Dark/Light Mode

Green Economy: Masa Depan Industri Tempe Berkelanjutan

Kamis, 18 April 2024 21:33 WIB
Largest Soybean Production Countries (Foto: worldatlas.com)
Largest Soybean Production Countries (Foto: worldatlas.com)

Permintaan Tempe di Indonesia

Tempe adalah salah satu makanan tradisional asli Indonesia yang menjadi favorit masyarakat Indonesia. Tempe merupakan hasil fermentasi kedelai dengan menggunakan jamur Rhizopus sp. Sebagai sumber protein nabati yang affordable, tempe dipercayai mengandung banyak nutrisi dan bermanfaat bagi kesehatan seperti tinggi serta, antikanker, antitumor, sebagai probiotik dan prebiotic yang baik untuk pencernaan dan sebagainya (Astuti dan Faadhlianisyah, 2023). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, rata-rata konsumsi tempe tiap harinya mencapai 0,146 kg/kapita/minggu atau sekitar 11-12 kg/kapita/tahun pada tahun 2020. Permintaan ini akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya populasi Indonesia (Anjar Pratama & Aprillia Floresti, 2023).

Permasalahan industri tempe: Kedelai impor

Meskipun merupakan makanan asli Indonesia, ternyata produksi tempe saat ini masih bergantung dengan impor kedelai. Produksi kedelai yang dihasilkan di Indonesia sendiri belum mampu mencukupi permintaan industri tempe saat ini. Pada rentang waktu 2000-2019, produksi kedelai dalam negeri hanya berkontribusi sebanyak 30-35% dalam memenuhi permintaan kedelai di Indonesia, sedangkan 65-75% kedelai diimpor dari luar negeri.

Pada tahun 2021 produksi kedelai Indonesia hanya mencapai 200.315 ton, masih sangat jauh dari permintaan industri yang berkisar 2,8 juta ton. Beberapa permasalahan produksi domestik kedelai adalah hasil panen yang tidak stabil, kualitas kedelai yang kurang baik, sistem agrikultur yang belum intensif. Salah satu tantangan yang sangat dirasakan adalah rendahnya kesuburan tanah dan varietas kedelai yang kualitasnya kurang baik.

Carbon footprint

Baca juga : Menag Tegaskan Idul Fitri Momen Perkokoh Persatuan

Kondisi pemenuhan permintaan kedelai dengan melakukan impor dari luar negeri tentunya juga berkontribusi tinggi dalam menghasilkan carbon footprint yang tinggi. Aktivitas impor yang memakan waktu dan energi yang besar untuk menempuh jarak ribuan kilometer menyumbang jejak karbon yang tinggi. Selain itu, produksi tempe sendiri juga memiliki kebutuhan energi yang tinggi mulai dari kultivasi kedelai, transportasi, hingga pengolahan kedelai menjadi tempe dan produk lainnya. Seiring penggunaan energi tentu saja tidak terlepas dari produksi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) dan karbon monoksida (CO) (Supartono et al., 2020).

Gambar 1. Analisis kontribusi system produksi tempe cradle to gate (Supartono et al., 2020)

Pada Gambar 1. Terlihat bahwa yang berkontribusi tinggi dalam climate change (CC), penurunan sumber daya abiotic yaitu bahan bakar fossil (ADPf), photochemical oxidation (POC) adalah tahapan transportasi (Supartono et al., 2020).

Solusi yang ditawarkan: Kultivasi Kedelai local berkelanjutan dengan biostimulan mikroalga dan biofertilizer limbah tempe

Dalam menjaga ketahanan pangan terutama kedelai dan produk olahannya, berbagai kebijakan untuk mendukung swasembada sudah dilakukan. Mulai dari peningkatan varietas unggul hingga penyediaan pupuk. Akan tetapi, adanya prioritas tanam yang masih didominasi oleh padi masih menjadi pembatas dalam produksi kedelai. Padahal produksi kedelai domestik menjadi solusi potensial yang perlu dikembangkan terutama dalam meminimalisir carbon footprint.

Baca juga : Kolaborasi CCEP dan PHRI Dukung Bisnis Industri Pariwisata Keberlanjutan

Kedelai membutuhkan cukup air dalam masa hidupnya, di sisi lain kedelai lebih banyak ditanam pada musim kemarau. Kekeringan menjadi salah satu masalah yang menurunkan hasil panen kedelai. Inovasi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan biostimulan. Penambahan biostimulan pada kondisi kekeringan dapat meningkatkan efisiensi fotosintesis tanaman (Melo et al., 2024). Salah satu biostimulan yang pernah diujicobakan pada tanaman kedelai adalah algae extract (AE) dengan penyemprotan pada bagian daun ternyata dapat meningkatkan produktivitas kedelai dengan menstimulasi metabolisme nitrogen (Engel et al., 2024).

Mikroalga saat ini sedang menjadi hot topic dalam bioindustri terutama dalam biorefinery. Biomassa mikroalga banyak digunakan dalam industri farmasi, pangan fungsional, kesehatan, biofuel, dan sebagainya. Penambahan biomasa mikroalga dapat meningkatkan nilai gizi tempe. Salah satunya dengan penambahan biomassa Spirulina platensis, blue-green mikroalga dengan kandungan protein tinggi, pada tempe dapat menjadi inovasi baru fortifikasi produk tempe menjadi blue-green tempeh dengan kandungan protein yang lebih tinggi.

Selain itu, supernatan bekas pemanenan biomassa mikroalga dapat digunakan sebagai biostimulan untuk meningkatkan produktivitas tanaman karena masih mengandung asam amino, fitohormon, komponen biologi aktif, polisakarida, dan asam organik serta komponen fenolik lainnya (González-Pérez et al., 2022). 

Konsep Circular Economy

Kultivasi mikroalga sebagai komponen tambahan fortifikasi tempe dan sebagai bahan pembuatan biostimulan tanaman kedelai juga dapat membantu mengurangi emisi karbon yang ada di udara. Mikroalga dapat berperan sebagai carbon capture melalui proses fotosintesis. Hal ini dapat menjadi mitigasi untuk menurunkan carbon footprint yang dihasilkan industri tempe.

Baca juga : Telkom Gandeng Jepang Dorong Inovasi Pertanian Keberlanjutan

Selain itu, konsep circular economy yang ditawarkan juga termasuk dengan pemanfaatan limbah yang dihasilkan dari industri tempe seperti limbah perebusan kedelai. Limbah perebusan kedelai dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair (POC) dengan penambahan agen mikrobia seperti EM4. POC yang dihasilkan dapat digunakan sebagai biofertilizer tanaman kedelai agar memiliki produktivitas yang lebih tinggi.

Diharapkan dengan konsep yang ditawarkan dapat menciptakan masa depan industri tempe yang berkelanjutan dan menjadi salah satu upaya penting dalam menjaga ketahanan pangan Indonesia. Melalui konsep circular economy juga diharapkan dapat meminimalisir kerusakan lingkungan akibat proses industri. Hal ini mendukung SDGs pada poin 2 (No Hunger) dengan menjaga ketahanan pangan, poin 12 (Responsible consumption) dengan memanfaatkan limbah, poin 13 (Climate change) dengan mengurangi emisi dan carbon footprint, poin 14 (life below water) dengan mengurangi pencemaran limbah industri ke badan air.

Namun, memang masih banyak yang perlu dilakukan untuk mendukung konsep green circular economy ini. Dukungan pemerintah dan komitmen pelaku industri tempe sangat diperlukan untuk merealisasikan solusi yang ditawarkan. Permintaan dan prioritas industri tempe juga perlu disesuaikan agar dapat menekan angka impor kedelai dari luar negeri. Selain itu, peran petani kedelai juga sangat penting dimana perlu untuk segera mengadopsi teknologi intensifikasi pertanian yang lebih baik sehingga hasil panen kedelai dapat memenuhi permintaan industri.

Kesimpulan

Industri tempe berkelanjutan dapat direalisasikan dengan komitmen bersama untuk mengoptimalkan produksi kedelai domestic dan meminimalisir impor kedelai. Intensifikasi pertanian dengan biostimulan dan biofertilizer dapat dikembangkan tidak hanya meningkatkan produktivitas tetapi juga mengurangi emisi karbon dan mengurangi potensi pencemaran limbah industry tempe. Peningkatan nilai gizi tempe dapat dilakukan dengan fortifikasi menggunakan biomassa Spirulina platensis menjadi blue-green tempeh. Tercapainya komitmen pelaku industry tempe, petani, konsumen, dan dukungan pemerintah akan memudahkan tercapainya industri tempe berkelanjutan melalui konsep green economy.

faradilla
faradilla
Microalgae enthusiast

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.