energi, dengan penggunaan teknologi baru seperti peningkatan peralatan dan komponen hemat energi serta penerapan sistem Flarying Recovery, merupakan prinsip utama dekarbonisasi industri. Pemanfaatan Nature Based Solution (NBS) dan penerapan teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) menjadi faktor selanjutnya.

Membangun kawasan industri tanpa emisi atau klaster industri hijau adalah metode utama yang digunakan dalam dekarbonisasi industri. Hal ini akan mampu menarik lebih banyak investasi asing, menciptakan lapangan kerja, dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dengan nol-emisi kawasan industri. Namun, agar kawasan industri nol-emisi dapat tumbuh dengan cepat, diperlukan program pembiayaan dan keringanan pajak, serta kemudahan akses impor barang modal untuk menurunkan biaya operasional bagi pelaku industri. Dekarbonisasi industri bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dengan cepat dan mudah; dibutuhkan perencanaan yang matang, kesabaran, dan proses yang panjang untuk mencapainya (DPR RI, 2022).

2.2. Kebijakan Pajak Karbon sebagai Instrumen NZE 2060

Konteks kekhawatiran dunia terhadap perubahan iklim dan pemanasan global sangat terkait dengan kebijakan global mengenai penggunaan karbon. GRK utama yang berkontribusi terhadap dampak pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2). Penumpukan bahan kimia di atmosfer yang berkontribusi terhadap efek rumah kaca, seperti karbon dioksida, mempengaruhi suhu rata-rata bumi. Semua negara menyadari perlunya membatasi emisi karbon dan mengambil tindakan untuk mengatasi perubahan iklim.

Protokol Kyoto pada tahun 1997 dan Perjanjian Paris pada tahun 2015 merupakan dua contoh perjanjian internasional yang diadopsi sebagai hasil dari upaya pengurangan emisi karbon dan menjaga lingkungan. Protokol Kyoto mewakili titik balik yang signifikan dalam upaya mengurangi emisi karbon dalam skala dunia (Irama, 2020). Negara-negara industri maju diwajibkan oleh konvensi ini untuk mengurangi emisi karbon mereka secara drastis. Meskipun demikian, konflik dan hambatan implementasi membuat negara-negara lain—termasuk negara berkembang—melihat perlunya strategi yang lebih berkelanjutan dan inklusif untuk mengatasi tantangan perubahan iklim.

Banyak negara, termasuk Indonesia, telah membuat komitmen nasional untuk mengurangi emisi karbon dan menerapkan kebijakan untuk memfasilitasi peralihan ke perekonomian rendah karbon. UU 16/2016 memberi Indonesia kerangka hukum untuk mengatur emisi karbon. Dengan mengesahkan UU tersebut, Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030 dibandingkan dengan tingkat produksi saat ini. Emisi tahun 2010 yang berasal dari sumber domestik, peningkatan efisiensi energi, dan mendukung sumber energi terbarukan. Undang-undang ini memberikan landasan hukum bagi sektor energi, industri, dan transportasi—antara lain—untuk menerapkan kebijakan yang bertujuan mengurangi emisi karbon. 

UU HPP (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) kemudian menjadikan acuan tujuan tersebut sebagai NDC. Ketika diterapkan, NDC dihitung dengan menggunakan alat tertentu, seperti Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang mencakup komponen perdagangan dan non-perdagangan. Pemerintah Indonesia menggunakan pajak karbon sebagai cara untuk menerapkan mekanisme pengendalian akumulasi, sebagai lawan emisi GRK, untuk memenuhi NDC. Undang-undang HPP dengan jelas menyatakan bahwa tujuan pajak karbon ini adalah keluaran karbon dioksida yang setara (dalam rumus kimianya disebut CO2), menjadi keadaan alami dibandingkan terus-menerus menghasilkan emisi karbon dioksida sebagai asosiasi komunal (Barus & Wijaya, 2021). Terjadinya berbagai faktor yang ditetapkan sebagai penyusutan, pencemaran terhadap lingkungan dan sekitarnya, serta kerusakan lingkungan hidup diukur dengan Rasio Legis dan bukan dengan emisi karbon dioksida yang sebanding.

Jika dikaitkan dengan hubungan sebab dan akibat, dampak buruk dari peningkatan emisi karbon dioksida secara eksponensial memerlukan upaya restorasi yang signifikan. Keberadaan sistem perpajakan nasional, khususnya fungsi keuangan sebagai sebuah konsep untuk membiayai berbagai pembiayaan yang menjadi tugas negara, diperlukan untuk perbaikan kondisi lingkungan hidup yang rusak (Suandy, 2009).

Kebutuhan dana restorasi NDC sebesar US$247.000.000.000 atau Rp3.895.684.000.000.000 untuk periode 2018 – 2030 (kurs US$ 1 = Rp15.772) adalah contoh nyata dari keyakinan ini (Sutrisno, 2021). Jika pendanaannya berasal dari APBN, maka akan menimbulkan subsidi silang dalam pembiayaan dan alokasi anggaran, yang tidak sehat dari sisi finansial mengingat kurangnya sumber pendanaan untuk pemulihan kondisi lingkungan yang tercemar akibat karbon dioksida yang terus menerus diproduksi emisi.

Jonathan Gruber mengajukan teori eksternalitas dalam doktrin ekonomi dan keuangan yang dapat diterapkan secara kontekstual sebagai eksternalitas karbon negatif, yaitu situasi di mana pihak ketiga atau pemangku kepentingan terkait (stakeholder) mengalami kerugian pada pangsa pasar yang menghasilkan setara emisi karbon dioksida. Eksternalitas dari produksi karbon negatif, yang terjadi ketika suatu perusahaan atau produsen menghasilkan emisi karbon dioksida dalam menjalankan operasinya dan mengalami kerugian sebagai akibat dari emisi tersebut, ditutupi dengan pajak yang dibayarkan berdasarkan sistem subsidi silang, sehingga menghilangkan dampak yang terkait dengan produksi karbon negatif.

Pemangku kepentingan atau pihak ketiga sejumlah uang yang seharusnya mereka terima sesuai dengan kepentingannya. Eksternalitas karbon negatif ini juga dapat dipahami dari sudut pandang pelakunya (Gruber, 2010). Paradoks kedua berkaitan dengan eksternalitas konsumsi karbon negatif, suatu situasi di mana sebagian konsumen mengeluarkan karbon dioksida, namun dana yang diperlukan untuk mengganti kerugian tersebut diambil dari rekening pemangku kepentingan atau pihak lain (yaitu, perpajakan dengan lintas sektor sistem subsidi).

Eksternalitas dari konsumsi karbon negatif kemudian menyebabkan beberapa alokasi keuangan tidak sesuai dengan peruntukannya; alokasi keuangan ini bersifat sosial, dan beberapa individu atau kelompok menikmati aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dioksida setara dengan emisi yang tidak diperlukan oleh individu. Berdasarkan sudut pandang tersebut, terdapat gangguan pada struktur perpajakan untuk mencapai NDC. Lebih jelasnya, desain sistem perpajakan dirancang sedemikian rupa sehingga bersifat domino effect dan saling terkait, sehingga tidak mungkin mencapai NZE tanpa alokasi pendanaan yang tepat dan memadai.

Semua emisi karbon dioksida adalah sama, dan jika sistem perpajakan diterapkan untuk menuntut akuntabilitas sosial, jumlah kerugian akibat emisi tersebut akan dikembalikan ke tingkat yang tepat dan setara. Asas pencemar membayar, yang mensyaratkan akuntabilitas finansial dari pelaku aktif sehingga menghasilkan emisi karbon dioksida yang setara dan telah diadopsi terlebih dahulu oleh UU PPLH (Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), merupakan konsep yang tepat untuk pengenaan pajak pada tingkat emisi karbon dioksida tertentu yang setara.

2.3. Berinvestasi di Ketenagalistrikan

Dengan tetap mempertimbangkan kemampuan finansial bisnis ketenagalistrikan, target persen EBT sebesar 23% dalam bauran energi nasional pada tahun 2025 harus dicapai. Untuk menarik investor swasta, diperlukan rencana yang lebih menarik karena pemilik modal pasti akan meminta jaminan atas investasi yang dilakukannya. Investasi di sektor ketenagalistrikan Indonesia diyakini telah mencapai titik jenuh. Investor dikatakan mengeksekusi investasinya dengan sangat hati-hati.

Pada tahun 2023, investasi di sektor ketenagalistrikan masih jauh dari target sebesar US$ 6,64 miliar, sehingga hanya berjumlah US$ 5,75 miliar, atau 87% dari target. Jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan US$ 6,71 miliar yang dilaporkan pada periode 2021 dan sebanding dengan pencapaian tahun 2022 (Baihaqi, 2024). Berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) PT PLN (Persero) tahun 2021 dan 2022, proyek yang masuk dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) saat itu membutuhkan investasi masing-masing sebesar Rp78,90 triliun dan Rp73,10 triliun. Namun menurut Wahyudi (2024), PT PLN (Persero) hanya mampu memperoleh pendanaan sebesar Rp19,93 triliun pada tahun 2021 dan Rp23,4 triliun pada tahun 2022 (Wahyudi, 2024).

2.4. Rencana Pemerintah untuk Meningkatkan Penggunaan Energi Bersih

Salah satu inisiatif utama yang akan dilakukan pemerintah untuk menghidupkan kembali pengembangan pembangkit listrik berbasis energi ramah lingkungan adalah strategi perluasan penggunaan energi ramah lingkungan dan penyempurnaan regulasi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi negara. Selain itu, pemerintah juga akan mendukung peningkatan kebutuhan listrik oleh industri dalam negeri. Untuk menarik investasi, undang-undang dan kebijakan perlu diperkuat. Selain itu, insentif non-disiplin bagi investor yang menggunakan sumber energi ramah lingkungan untuk menghasilkan listrik diperlukan untuk menciptakan permintaan.

Baca juga : Lewat GenPosting, Pemerintah Ajak Masyarakat Kurangi Sampah Saat Mudik

PLN telah menerapkan salah satu metode co-firing, yakni mengganti batubara dengan perbandingan tertentu di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar biomassa. Dengan melakukan hal tersebut, PLN dapat menghasilkan energi bersih sebesar 1,04 Tera Watt-hour (TWH) pada tahun 2023 dan memangkas emisi hingga 1,05 juta ton CO2 (Triatmojo, 2024). Realisasi bauran EBT pada semester I-2023 baru mencapai 12,5%, jauh dari target yang ditetapkan tahun ini yaitu 17,9% berdasarkan dokumen Kementerian ESDM.

Pemerintah menargetkan bauran energi nasional sebesar 19,49% pada tahun 2024 dan menyatakan optimisme bahwa bauran energi tersebut dapat meningkat menjadi 23% pada tahun 2025. Sebagai mitra sektor energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dewan Energi Nasional (DEN) mendukung bauran energi. Secara khusus, DEN membantu Kementerian dalam penyusunan berbagai peraturan dan kebijakan energi yang memfasilitasi transisi energi.

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang melakukan modifikasi perubahan lingkungan strategis sesuai dengan komitmen memerangi perubahan iklim dan memfasilitasi transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE) 2060, sekarang sedang diselesaikan oleh DEN. kebijakan tersebut. Pemerintah akan terus mendorong pertumbuhan EBT dalam hal kapasitas terpasang, output, dan konsumsi untuk mencapai tujuan tersebut. Komposisi energi terbarukan RUPTL 2021–2030 terutama terdiri dari pembangkit listrik tenaga air atau yang sering disebut dengan pembangkit listrik tenaga air, dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).

Namun pembicaraan PPA dengan PLN seringkali memberikan tantangan bagi kedua jenis pembangkit listrik tersebut. Kompleksitas baik teknologi maupun non teknis, termasuk lingkungan sekitar dan lingkungan tempat tinggal seseorang, dapat mengalami pemblokiran. Diperlukan koordinasi dan kesepakatan antara pemerintah dan PT PLN (Persero) mengenai jadwal proyek yang benar-benar selesai dalam jangka pendek dan menengah (satu hingga dua tahun) (3 hingga 5 tahun).

Tindakan taktis lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pangsa bauran energi Indonesia dan mencegah kelebihan pasokan listrik adalah sebagai berikut: Pertama, menekan pemerintah untuk tetap melaksanakan rencana pengembangan EBT dalam RUPTL yang bertujuan untuk memasang 10,6 GW pada tahun 2017. 2025. Kedua, merealisasikan program PLTS atap. Ketiga, tujuan RUPTL diikuti dengan konversi pembangkit listrik tenaga diesel ke EBT (Menteri ESDM, 2024).

3. Kesimpulan

Perubahan iklim yang terus terjadi setiap tahunnya yang diakibatkan oleh ulah manusia dengan membuat inovasi di era industri 4.0 menuju peradaban modern, namun kini inovasi tersebut perlu adanya transisi atau peralihan menjadi ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem di dalamnya. 

Net-zero Emission, suatu visi dunia, sekaligus visi Indonesia yang menginginkan dan berharap di tahun 2060 mendatang, Indonesia sudah bebas dari emisi karbon dengan ditetapkannya visi NZE Indonesia 2060. Sejalan dengan ambisi Indonesia di masa depan, kini pembangkit listrik tenaga uap batu bara masih menjadi sumber listrik utama di dalam negeri. Pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, terus berusaha untuk melakukan transisi energi menjadi energi nol karbon atau energi bersih, salah satunya adalah pembangunan dalam skala besar untuk pembangkit listrik tenaga surya. Proses peralihan EBT ini tentu harus menjadi pembangunan skala prioritas bagi pemerintah Indonesia.

Proses dekarbonisasi ini, tentu saja memerlukan suatu kebijakan dalam negeri yang mumpuni, yang bisa menarik investor mancanegara untuk berinvestasi di Indonesia dalam sektor energi baru terbarukan. Protokol Kyoto menyatakan bahwa masih banyak negara – negara dari industri maju yang belum siap melepas ketergantungannya dengan pembangkit listrik tenaga uap. Memang sejauh ini, PLTU masih memegang persentase yang cukup besar di berbagai negara di dunia. Walaupun demikian, melalui komunikasi internasional pada COP21 kemarin dan pertemuan internasional lainnya untuk transisi energi, diharapkan visi NZE ini segera tercapai.

Kini, segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mencapai visi NZE 2060 telah menjadi komitmen Indonesia dalam mengurangi ketergantungan dengan emisi karbon dan kita sebagai masyarakat tentu saja perlu mendukung serta turut berinvestasi di dalam sektor energi bersih, karena dalam mencegah perubahan iklim bukan hanya kepedulian pemerintah, namun menjadi kepedulian bagi semua orang. 

Daftar Pustaka

Baihaqi B. (2024). Susahnya Menjaring Investasi Ketenagalistrikan di Tengah Tren Transisi Energi Ini Sebabnya! https://www.newneraca.neraca.co.id/article/193414/susahnya-menjaring-investasi-ketenagalistrikan-di-tengah-tren-transisi-energi-ini-sebabnya.

Bappenas. (2022). Diskusi NDC dalam Upaya Mengurangi Emisi Nasional. Indonesia Green Growth Program. https://greengrowth.bappenas.go.id/diskusi-ndc-dalam-upaya-mengurangi-emisi-nasional/

Barus E. B. & Wijaya S. (2021). Penerapan Pajak Karbon di Swedia dan Finlandia serta Perbandingannya dengan Indonesia. Jurnal Pajak Indonesia 5, No. 2: 79-256.

Dewan Energi Nasional. (2014). PP No. 79 Tahun 2014: Kebijakan Energi Nasional. 1-36. 

DPR RI. (2022). Dekarbonisasi Industri. Pusat Penelitian Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI. Analis Legislatif Ahli Muda, T. Ade Surya. Isu Sepekan Bidang Ekkuinbang, Komisi VII.

Gruber J. (2010). Public Finance & Public Policy. 3rd Edition. Worth Publishers. United States.

Irama A. B. (2020). Perdagangan Karbon di Indonesia: Kajian Kelembagaan dan Keuangan Negara. Info Artha 4 Nomor 1: 83-102. 

Baca juga : Implementasi Etika Pancasila Di Bulan Suci

IRENA. (2020). Renewable Power Generation Costs in 2019. International Renewable Energy Agency. https://www.irena.org/-/media/Files/IRENA/Agency/Publication/2018/Jan/IRENA_2017_Power_Costs_2018.pdf.

IRENA. (2021). Irena World Energy Transitions Outlook. https://irena.org/publications/2021/March/World-Energy-Transitions-Outlook.

Kementerian Keuangan. (2022). CIF Accelerating Coal Transition (ACT): Indonesia Country Investment Plan. 

Lin, dkk. (2022). Sustainable Energy Technologies and Assessments. Factors Influencing the Sustainable Energy Technologies Adaptation in ASEAN Countries. https://doi.org/10.1016/j.seta.2022.102668.

Menteri ESDM. (2024). Sebut Target Bauran EBT 23% di 2025 Tetap Jalan. https://ekonomi.republika.co.id/berita/s88dn9457/menteri-esdm-sebut-target-bauran-ebt-23-persen-di-2025-tetap-jalan.

Presiden RI. (2016). UU RI Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To the United Nations Framework Convention on Climate Change. 

Presiden RI. (2017). Perpres No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. 

PT. PLN Persero. (2020). Mengawal Pemulihan Ekonomi, Mencapai Tujuan Berkelanjutan. Jakarta.

Ramli R. R. (2020). Ini Hambatan Pengembangan Pembangkit Listrik EBT di RI. https://money.kompas.com/read/2020/09/24/141102626/ini-hambatan-pengembangan-pembangkit-listrik-ebt-di-ri.

Suandy E. (2009). Hukum Pajak. Salemba 4, Jakarta. 

Sutrisno E. (2021). Dana Perbaikan Lingkungan Mulai Meluncur. https://indonesia.go.id/kategori/editorial/2883/dana-perbaikan-lingkungan-mulai-mengucur.

Triatmojo D. (2024). Pengamat Energi UGM: Penerapan Teknologi Co-firing dari PLN Terbukti Tekan Emisi Karbon. https://www.tribunnews.com/bisnis/2024/01/25/pengamat-energi-ugm-penerapan-teknologi-co-firing-dari-pln-terbukti-tekan-emisi-karbon.

UNFCCC. (n.d.). The Paris Agreement. Retrieved March 21, 2024, from https://unfccc.int/process/the-paris-agreement/status-of-ratification

Vidinopoulos, Ashley, Whale J. & Hutfilter U. F. (2020). Sustainable Energy Technologies and Assessments. Assessing the Technical Potential of ASEAN Countries to Achieve 100% Renewable Energy Supply. https://doi.org/10.1016/j.seta.2020.100878.

Wahyudi N. A. (2024). Proyek Kelistrikan ‘Posisi Sulit’ BUMN Listrik. Bisnis Indonesia, hlm 3. 

Wiratmini N. P. E. (2020). PLN: Biaya Produksi Pembangkit Energi Terbarukan Makin Murah. https://ekonomi.bisnis.com/read/20200123/44/1193267/pln-biaya-produksi-pembangkit-energi-terbarukan-makin-murah.

ARDI MUHAMMAD ZAMZAM
ARDI MUHAMMAD ZAMZAM
Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional semester 6, yang saat ini sedang melakukan magang pada MSIB Batch 6 di Gerilya Academy, naungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.