Dark/Light Mode

Dirjen Kekayaan Intelektual : Kepastian Hukum Merek Penting Agar Tak Timbul Permasalahan

Senin, 22 Februari 2021 19:40 WIB
Diskusi virtual bertajuk Itikad Tidak Baik dalam Penggunaan Kata Umum (Deskriptif) Sebagai Merek & Bagaimana Membangun Daya Pembeda Suatu Merek Agar Menjadi Distinctive Dibandingkan Merek Lain yang Sudah Terdaftar, Senin (22/2). (Foto: Istimewa)
Diskusi virtual bertajuk Itikad Tidak Baik dalam Penggunaan Kata Umum (Deskriptif) Sebagai Merek & Bagaimana Membangun Daya Pembeda Suatu Merek Agar Menjadi Distinctive Dibandingkan Merek Lain yang Sudah Terdaftar, Senin (22/2). (Foto: Istimewa)

 Sebelumnya 
Nofli menambahkan, daya pembeda yang diperoleh sebuah merek diperoleh melalui penggunaan di pasaran sehingga membuat konsumen mengenalinya sebagai tanda yang berfungsi sebagai identitas sumber barang atau jasa.

“Daya pembeda tersebut diperoleh karena adanya makna sekunder (secondary meaning) dari tanda yang bersifat deskriptif," tambahnya.

Lebih lanjut Ia mengatakan tanda tersebut masih mungkin untuk didaftarkan sebagai merek apabila pemilik merek dapat menunjukkan bahwa konsumen mampu mengenali tanda tersebut sebagai identitas sumber produk dengan bukti-bukti penggunaan, yang biasa disebut dengan istilah secondary meaning.

Namun, menurut Nofli, pada praktiknya tidak ada garis yang jelas bagaimana suatu tanda deskriptif telah mendapatkan makna sekunder atau tidak. “Pembuktian akan bersifat kasuistis. Bukti-bukti tersebut dapat berupa dokumen penggunaan merek, iklan, penelitian pasar, penjualan, katalog, foto, survei dan lain-lain. Pembuktian harus secara layak menunjukkan faktor-faktor yang meliputi tempat, waktu, dan luasnya penggunaan merek,” urai Nofli.

Baca juga : Peneliti : Keberhasilan Vaksinasi Pengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Di kesempatan yang sama, Hakim Agung MARI, Ibrahim mengungkapkan, adanya kondisi dilution doctrine, suatu kondisi dimana suatu merek dapat melemahkan (dilute) esensi atas keunikan dan perbedaan dari merek lain, yang mana secara simultan dapat merugikan pemilik merek selaku pemegang hak yang sah.

Menurut Ibrahim, konsep dilusi merek tidak dapat digunakan terhadap suatu merek dagang yang merupakan suatu kalimat atau istilah yang deskriptif dan bukan merupakan elemen utama dari kesatuan merek tersebut atau secondary brand.

Sementara kalimat atau istilah deskriptif seringkali mengandung kata-kata yang umum digunakan sehari-hari (generic words) oleh konsumen dan pelaku usaha. “Klaim atas generic term (istilah generik) untuk memperoleh hak eksklusif Merek selayaknya ditolak, karena berpotensi timbulnya upaya monopoli yang berujung pada sengketa," katanya.

Ibrahim mencontohkan merek yang daya pembedanya menjadi melemah/menghilang antara lain merek Odol Clasic, Pralon-pertama dan terbaik, Pingpong-the original, dan Tipp-Ex.

Baca juga : Panglima TNI : Kehadiran Nakes TNI Penting Di Masa Pandemi

Sementara penggunaan secondary trademark atau unsur tambahan dari suatu merek yang digunakan untuk membangun persepsi konsumen dengan menggunakan kata umum misalnya kata Mi Goreng dari IndoMie, kata Anti Noda dari Rinso, dan kata Anti Nyamuk dalam kemasan HIT.

Sementara Kasubdit Pemeriksaan Merek DJKI, T Didik Taryadi menuturkan, dalam kesempatan yang sama mengatakan, dalam Pasal 21 ayat (3) UU Merek dan IG, bahwa Permohonan ditolak jika diajukan oleh Pemohon yang beritikad tidak baik.

Adapun yang dimaksud dengan 'Pemohon yang beriktikad tidak baik' adalah Pemohon yang patut diduga dalam mendaftarkan Mereknya memiliki niat untuk meniru, menjiplak, atau mengikuti Merek pihak lain demi kepentingan usahanya menimbulkan kondisi persaingan usaha tidak sehat, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.

“Beritikad tidak baik itu mencakup meniru, menjiplak, atau mengikuti merek pihak lain. Misalnya meniru bentuk tulisan/lukisan merek pihak lain. Kemudian membonceng, meniru, atau menjiplak merek terkenal milik pihak lain. Dan Menjiplak karya cipta milik pihak lain,” katanya.

Baca juga : Covid Belum Reda, India Tambah Kapasitas Maksimal Pengunjung Taj Mahal Jadi 15 Ribu Per Hari

Sementara Ketua Umum AKHKI, Suyud Margono dalam kesempatan yang sama menyoroti perbuatan curang penerapan Merek (consumers misleading). Bentuk-bentuk tindakan penyesatan terhadap pengguna/ konsumen dalam menentukan produk, umumnya dalam produk barang kebutuhan pokok (konsumsi).

“Pelaku Usaha menggunakan label merek yang mengarahkan konsumen berpikir atau mengasosiasikan secara kasat mata. Nah, kemiripan label (similarities/ identical) kasat mata karena bentuk yang ada. Padahal merek seharusnya tidak mendeskripsikan fungsi, keterangan, kualitas produk,” jelas Suyud. [DWI]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.