Dark/Light Mode

Gegara Defisit Di Daerah

BPS Perbaiki Data Pangan

Senin, 4 Mei 2020 05:22 WIB
BPS mulai perbaiki data pangan akibat adanya defisit pangan di daerah.
BPS mulai perbaiki data pangan akibat adanya defisit pangan di daerah.

RM.id  Rakyat Merdeka - Polemik data produksi pangan masih terjadi. Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) menjadi penyebabnya. 

Belum lama, Presiden Jokowi menyentil adanya data tujuh provinsi yang mengalami defisit produksi beras. 

Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan BPS, Kadarmanto mengatakan, data tersebut merupakan data bulanan BPS, yang juga digunakan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian. 

“Sebetulnya data yang minus itu ketersediaan. BPS hanya menyampaikan produksi bulanan. Nah yang ketersediaan itu digunakan BKP. Tapi, kalau data kita selalu disampaikan ke Pusat Data dan Informasi (Pusdatin). Jadi persoalan data kami dipakai siapa, wewenang Pusdatin Kementan,” katanya di Jakarta, kemarin. 

Kadarmanto menambahkan, perhitungan surplus dan defisit sebagian besar memang dipengaruhi oleh kebutuhan tingkat konsumsi masyarakat. 

Baca juga : Perusahaan Tambang Diusulkan Miliki Dana Cadangan Deposito

Misalnya, kebutuhan konsumsi di bulan puasa dan Lebaran cenderung meningkat, sehingga apabila terjadi defisit, maka hal itu masih dalam posisi wajar. 

“Untuk menghitung surplus defisit memang sangat dipengaruhi beberapa hal terutama di kebutuhan, atau konsumsinya. BPS sendiri hanya menghitung surplus defisit produksi saja. Yaitu, total produksi dikurangi total konsumsi atau kebutuhan,” jelasnya. 

Di sisi lain, Kadarmanto mendukung upaya Kementan memperbaiki sistem distribusi yang selama ini dinilai menjadi pemicu defisit pangan. Namun, Kementan diharapkan mengecek Delta Stok di gudang-gudang pangan Indonesia. 

“Jadi kalau saya perhatikan perlu dicek di Delta Stock dan memperbaiki pola distribusi. Sehingga, ini bisa digunakan sebagai acuan ketersediaan. Apabila ditambahkan stok Bulog, maka harus dipastikan juga bahwa yang di Bulog itu adalah hasil impor sementara serap gabah. Termasuk pengadaan dalam negeri yang sudah termasuk dalam produksi. Toh secara nasional kita masih surplus produksi,” tuturnya 

Kadarmanto menegaskan, data tunggal untuk produksi pangan nasional telah digunakan. Data yang digunakan Kementan mengenai produksi padi, merupakan data yang sama dengan data yang selama ini digunakan BPS. 

Baca juga : Gegara Debitur, Dipo Star Finance Merasa Tercoreng Kredibilitasnya

“Karena setiap bulan setelah kami amati melalui Kerangka Sample Area (KSA) langsung kami kirim ke Kementan melalui Pusdatin Kementan. Jadi memang kami sepakat dengan kualitas datanya Pusdatin. Setiap bulan kami selalu berkoordinasi dengan mereka,” katanya. 

Kadarmanto menjelaskan, data yang sama juga dikirim kepada Bulog dan sejumlah lembaga negara lainnya sebagai komitmen Satu Data yang disepakati pada Desember 2019 lalu. 

“Bahkan untuk produksi padi datanya kita sampaikan ke Bulog. Jadi kami selalu berkoordinasi dengan Pusdatin Kementan dan atau kementerian lembaga lainnya terkait update data pangan dan lainnya,” jelasnya. 

Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas mengatakan, data BPS memang saat ini jauh lebih akurat karena menggunakan citra satelit dan terbebas dari conflict of interest (konflik kepentingan) masing-masing kementerian. 

“Dari BPS sudah lebih akurat, karena citra satelit, sehingga tingkat keakuratannya tinggi dan jauh dari intervensi manusia. BPS lebih independen karena lembaga ini tugasnya hanya mengumpulkan data,” ujarnya. 

Baca juga : DPD: Segera Perbaiki Sistem Penyaluran Bansos

Menurutnya, masing- masing kementerian memiliki tujuan untuk mencapai target mereka. Sehingga data pun dinilai, tidak sepenuhnya independen. Akibatnya, kementerian terkait kerap kali berselisih mengenai perlu atau tidaknya impor. 

Di satu sisi, Kementan menyatakan suatu produk pangan surplus, namun di sisi lain hargaharga meroket yang menyebabkan Kemendag harus mengatasinya segera, salah satunya, dengan cara impor. 

“Beda dengan negara maju yang sistemnya departemen. Kalau di sini menteri sangat berkepentingan dalam banyak hal. Jadi merepotkan. Untuk Indonesia dengan pola sistem pemerintah seperti itu, data harus dikeluarkan oleh badan independen,” jelasnya. 

Permasalahan itu, kata Dwi, akan bisa teratasi dengan data terbaru yang dihimpun BPS dengan metode KSA. Metode perhitungan dengan KSA ini dinilai lebih valid karena menggandeng sejumlah badan terkait. 

Mulai dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Informasi Geospasial (BIG) dengan teknologi. “Sebelumnya, data produksi pangan kan diproduksi oleh Kementan 75 persen, BPS 25 persen. Sekarang kan BPS 100 persen,” tuturnya. [KPJ]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.