Dark/Light Mode

Begini Kata Agus Marto Soal Relaksasi Kredit Di Tengah Corona

Senin, 30 Maret 2020 12:25 WIB
Agus Martowardojo. (Foto: net)
Agus Martowardojo. (Foto: net)

RM.id  Rakyat Merdeka - Eks Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo ikut angkat bicara soal rencana relaksasi kredit terkait wabah corona. Menurut dia, jika tidak cermat dalam implementasinya, bisa bikin bisnis bank rugi.

Agus khawatir, relaksasi kredit kepada pelaku UMKM berupa penundaan pembayaran cicilan selama satu tahun dimanfaatkan debitor nakal. Kondisi itu akan berdampak buruk ke perbankan dan perekonomian nasional.

Menurut Agus, arahan Presiden Jokowi yang diwujudkan melalui POJK No 11/POJK.03/2020 untuk relaksasi kredit harus dicermati lebih dalam. Sebab relaksasi kredit tersebut hanya diperuntukkan untuk pelaku usaha, yang berdampak langsung terhadap daya beli yang menurun akibat penyebaran virus corona dan bukan untuk seluruh debitor.

"Relaksasi ini bukan bermakna penundaan cicilan secara keseluruhan. Kewajiban bunga pun perlu tetap dibayar," imbuh Agus dalam keterangannya di Jakarta, Senin (30/3).

Baca juga : Kemenkop Luncurkan Skema Relaksasi Pinjaman Anggota Koperasi

Eks Menteri Keuangan ini, jangan ditangkap debitor bahwa mereka diperkenankan tidak membayar kewajibannya (cicilannya). Karena jelas sekali bahwa sumber dana bank adalah dana masyarakat yang berupa giro, tabungan dan deposito yang harus dibayarkan bunganya ke masyarakat.

Menurut Agus, kebijakan relaksasi berupa penundaan cicilan tersebut akan kembali pada kebijakan masing-masing bank dengan melihat profil risiko debitor. "Dengan begitu, debitor tidak serta merta dapat menangguhkan cicilannya. Namun, yang dilihat disini adalah inisiatif baik dari bank dan debitor itu sendiri," ucapnya.

Untuk itu sambung Agus, bank tentu harus melihat kondisi nasabah UMKM, untuk tujuan dunia usaha kalau seandainya perlu dilakukan restrukturisasi, rekondisi atau rescedule. "Saya tekankan, kewajiban pembayaran bunga (debitor) harus selalu dipenuhi, seandaikan terkait kredit sepeda motor namun pinjaman itu berdampak dan dibidang usaha (ojek online) bisa ditunda cicilan pokok, tetapi kewajiban bunga harus dibayar,” katanya.

Senada, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mengaku tak setuju jika kebijakan relaksasi kredit kepada pelaku usaha berupa penundaan pembayaran cicilan selama satu tahun, berlaku bagi semua debitor. 

Baca juga : QRIS NOBU Bank Jadi Solusi Pembayaran Non Tunai Ditengah Pandemi Corona

Dia menyampaikan, dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 11/POJK.03/2020 sudah jelas disebutkan bahwa restrukturisasi kredit ada mekanismenya, yaitu harus mengajukan untuk restrukturisasi dan tidak bisa otomatis begitu saja seperti isu yang beredar saat ini.

"Dan dicatat, ini tidak berlaku buat semua. Karena apa, kalau yang berpenghasilan tetap, itukan tidak  ada masalah kecuali dia di PHK," katanya.

Sehingga yang perlu menunda itu, sambung Aviliani, adalah orang-orang yang benar terkena dampak ekonomi yang nanti akan dilihat kembali oleh perbankan apakah layak atau tidak. Ia juga mengaku khawatir terhadap kesehatan perbankan itu sendiri. Kekhawatirannya tersebut sejalan dengan relaksasi kredit yang diberikan yakni dengan pinjaman dibawah Rp 10 miliar. 

Sedangkan sektor-sektor yang terpengaruh dampak corona sebagian besar pinjaman mereka dibawah Rp 10 miliar. "Sebagian besar pinjaman mereka itu dibawah Rp 10 miliar, nah itu pasti akan terjadi masalah missmatch atau cashflow buat banknya sendiri," sebutnya. 

Baca juga : Soal Relaksasi Kredit, Ketua DPD Minta OJK Buka Hotline Pengaduan

Bagi masyarakat sendiri tetap ada problem, karena dengan penundaan cicilan bunga juga tetap, jadi itu dihitung bunga setahun lagi ke depan. Dan justru beban dia akan naik. Lebih lanjut ia bilang, jika relaksasi kredit atau penundaan cicilan diberlakukan kepada semua debitor, maka dampak ke perbankannya akan besar sekali terutama pada rasio kredit bermasalah (NPL). 

Ia memperkirakan, NPL bank akan melonjak tinggi dari posisi sekarang ini yang berada pada kisaran 2,79 persen (gross) dan NPL net sebesar 1 persen per Februari 2020. Dengan kondisi demikian, tentu yang harus diperhatikan oleh regulator adalah dari sisi kesehatan perbankan itu sendiri. 

Menurut Aviliani, di negara lain itu justru sektor keuangan yang paling dijaga jangan sampai jatuh. Karena jika sektor keuangan itu jatuh dampaknya bisa kemana-mana. "Ini NPL saja sudah segini. Apalagi kalau diterapkan kepada semua (debitor) itukan bisa tinggi NPL nya. Jadi pasti itu NPL nya akan naik luar biasa," katanya. 

Selanjutnya yang harus OJK pikirkan itu adalah indikator kesehatan bank. Karena pasti indikatornya akan turun semua. [DWI]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.